Bab 13

231 54 26
                                    

“Diem terus dari tadi.” Najaendra masih fokus mengemudi.

Gue membuang pandangan ke sisi jalanan. Masih enggan membuka suara. Tetapi cowok di sebelah gue ini dari tadi nggak capek berceloteh ngajakin gue ngobrol.

“Kara.”

“Diem dulu, Na. Aku lagi nggak mau ngomong apa-apa.”

“Kamu marah?”

Gue menghela napas dalam-dalam. Rasanya memang pengen marah. Tapi untuk apa. Seharusnya gue marah ke diri gue sendiri, bukan dia.

“Enggak.”

“Jangan bohong.”

Kali ini gue berani menatap cowok berponi belah dua itu. “Aku bukan marah. Tapi lebih ke KECEWA.”

“Na. Kita udah dua tahun ‘kan. Lama nggak sih?” Gue berdecak nyinyir. Mau ditutupin gimanapun, ekspresi kekecewaan gue nggak bisa bohong.

“Udah selama itu, tapi mami kamu nggak tau siapa aku. Okey, aku memang nggak pernah mau ketemu sama mami, tapi bukan berarti kamu nggak pernah bicarain soal aku sekalipun kan? Kamu tau nggak, aku jadi ngerasa nggak sepenting itu. I’m not that spesial!

“Enggak gitu, Yang.”

“Nggak usah ngelak. Aku tau kok apa yang kamu pikirin. Aku ngerti.”

“Tau apa?-”

“Oh ya. Kamu dijodohin. Iya kan? Tapi kamu nggak bilang apa-apa ke aku. Kenapa? Harus ya- main rahasia-rahasiaan? Bahkan kalo hari ini aku nggak lihat dengan mata kepalaku sendiri, kayaknya kamu nggak bakal cerita apa-apa ke aku. Kamu juga nggak perlu capek-capek klarifikasi ke aku.”

Mendadak Najaendra memperlambat laju mobilnya, dan menepi.

Gue tersenyum sinis. Apapun yang bakal dia katakan, nggak akan merubah persepsi gue bahwa Najaendra memang sengaja menutupi semua tentang gue.

“Okey. Denger ya. Mami emang mau dijodohin aku sama Michelle. Itu karena mami sahabatan sama papa Michelle. Tapi kita sama-sama nggak setuju kok. Kamu bisa tanya ke Michelle. Oh, kamu bisa lihat chat aku sama dia." Nana tiba-tiba ngasih handphone-nya ke tangan gue.

"That’s all. Aku nggak cerita ke kamu karena aku pikir nggak ada something yang perlu aku jelasin. Dan itu bukan hal yang harus dibesar-besarin.”

“Tapi hal yang kamu anggap sepele itu, penting buat aku, Na.”

“Okey, maaf. Mami cuma nggak percaya kalo aku udah punya pacar. Aku udah pernah tunjukin foto-foto kamu, tapi dikira aku ngakuin pacar orang.” Najaendra tersenyum simpul. “Kamu  tadi lihat sendiri kan, gimana sikap mami ke kamu? Mami welcome ke kamu. She’s fine. Mami nggak akan maksa asal aku beneran udah punya pacar. Makanya dari dulu aku sering ajakin kamu ketemu mami. Tapi kamu sendiri kan yang nggak pernah mau."

“Tapi mami kamu ngga tau sama sekali tentang aku, Na. Itu karena kamu nggak mau mami tau siapa aku.”

“Kamu bisa nggak, nggak usah terlalu over thinking.”

“Kenapa? Emang iya kan? Kamu pasti malu punya cewek masih bocah kayak aku. Kamu udah nggak  yakin sama hubungan kita dari awal. Makanya kamu sengaja nggak banyak cerita soal aku ke keluarga kamu. Nggak papa kok. Memang aku yang harus sadar diri. Kita cuma nunggu waktu yang tepat buat selesaiin ini semua.”

“Kara. Bisa nggak kita nggak bahas itu lagi.”

“Kenapa? Capek ya? Sama, aku juga.” Gue tersenyum sungging. Mulai lelah dengan hubungan yang seolah tinggal nunggu waktu.

NAJAENDRATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang