Bab 20

234 26 10
                                    

Pov Kara

Gue terdiam, masih nggak nyangka seorang Najaendra yang selalu berhati-hati dalam bicara, kini seolah bisa mengatakan semua hal tanpa berpikir panjang.

Gue lebih dibuat terbungkam ketika cowok yang berada tepat di depan gue ini semakin mengikis jarak. Mengecup lembut bibir gue tanpa ragu.

Gue bisa merasakan hangat nafasnya menjamah kulit wajah. Mencipta rasa candu untuk terus tenggelam menikmati. Ciuman yang awalnya hanya sekedar kecupan ringan, berubah memanas seketika.

Selemah itu gue terpancing mengikuti hasratnya. Saling melumat lembut, hingga terengah. Bibir manis rasa mint, terasa kian lembab beradu saliva.

"Na." Gue berpaling, mengatur napas yang tersengal karena ulahnya. Kedua tangan gue mengepal menahan dada bidang Najaendra yang semakin menyudutkan posisi gue.

"Sorry," sesal gue karena menghentikan aktivitas semenyenangkan itu secara sepihak.

Gue berusaha untuk nggak ikut tejebak suasana. Iya, salah gue kenapa berani datang ke rumah cowok yang tinggal sendirian di rumah sebesar ini.

"Kenapa?" tanyanya pelan, masih belum bisa menjauhkan ujung hidungnya dari pipi gue. "Takut?"

Gue menunduk ragu, lantas mengangguk mengiyakan. Iya, gue takut nggak bisa kontrol diri. Gue nggak mau terjadi hal-hal yang nggak gue inginkan.

"It's just a kiss. Nggak akan pernah lebih dari itu." Najend memundurkan tubuhnya, sedikit memberi ruang buat gue bisa bergerak.

"Kalaupun berani, aku udah lakuin itu dari dulu."

Gue menelan ludah. "Ya, aku tau."

Dua tahun pacaran, jelas gue tau sejauh mana Najaendra memperlakukan gue. Tapi nggak menutup kemungkinan juga kalau suatu saat ada yang khilaf di antara kita. Who knows?

Najaendra berdeham, menggeser duduknya lebih berjarak. Cowok yang dari tadi pakai jaket itu, lantas melepas jaket tebalnya. "Gerah."

"Lagian kamu ngapain siang-siang pakai jaket?"

"Tadi kedinginan."

"Sekarang?"

Najaendra kembali mencondongkan tubuhnya, mendekatkan wajah. Sampai gue ikut condong ke belakang takut bertabrakan. Cowok di depan gue ini malah menatap gue dengan tatapan buaya mencari mangsa. "I'm feeling so hot, Bebiii."

Langsung gue toyor muka tengilnya biar cepat sadar. "Jauh jauh sana ih!"

Bibir Najend mencebik, melirik kesal ke gue. Nggak ikhlas banget gue suruh jauhan dikit. Jelas sih, toh gue sendiri yang sebenernya nyari perkara. Berani masuk ke kandang serigala kelaparan.

"Aku bikinin minum dulu." Najend menghela napas berat. Lalu beranjak dari sofa. Berjalan malas menuju area pantry.

Cowok ganteng itu berdiri mematung setelah membuka pintu kulkasnya. Berkacak pinggang. Diam, menggigit bibirnya tampak memikirkan sesuatu.

Gue terkekeh geli lihat ekspresinya. Udah kelihatan nggak ada isi apapun di kulkas kecuali kopi kalengnya. Ada juga susu literan yang hampir gak pernah dia minum karena dia beli cuma  buat gue. Padahal bisa dihitung jari berapa kali gue datang main ke sini.

"Lupa. Nggak ada apa-apaan, Yang." Najend menoleh ke belakang. "Jus mangga mau nggak? Masih ada mangga nih."

"Udah berapa hari tuh diem di kulkas?" Gue berani tebak itu buah udah bersemayam nggak tersentuh dari jaman mami-nya balik ke Surabaya.

Yang ditanya malah garuk-garuk kepala, mencoba mengingat berapa lama mangga itu ada di kulkas. "Hampir dua minggu."

Nana jalan balik ke sofa, duduk di sebelah gue dan ambil ponselnya. "Tenang! Everything's gonna be so simple just by this one smart 'ipon'." Alisnya naik turun. Matanya menyipit, dengan bibir monyong bebek- sok kece.

NAJAENDRATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang