29. Lantai Enam

428 70 0
                                    

IVORY MANGGALA

"Sial! Aku lupa membawa gadgetku karena panik!" kata seorang penantang di zona aman dengan kesal.

"Teroris bangsat! Mereka berniat membakar lantai ini?"

"Aku tahu bahwa di tower ada teroris, tapi tidak menyangka mereka beroperasi di lantai-lantai awal."

Para penantang lain menumpahkan sumpah serapah mereka pada sosok teroris bohongan yang kami ciptakan. Ksatria penjaga terlihat sibuk menjawab protes dari para penantang. Banyak yang ingin kembali masuk ke zona perang tapi tidak bisa karena mereka tidak memiliki uang untuk masuk, uang mereka tertinggal di dalam. Ivan pasti sedang berpesta di dalam sana.

"Aku merasa agak bersalah sebenarnya." Liz kasihan pada mereka.

"Siapa suruh mereka semua teh menghalangi gerbang antar zona beramai-ramai. Jadinya gadgetnya ketinggalan, kan?!" Andy ngomel.

Rupanya lukaku masih lumayan parah untuk dipakai membuat keributan seperti tadi, dan masih terasa sakit. Aku, Jeff, dan Liz sepakat bahwa aku masih harus beristirahat di lantai ini untuk menunggu lukaku benar-benar sembuh. Mendengar keputusanku, Andy memilih untuk bergabung bersama tim Adolf.

"Sampai ketemu lagi, bodoh! Kita duluan ya!" Andy menjabat tangan kami satu-per satu.

"Terimakasih karena telah mengajariku Andy!" kata Liz sambil menjabat tangannya.

"Sama-sama. Terimakasih karena telah mengembalikan rasa percaya diriku." balas Andy.

Adolf, Morris, Amy, dan Andy berpamitan untuk melanjutkan tantangan. Kami melambaikan tangan pada mereka berempat. Pintu lift pun tertutup, mereka naik ke atas.

***

Hari demi hari berlalu. Beberapa hari sekali Liz merawat luka kami dan mengganti perban. Sesekali kami bertemu dengan Ivan yang sedang membeli bahan makanan untuk dijual di Zona Perang. Katanya, dia mendapatkan uang yang sangat banyak hasil dari menjarah uang yang ditinggalkan penantang lain akibat ulah kami waktu itu. Dia bercerita bahwa dia punya beberapa teman baru dan punya langganan tetap. Dia juga bisa menyewa penantang lain sebagai penjaga agar bisa masak dengan tenang. Dia sangat menikmati hidup di sini. Aku lega mendengarnya.

Di sela-sela menungguku pulih, Jeff dan Liz berlatih tenaga dalam. Mereka tampak semakin jago mengolah nafas. Liz seringkali mengajari Jeff teknik yang ia kuasai. Sementara itu aku hanya bisa menonton mereka dan membayangkan teknik-teknik untuk bertarung.

Aku tidak menyangka akan kalah dari William. Kejadian itu membuatku mengevaluasi kemampuanku dalam berkelahi. Mungkin, di dalam tower ini memang banyak orang-orang yang lebih kuat dariku. Aku mengulang memori tentang pertarungan itu berkali-kali, berandai-andai bagaimana aku harus bergerak apabila diserang dengan cara yang sama. Tetapi bagaimanapun juga, aku tidak bisa memikirkan kemungkinan untukku menghindari serangannya. Meski aku bisa membaca gerakan, aku tidak bisa membedakan serangan tipuannya dengan serangan aslinya. Dia telah melatihnya agar tidak terlihat ada perbedaan sama sekali. Ketika aku menyadari bahwa serangannya adalah tipuan, semua sudah terlambat. Meski aku cukup bangga dengan insting dan kecepatanku dalam merespon, namun gerakan William hanya memberikan ruang sepersekian detik untuk bisa dihindari. Aku harus mencari cara untuk bisa meningkatkan reflekku.

Seminggu telah berlalu, kondisi luka kami sudah jauh membaik dan kami pun naik ke lantai enam. Suasananya begitu berbeda dari lantai lima yang ramai dan begitu hidup. Di sini sepi, gelap, dan pengap. Dari bentuk struktur bangunannya saja, aku sudah terbayang tantangan apa yang akan kami hadapi. Kami akan menyusuri labirin.

"Kami mau menjalani tantangan lantai ini." ucapku pada penjaga lantai dengan jubah berwarna hitam seraya memberikan kartu identitas kami bertiga. Penjaga berjubah hitam yang terakhir kutemui adalah Vincent di lantai satu. Semoga tantangan kali ini tidak segila itu.

"Baiklah, tapi tunggu sebentar. Kita akan menunggu beberapa orang lagi untuk masuk ke tim kalian ini lah." ucapnya seraya mengambil kartu identitas kami dan menscannya ke gadget miliknya.

"Tidak bisakah kami langsung saja masuk bertiga?" tanyaku.

"Gak bisa, karena disitulah ujiannya. Selama ini kalian mungkin saja lolos ujian dengan bekerjasama dengan orang yang kalian percaya. Kalian bisa saling mengandalkan satu sama lain dan saling tolong menolong. Tapi, sebagai ksatria, seringkali kalian ditugaskan bersama kelompok ksatria lain yang gak kalian kenal. Itulah ujian di lantai ini." dia menjelaskan dengan logat yang tegas dan keras.

"Tengok ke sebelah sana lah!" ksatria penjaga lantai enam menunjuk segerombolan penantang lain di ruangan ini. "Mereka juga menunggu supaya jumlah timnya cukup, ketentuan jumlahnya adalah 10-15 orang. Ditambah kalian berarti sekarang sudah ada delapan orang."

Aku menengok ke arah yang ditunjuk oleh pengawas ujian. Disana terlihat empat orang berperawakan tinggi dan satu anak perempuan seusiaku yang berambut ikal panjang. Mereka adalah kelompok putri raja utara dengan para bodyguardnya, rupanya mereka juga baru naik ke lantai enam.

"Hey! Ada tuan putri... yang cantik?" kataku yang hampir lupa menyebutkan panggilan lengkapnya.

"Maaf, kalian teh siapa ya?"

"Haaah? Sudah lupa dengan kami?" kata Liz kecewa.

"Hehehe bercanda kok. Kalian masih bawa seblak? Aku mau beli."

"Wahahah... Maaf tuan putri, sayangnya koki kami tinggal di lantai lima, dia tidak ikut naik ke lantai enam."

"Hmph! Sayang sekali."

Ksatria penjaga menunjuk rombongan yang baru naik. "Nah, dan yang baru datang ini akan masuk ke kelompok kalian juga."

Aku menengok ke arah lift yang baru saja terbuka. Darahku seketika naik ke kepala. Mataku beradu dengan matanya. Tinjuku mengepal. Nafasku memburu. Tanpa ku sadari aku sudah berlari dan melompat ke arahnya. Aku ingin membunuhnya.

Namun, sebuah tangan kekar mengalungi leherku. Aku terdorong dan terbanting ke bawah. Punggungku membentur ke lantai yang keras. Rupanya ksatria penjaga lah yang telah melumpuhkanku. Dia bergerak cepat begitu melihatku mau menyerang penantang lain. Tangannya menahanku di lantai, dan tangan satunya mengacungkan tombak yang ujungnya hanya berjarak dua senti dari kepala si bangsat itu. Hal ini membuat si bangsat itu menghentikan gerakannya untuk menusukkan tombak padaku.

"Kamu yang memotong jari Jeff." kataku dengan gigi gemertak.

"Kau yang membunuh temanku." balasnya.

The Trials of SatriakartaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang