8. Buto Ijo

1.1K 149 4
                                    

JEFFRI PRAWIRA

"Kamu dan Ivo masih tidak berbicara?" Liz menghampiriku yang sedang sarapan. "Akan semakin susah untuk mulai berbicara lagi kalau kalian terlalu lama saling diam." ia melanjutkan.

Sejak kejadian hari itu, Aku dan Ivo makan sendiri-sendiri. Liz juga jadi ikut makan sendiri karena tidak mau terlihat membela salah satu dari kami.

Ini sudah hari ke lima kami berlatih—tiga hari sejak aku dan ivo tidak saling berbicara—dan kami masih belum bisa menggunakan ilmu kebal. Meski ini hanya bagian dasar dari ilmu kebal, namun kami belum bisa mempraktekkannya. Vincent berkata bahwa memusatkan nafas di perut adalah hal yang paling dasar dan yang paling mudah dibandingkan tahap-tahap selanjutnya yang masih belum kami pelajari.

"Kami bersaing sekarang." Aku mengatakan pada Liz. "Yang menguasai Ilmu kebal terlebih dahulu, menang."

Aku hanya memakan setengah dari makananku, karena mengolah nafas akan sulit dilakukan dengan perut penuh makanan. Aku harus menyisakan banyak ruang untuk udara. Lagipula aku tidak bisa beli makan siang. Aku harus hemat agar bisa mempelajari ilmu kebal lebih lama sebelum uangnya habis.

Kalau saja selama lima hari kemarin aku membeli makan siang setiap harinya, hari ini uangku sudah habis dan aku harus mengambil tantangan lantai dua hari ini juga. Padahal aku belum menguasai ilmu kebal. Sudah dipastikan aku akan gagal kalau mengambil tantangan hari ini. Aku menyimpan kotak makananku agar bisa dimakan lagi nanti siang.

"Soal bertarung, jelas Ivo lebih hebat." ucapku, lebih kepada diriku sendiri daripada pada Liz. "Tapi untuk tenaga dalam, kita sama-sama baru mempelajarinya. Kita lihat siapa yang bisa menguasainya terlebih dahulu."

"Halah, untung kalian tidak mengajakku untuk ikut bersaing." kata Liz.

"Maksudmu? Kamu sudah bisa membuat perutmu tidak sakit saat dipukul?"

"Bukan hanya perut," Liz menjawab, "aku sudah bisa mengaplikasikannya di seluruh tubuhku. Oh, dan bukan hanya pukulan. Senjata tajam juga bisa."

"Wah! Gila! Hebat kamu!" Aku benar-benar kagum dengan bakat Liz.

Liz memang jenius. Dalam lima hari dia bisa menguasai ilmu kebal. Sementara aku bahkan belum bisa melakukan bagian dasarnya.

"Bagaimana cara membuat anggota badan yang lain kebal?" tanyaku.

"Yaa, sama seperti mengencangkan perut. Kamu mengencangkan bagian tubuhmu yang lain. Tapi tetap perlu mengencangkan perut terlebih dahulu. Ibaratnya perutmu seperti mesin pengolah tenaga dalam, lalu kamu salurkan ke bagian tubuh yang lain."

Penjelasan Liz masuk akal dan mudah dipahami. Namun melakukannya adalah hal yang berbeda. Untuk mengolah di mesinnya saja belum bisa, apalagi menyalurkannya. Padahal itu adalah langkah yang paling mudah, menurut Vincent.

"Kamu bisa ambil ujian sekarang, dong, Liz?" aku bertanya padanya.

"Tidak ah, untuk apa aku naik tower sendirian." katanya. "Aku mau minta Vincent mengajari ilmu tenaga dalam yang lain, mumpung ada yang mau mengajari kita."

Liz berdiri untuk bersiap pergi. "Aku mau memastikan bahwa yang kalah harus jadi yang terlebih dahulu mengajak berbicara, oke?" Dia membalikkan badan dan melangkah pergi.

Aku dan Ivo masih terus berlatih bersama. Jelas, mana mungkin Vincent mau mengajari secara privat satu persatu secara terpisah. Namun meski bersama, kami tidak saling berbicara.

Dua hari berlalu. Ini adalah hari ketujuh. Aku menarik nafas dalam posisi kuda-kuda tengah sambil mengangkat kedua tanganku ke atas, lalu diturunkan ke samping, lalu ditekuk dan diposisikan di samping pinggang. Bahu diputar ke belakang dan dikencangkan untuk membuat kuncian. Nafas diturunkan ke perut bagian bawah untuk diolah menjadi tenaga dalam. Lalu aku mengalirkan tenaga dalam yang sudah diolah ke tangan untuk menjadikannya kebal. Aku memandangi tanganku yang bergetar seperti orang bodoh. Berharap usahaku membuahkan hasil.

The Trials of SatriakartaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang