34. Lebih Buruk Dari Kematian

472 72 4
                                    

Trigger warning: Novel ini mengandung adegan kekerasan yang mungkin bisa memicu atau memperburuk kondisi trauma bagi pembaca yang pernah mengalami kekerasan fisik atau psikologis. Mohon dipertimbangkan sebelum membaca.

***

WILLIAM PAKUBUMI

Kalau ada orang buta yang bisa sampai di lantai empat puluh tiga, berarti dia bukanlah orang yang bisa dianggap remeh. Meski buta, dia berjalan tanpa sedikitpun keraguan. Dia kuat, aku dapat merasakannya. Aku pikir berada satu tim dengannya akan mempermudah aku untuk lulus dari lantai ini.

"Ayo kita bekerjasama di fase dua." Aku mengajaknya untuk membentuk tim. Dia tidak menjawab. Dia tetap berjalan untuk satu langkah, dua langkah, kemudian mempercepat langkahnya hingga berlari.

"Tidak."

Reflekku menyelamatkanku dari ujung tombaknya. Dia melanjutkan menyerang secara bertubi-tubi. Aku mempraktekkan gerakan menangkis tombak yang aku pelajari dari guruku. Serangannya tidak mengandung gerakan tipuan, namun dalam setiap hentakannya terdapat tenaga yang luar biasa yang membuatku kewalahan untuk menangkisnya.

"Kalian punya sepuluh menit sampai ronde ini selesai." ksatria pengawas memberitahu.

Aku menggunakan kemampuanku untuk membaca gerakan. Aku membiarkan tubuhku untuk bergerak sesuai insting tanpa ditahan-tahan seperti yang selama ini aku latih. Aku merasakan kebebasan. Aku menghindari setiap serangannya. Namun anehnya, meski dengan kemampuan membaca gerakanku, aku tidak menemukan celah untuk menyerangnya.

"Hmm, pola serangan kau ini berbeda dari yang lain." kata lawanku. Jelas, aku adalah murid dari Bambang Kumbayana, pendekar pedang paling sakti pada masanya yang juga merupakan guru dari ayahku. Dia menolak untuk mengajar di akademi manapun. Ilmu pedangnya hanya diajarkan pada keturunan keluarga Pakubumi karena dia adalah abdi keluarga kami. Meski sakti, dia menolak untuk menjadi ksatria hitam karena tidak mau namanya bersinar lebih terang dari nama Pakubumi.

"Kemampuan kau ini lumayan, tapi sayang tekad kau gak cukup kuat." katanya.

"Tahu apa kamu soal tekadku?" aku menggunakan serangan tipuan, tapi dia tidak terkecoh. "Aku telah mengorbankan banyak hal untuk mendapatkan apa yang aku inginkan."

"Misalnya?"

Setiap serangan yang aku ayunkan kepadanya tidak membuahkan hasil. Penguasaan tenaga dalamnya sangat hebat. Teknik olah senjatanya sempurna, namun dia juga tidak bisa mendaratkan serangan pada diriku.

"Aku mengorbankan masa kecilku untuk berlatih setiap hari." Aku mengambil ancang-ancang untuk mengeluarkan jurus pamungkasku, jurus yang telah aku latih ratusan kali setiap harinya.

"Oh?"

"Aku tidak punya waktu untuk bermain. Aku tidak punya teman. Semua aku korbankan demi menjadi pendekar pedang terkuat di selatan."

Aku melompat ke udara, berputar, dan menyerang lawanku. Jurus yang tidak pernah gagal untuk mengenai guruku. Gerakan yang terlalu sempurna untuk ditangkis. Tirta Mili!

"Apakah kamu sampai menjual jiwamu kepada iblis?"

Dia berhasil menangkis seranganku.

***

MATTEO SIBONTOR

Lima tahun yang lalu.

Orang bilang masa-masa belajar di akademi adalah masa-masa yang terindah dalam hidup mereka. Namun tidak bagiku, ini semua gara-gara Nicolaus dan teman-temannya itu. Meski di Kerajaan Barkara tidak mengenal kasta karena semua dianggap saudara, perbedaan keluarga kami bagaikan bumi dan langit. Keluargaku pernah terlilit hutang dan diselamatkan oleh keluarga Nicolaus. Keluargaku berhutang budi dan harus bekerja pada keluarganya untuk membalas hutang tersebut. Orang tua Nicolaus adalah orang yang baik, namun anaknya tidak. Bagi Nicolaus dan teman-temannya, menggangguku adalah sebuah hiburan. Untung saja adikku selalu memarahi dan mengusir mereka.

Tindakan mereka menimbulkan dampak yang besar terhadap diriku. Aku jadi suka menyendiri dan takut bersosialisasi. Satu-satunya hiburanku adalah membaca buku.

"Hey, tahu gak kau kalau kelelawar itu punya sayap?" Aku menunjukkan bukuku pada adikku.

"Tahu dong, kan banyak di kebun keluarga Nico?"

"Wah iya? Aku belum pernah lihat."

"Iya, mereka suka menghisap darah burung-burung hias peliharaan ayah Nico."

"Oh... Pasti ayahnya marah besar ya."

"Iya, tapi di antara 1400 spesies kelelawar, cuma tiga sebetulnya yang menghisap darah!"

"Wah keren! Kebetulan sekali ya yang di kebun itu satu di antara tiga spesies itu!"

Aku sering menghabiskan waktu untuk membaca buku bersama adikku. Ini adalah kegiatan kesukaan kami. Kita punya buku favorit masing-masing, namun tetap semangat mendengarkan cerita satu sama lain. Disaat-saat seperti ini, hidupku ringan tanpa beban. Pikiranku melayang-layang di dunia buku.

Aku bukanlah satu-satunya anak yang sering diganggu Nicolaus dan teman-temannya. Suatu ketika saat pulang dari akademi, aku melihat dia dan teman-temannya sedang mengganggu anak lain. Sialnya, Nicolaus memergoki aku.

"Kemari kau!" panggilnya. Dia mendorong anak yang tadi diganggunya, anak itu lari pergi secepat-cepatnya. Dengan takut-takut, aku berjalan mendekat. "Apa kau lihat-lihat?"

"M-maaf... aku hanya lewat."

"Ah, alasan saja... Mau menantang kau ya?"

Plak! Dia menampar pelipisku. Aku memegangi bekas tamparannya.

"Apa? Berani kau melawan?"

"T-tidak..."

"Hei!" terdengar suara yang kukenal dari kejauhan. Nicolaus dan kawan-kawannya mengalihkan pandangan ke sumber suara.

"Ini dia, pahlawan yang kita tunggu-tunggu! Hahahaha." Teman-teman Nicolaus menertawakan adikku yang baru datang.

"Jangan mengganggu kakakku!" adikku membentak.

"Mau sok jagoan lagi?" Nicolaus menantang.

"Pergi kalian! Beraninya keroyokan, dasar pengecut!"

"Hey... jaga mulut kau." Nicolaus mencengkeram dagu adikku dengan kuat.

"Jangan lukai adikku! Kumohon!" aku berteriak.

Nicolaus menengok ke arahku, masih mencengkeram dagu adikku. Dia diam untuk beberapa lama. "Pegangi dia, pastikan dia melihat dengan jelas."

Tiga teman Nicolaus memegangiku. Awalnya aku tidak ingin melawan, namun yang dilakukan Nicolaus pada adikku diluar dugaan. Aku tahu Nicolaus kejam, namun aku tidak menyangka dia sekejam itu. Adikku menjerit dan menangis.

"Hey! Jangan!" Aku berteriak. Aku meronta-ronta. Aku berusaha melawan, aku tidak takut diriku akan diapakan oleh mereka karena berani melawan. Asal mereka berhenti melakukan tindakan mereka pada adikku. "Jangan! Jangan!"

Usahaku tidak membuahkan hasil. Aku tidak tahan melihatnya. Aku memejamkan mataku rapat-rapat.

"Hey! Aku bilang lihat baik-baik adik kau yang sok jagoan ini."

Aku tidak melakukan yang dia minta, kakak mana yang bisa tahan melihat adiknya dilecehkan.

"Hey!" Dia membuka mataku dengan paksa. Aku melihat adikku sedang dijambak agar tidak pergi. "Sudah kubilang lihat baik-baik. Kau gak mau lihat?"

Aku menangis. Ingin rasanya aku melawan, tapi aku tidak bisa. Dengan tak berdaya, aku menggeleng.

"Kukabulkan permintaanmu." Kata Nicolaus, mengambil pisau dari pinggangnya.

Cprat! Pandanganku gelap, mukaku basah. Bukan hanya karena air mata, tapi juga karena darah. Dia menyabetkan pisau ke mataku. Dengan hanya bisa mengetahui keadaan adikku melalui suaranya yang terus menerus menangis minta tolong, kupikir kematian jauh lebih baik untuk kami berdua. Aku sudah tidak tahan lagi. 

The Trials of SatriakartaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang