43. Jalan yang Berbeda

281 46 2
                                    

IVORY MANGGALA

Sebelum bertemu Vincent.

Liz terbaring tak bergerak, bibirnya biru, badannya dipenuhi lilitan perban. Selang-selang kecil menghubungkan lengannya dengan botol-botol cairan berbagai warna, salah satunya ada yang berwarna merah.

"Temanmu ini sangat beruntung masih bisa diselamatkan." kata dokter yang merawat Liz.

Aku duduk tertunduk di kursi di samping tempat tidur Liz. Tangan kiriku meremas tangan kanan dengan erat.

"Beruntung?" Tanyaku. "Bagaimana bisa kau sebut temanku beruntung?!"

"Dengan luka seperti itu temanmu bisa saja–"

"Temanku tidak akan bisa berjalan lagi! Bagaimana bisa kau sebut dia beruntung?!" Aku berdiri, gagal menahan untuk tidak berteriak.

"Ivo, sebaiknya kau–"

"Diam!" Aku membentak Ava. Dari semua orang yang ada, pendapat dialah yang paling tidak ingin aku dengar.

"Maaf, saya pamit." Dokter itu pergi meninggalkan kami bertiga. Suara dentuman pintu terdengar.

"Ini semua salahmu..." suaraku bergetar. "Kamu harus membayar atas apa yang terjadi pada temanku. Aku tidak akan membiarkanmu pergi sampai kamu melakukannya."

Ava tidak memberikan jawaban.

Kemarahanku tidak bisa lagi dibendung.

"Aarrghh!!!" Aku berteriak sekencang-kencangnya untuk meluapkan apa yang sedang aku rasakan. Rasa itu tetap tidak hilang.

***

Lantai satu.

"Tarik!"

Aku menarik nafas sesuai arahan Vincent.

"Tahan!"

Aku menutup katup di tenggorokan, memerangkap udara agar tidak keluar, lalu mendorongnya untuk turun ke perut. Aku mengunci persendian bahu, merapatkan dubur, dan mengencangkan otot perut hingga seluruh tubuhku bergetar.

Bhuak! Vincent memukul perutku. Aku meringis kesakitan.

"Keluarkan... perlahan!"

Aku membuka kuncian pada bahu dan merilekskan otot perut. Udara keluar sedikit demi sedikit dari mulutku.

"Bagaimana?" Tanyanya.

"Belum bisa... Aku sudah melakukan semua yang kamu instruksikan." aku terengah-engah.

"Bodoh! Semua orang juga gak akan langsung bisa tenaga dalam kalau baru beberapa hari berlatih! Bedanya mereka terus berlatih sementara kau menyerah!"

Aku hanya menunduk saat Vincent memarahiku.

"Kau ini memang memiliki bakat alami dalam bertarung. Kau bisa mengalahkan lawan-lawan kau tanpa perlu bersusah payah berlatih, tapi itu membuat kau jadi orang yang gak kenal kerja keras. Begitu kau menemui sesuatu yang gak langsung bisa kau kuasai, kau langsung menyerah."

Yang dia katakan tidak salah. Selama ini Jeff dan Liz memang selalu berlatih dengan sungguh-sungguh setiap saat, sementara aku malas-malasan. Kupikir aku tidak membutuhkan tenaga dalam untuk bisa mengalahkan lawan-lawanku. Ternyata aku salah.

"Lain kali kalau kau sedang malas, ingat apa yang terjadi pada teman-teman kau." Vincent berbicara sambil pergi meninggalkanku. Dadaku merasa sesak mendengar kata-kata terakhirnya.

Aku mengepalkan tanganku dengan kencang, namun itu tidak cukup untuk menampung luapan emosiku. Aku menghantam lantai di bawahku. Lantainya retak, tanganku juga memar dan lecet. Aku menengok ke arah Ava yang kaget melihat tindakan spontanku barusan.

The Trials of SatriakartaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang