Pov Kara
Nggak tau kenapa perasaan gue nggak enak banget dari semalam. Di saat teman yang lain udah berpelukan dengan mimpi indah mereka, gue seorang diri terjaga.
Gue sendiri bingung kenapa tiba-tiba ada rasa nggak nyaman di benak gue. Padahal gue sama sekali nggak pengen mikir apa-apa. Dan gue cuma bisa nahan kekhawatiran gue yang nggak berdasar itu sampai matahari bersinar menggeser gelapnya langit malam.
“Mau kemana Kar jam segini udah mandi?” tanya Sheryl yang terbangun pertama kali di antara yang lain.
“Nggak kemana-mana. Mandi aja biar segar. Gue nggak bisa tidur semalaman.”
“Jogging yuk. Masih enak nih udaranya jam segini,” usul Sheryl kemudian, yang gue setujui dengan anggukan pelan.
“Yang lain?”
“GUYS, LARI PAGI YUK BIAR SEHAT!” teriak Sheryl, lantang. Namun ajakannya nggak digubris sama sekali. Semua masih menikmati tempat tidur empuk sembari mendekap selimut hangat mereka.
Ini masih jam setengah enam pagi. Biarpun matahari udah muncul di ufuk timur, tapi suasana memang masih enak buat narik selimut lagi. Kaum mager kayak gue biasanya lebih milih balik tidur daripada beraktivitas.
“Masih pada ngantuk kayaknya abis begadang. Kita berdua aja deh, Kar. Tungguin bentar, gue cuci muka dulu.” Sheryl langsung lari ke kamar mandi.
Setelah ganti kaos, celana panjang training dan sepatu kets warna putih, Sheryl langsung gandeng gue keluar.
***
Baru terhitung beberapa meter gue keluar dari unit apartemen milik Sheryl, langkah kaki gue mendadak berhenti.
Gue seketika berubah jadi patung beku yang diberi nyawa sekedar untuk bernapas.
“Kara.” Sheryl juga menangkap objek yang gue lihat saat ini.
“Nggak mungkin!” gumam gue meyakinkan diri begitu melihat dua orang yang cukup gue kenal di ujung koridor.
“Ayo kesana!” Sheryl berhasil gue tahan pakai lengan agar berhenti di balik pembatas tipis yang menutupi tubuh gue dari sudut pandang manusia di seberang sana.
“Nayend lo, Kar. Sama siapa?”
Nggak peduli dengan pertanyaan itu, mata gue tiba-tiba berkabut tanpa syarat. Melihat Najaendra keluar dari salah satu unit apartemen bersama Michelle. Iya, gue kenal karena gue sering diajak ngumpul makan bareng sama teman kerja Najaendra. Dan kemarin Michelle juga ikut acara touring ke Puncak.
Najaendra berhenti di depan pintu, membetulkan syal yang dipakai Michelle. Perlakuan dia setulus itu. Tatapan dan senyumannya ... berhasil menikam jantung gue.
Sakit.
Na. Itu bukan kamu kan?
Berapa kali gue berusaha menyangkal apa yang gue lihat, tetapi mata gue terlalu sehat dan nggak bisa bohong. Dia benar-benar Najaendra yang setiap hari selalu ada buat gue.
“Ayo kita ke sana, Kar!” ajak Sheryl menggebu-gebu. Malah dia yang kepanasan lihat Najaendra berdua sama cewek lain. Jelas gue juga panas, mungkin sekarang udah jadi abu arang.
Gue sama Sheryl diam-diam mengikuti mereka. Mengendap-endap kayak maling takut ketangkep.
Mereka berdua masuk ke dalam lift. Dan gue ikut masuk kemudian pakai lift sebelah. Gue tebak mereka bakal turun ke lantai basement.
Dan benar. Begitu pintu lift terbuka, gue bisa lihat Najaendra sama cewek itu berjalan menuju parkiran mobil.
Gue sama Sheryl langsung sembunyi asal-asalan di belakang mobil orang. Mengamati dari kejauhan gerak-gerik Najaendra.