4 years after
Pov Kara
"Kara, ayok foto dulu!" teriak Manda melambaikan tangan. Manda adalah teman dekat gue selama gue kuliah. Cewek feminin itu terlihat cantik dengan balutan kebaya. Gak lupa baju toga yang melambangkan kemerdekaan seluruh mahasiswa di hari wisuda.
Gue merangkul pingang ramping Manda, dan tersenyum di depan kamera. Hari ini kita ambil banyak foto untuk kenang-kenangan. Hari dimana gue akan mengingat semua tentang perjuangan gue mendapatkan gelar Sarjana.
Gak kerasa waktu cepat berlalu. Banyak hal yang terjadi di diri gue. Banyak hal yang berubah. Ah, mungkin memang semua harus berubah.
Gue termasuk beruntung karena bisa nyelesaiin kuliah dan ikut wisuda tahun ini.
Hh ... , ternyata fokus belajar tanpa mikirin cowok itu terbukti lebih terarah dan bisa cepat sampai tujuan. Nggak ada lagi drama mengiba minta perhatian, nggak ada lagi drama ngemis-ngemis cinta sama cowok. Cihh!!!
Kalo diinget-inget kek najis banget gue pernah jadi cewek menye kayak gitu. Udah bener ngefangirling aja nggak usah mikirin cowok. Kenyataannya cowok real memang lebih sering nyakitin.
Pada sok kecakepan apa gimana. Bias gue yang notabene lebih ganteng aja nggak pernah bikin gue sedih. Ya tau, meskipun bias gue nggak tau gue hidup, tapi dia selalu ngasih gue semangat. Ngasih gue hiburan di tengah masalah hidup yang nggak ada habisnya.
***
Selesai semua prosesi acara dan foto bersama. Gue, mama dan papa berjalan menuju parkiran auditorium. Zoya nggak diajak. Si anak bebek lebih suka main di rumah nenek. Bagus lah. Kalau dia ikut, anaknya nggak bisa diem juga.
Senyum kedua orang tua gue terus mengembang. Mungkin mereka merasa bebannya udah mulai berkurang setelah gue lulus pendidikan. Terlebih saat mereka tau nilai IPK gue nyaris sempurna.
Kita bertiga masuk ke dalam mobil. Oh ya. Papa sekarang udah punya mobil sendiri. Hasil nabung setelah naik jabatan. Sementara mama berhenti kerja karena fokus sama sekolah Zoya.
Hidup gue rasanya udah diberkahi dengan kebahagiaan, kesehatan, dan keluarga yang harmonis. Meskipun kehidupan gue masih tergolong sederhana, tapi gue yakin nggak semua orang bisa seberuntung gue.
"Mau mampir dulu nggak, Kara?" tanya Papa sembari memutar kemudi menuju pintu keluar area parkir.
"Nggak kemana-mana. Mau kemana emangnya?" jawab gue datar. Melirik jalanan di luar yang masih banyak terlihat wisudawan berfoto di segala spot yang menurut mereka bagus.
"Langsung jemput Zoya aja, Pa. Nanti malem baru makan di luar," usul mama yang duduk di sebelah papa.
"Mama lupa, malem ini Kara ada acara?" tanya gue mengingatkan.
Sedetik mama mencoba mengingat jadwal gue. "Oh iya, kamu diajak Juno ke undangan temennya ya?"
"Iya. Males banget. Kalo nggak inget sering ngerepotin dia, Kara nggak mau ikut."
"Yaudah temenin. Kemarin kan tiap kamu ada kegiatan, Juno terus yang nganterin." Papa emang suka minta tolong Juno tiap papa ada jadwal luar kota.
"Ya makanya Kara mau nolak nggak enak, Pa."
Bukannya manja. Tapi sekali lagi gue ingetin. Papa nggak akan ngebiarin gue pergi sendiri tanpa ada yang jagain. Lebih tepatnya SEMENJAK 'kejadian buruk' yang menimpa gue dulu.
Papa bener-bener protektif setelah kejadian itu. Bahkan gue sampai nggak bisa bersosialisasi dengan baik dengan teman-teman cowok karena kecurigaan yang berlebih. Sedangkan Juno adalah satu-satunya abang cowok yang bisa dipercaya sama papa.
Gue di belakang sibuk mengusap riasan pakai cleanser karena gak betah sama make up setebal tembok China ini.
"Ampun deh Kara. Mama baru lihat kamu cantik sebentar aja malah dihapus riasannya. Nanti dulu kenapa?"
"Risih tau mah. Kara kan udah bilang make up natural. Kenapa jadi ngelenong gini coba?" protes gue ke mama yang jadi MUA gue.
"Cantik kok. Kamunya aja yang nggak pede. Padahal belum foto sama Zoya loh di rumah."
"Nggak penting!" pangkas gue setengah bercanda. Ya apa pentingnya sih anak bontot itu? Toh nanti gue bisa moles dikit-dikit kalau memang mau ambil foto lagi.
Papa cuma senyam-senyum aja. Tau banget kalau anak pertamanya ini nggak suka tampil terlalu feminin.
Sepanjang perjalanan ada aja obrolan seru dari mama. Gue sama papa jadi pendengar yang baik. Meskipun kadang yang mama bahas hal yang dia ulang-ulang.
Di tengah suasana yang membahagiakan ini, senyum gue mendadak sirna ketika ponsel gue bergetar.
Sebuah pesan masuk dari nomor kontak langka. Iya langka. Karena kontak itu udah lebih dari empat tahun nggak pernah muncul di room chat gue. Satu nomor yang nggak gue hapus bahkan sejak 'hari itu'.
Sebuah pesan singkat, yang benar-benar singkat.
Tapi nyatanya bisa bikin hati gue porak-poranda.
[CONGRATULATION]
Hanya satu kata biasa. Tapi ... nggak tau lagi sekarang gue masih hidup atau mati.
Ponsel yang gue pegang udah terlepas dari tangan. Rasanya jiwa gue udah lepas dari raga sangking shock-nya.
Ini beneran dia ngechat gue? Like, seriously?
"Kenapa, Kara?" tanya papa melihat gue tiba-tiba diam.
"N-nggak papa." Gue bohong.
Gimana gue bisa baik-baik aja setelah menerima pesan dari Najaendra.
Cowok yang udah hancurin perasaan gue beberapa tahun lalu. Yang se-kalipun nggak pernah ada kabar setelah kita putus.
Setelah semuanya berjalan sedamai ini, tiba-tiba dia muncul ngasih ucapan selamat.
Gue rasa ini bukan ngasih gue semangat atau dukungan. Tapi malah berantakin hati gue yang sebenarnya mulai tertata.
Mau lo apa sih, Na?
***
***