Pernah gak sih lo, ketemu sama mantan di saat yang gak tepat?I mean, untuk saat ini ... jujur gue belum sepenuhnya bisa move on dari someone named Agathias Najaendra. Seseorang yang dulu pernah memberi kebahagiaan di hidup gue, sekaligus patah hati yang terencana. Iya terencana. Karena gue udah tau gimana ending cerita gue sama dia.
Bukan salah dia.
Gue, yang jatuh karena harapan gue sendiri.
Setiap hari gue berdoa biar bisa hapus perasaan ini, dan bisa membuka lembaran baru dengan orang baru. Memulai semua dari awal dan melupakan semua hal yang pernah membuat gue kecewa.
Tapi gak tau doa gue yang ditolak, atau gue yang kurang kenceng mintanya. Empat tahun kayak gak ada perubahan sama sekali. Masih menyimpan perasaan ke dia meskipun nggak mungkin bisa balik lagi.
***
Gue masih belum yakin dengan situasi ini, tapi Najend tampaknya benar-benar ingin nganterin gue pulang. Seakan-akan ada sesuatu yang perlu dia sampaikan.
Jujur gue masih nggak nyangka bisa duduk sedekat ini sama Najaendra. Sampai hidung gue bisa mencium aroma parfum ini lagi. Sial. Wanginya bikin gue nostalgia.
Kita berdua saling terdiam dalam perjalanan menuju rumah gue. Pikiran gue campur aduk. Apa yang mau dia bicarakan? Kenapa sekarang?
Gue mengalihkan perhatian dengan mengamati jalanan yang kita lewati. Mencoba mencari sesuatu yang bisa menenangkan pikiran gue yang rumit.
"Kara," ujar Najend akhirnya, memecah keheningan. Tatapannya tetap fokus pada jalan di depan. "Ada yang mau aku tanyain."
Gue memutuskan untuk tetap diam, memberi kesempatan dia untuk bicara, meski sebenarnya gue lagi nggak mau dengerin apapun saat ini.
"Yuta ... sering datangin kamu?"
Nggak tanya kabar gue dulu kah? Harus banget nanya soal Yuta?
Saat mendengar nama itu, wajah gue semakin tenggelam ingin menghilang. Gue nggak bisa menyembunyikan kegelisahan.
Gue masih enggan menjawab, sibuk mengelap muka yang sembab karena air mata.
"Yuta ... " Kalimatnya terjeda, tampak ragu mengorek informasi. Apalagi lihat respon gue begini. "Ada yang nggak aku tau soal Yuta? Waktu itu ... Yuta -- nggak ngapa-ngapain kamu kan?"
Gue menghela napas. Bisa di-skip aja gak sih?
"Kara?" Najend menahan tangan gue yang dari tadi berjibaku dengan tissu demi nutupin muka bengap gue. "Kamu denger kan?"
Gue nggak budeg, Na. Gue denger Lo nanya apa. Tapi gue beneran nggak mau ngomongin soal Yuta. Bisa nggak sih kita langsung pulang aja tanpa harus ngobrol panjang lebar?
"Gue mau pulang, Na."
Najend menaikkan alis. Agaknya terkejut karena gue nggak pakai bahasa aku-kamu.
"-Gue-?" ucapnya, mengernyitkan alis.
Kayaknya dia nggak suka gue pakai bahasa 'lo-gue'. Aneh gak sih kalo masih aku-kamuan. Udah putus juga. Mana udah 4 tahun nggak pernah ketemu, dan nggak pernah chat.
"Aku tanya-"
"Kamu bisa turunin aku di sini. Aku bisa pulang sendiri naik ojol," ancam gue ke Najaendra.
Hmm, gue nggak bakat ngomong lo-gue sama Najend. Malah aneh. Terlalu kelihatan maksa ngasih jarak.
"Kamu ... berani naik ojol?"
Deg.
Gue berdeham. Tiba-tiba aja tenggorokan gatel tanpa sebab. "Ehmm."
Iya, gue gak berani. Gue cuma asal ngomong. Kalau beneran ditantangin, gimana nasib gue nanti? Gimana kalau tiba-tiba ketemu Yuta di jalan. Terus ... ah NGGAK. Gak jadi. Gue takut.