Bab 14

198 50 5
                                    

Udah seminggu ini gue sama sekali nggak ketemu Najaendra. Nggak marahan, tapi intensitas komunikasi kita bisa dibilang berkurang.

Baru kali ini Najaendra lebih banyak diam, nggak begitu banyak effort buat bujuk gue seperti sebelumnya. Mungkin dia juga mulai lelah sama sikap kekanakan gue. Atau ... dia lagi berpikir, mau dibawa kemana hubungan kita nanti.

Salah gue yang sok sok an ngejauh, kegedean gengsi dan ketinggian ego. Padahal dalam hati, gue tersiksa sendiri.

***

“Kita mau kemana?” tanya gue ketika mobil yang dibawa Zetta menuju ke arah Jakarta Utara.

Pagi ini gue mau diajak healing sama kawanan cewek berisik penghalu oppa ganteng. Tau banget kalo gue lagi galau. Ada aja akalnya buat balikin mood gue yang masih anjlok.

“Kita mau ke ... DUFAAAN!” sorak seluruh anggota genk bersemangat. Sedangkan mulut gue langsung menganga lebar.

Dufan? Bayangan uang-uang gue bakal melayang buat bayarin tiket masuk kita bertujuh.

“Serius ke Dufan? Sekarang? Gue yang bayarin?”

“IYAAA!!!” Gelak tawa mereka membahana di dalam mobil. SIAL! Gue dijebak. Bisa-bisanya mereka nyulik gue buat dipalak gara-gara  kalah main truth or dare kemarin.

“Jangan hari ini juga, woey! Besok gue jajan seblak bayar pake apa?” rengek gue memelas. Bayangin aja jatah uang jajan gue selama sebulan bakal habis buat bayarin tiket tembusan bertujuh dan traktir makan mereka.

“Kapan lagi Kar kita bisa jalan bareng. Minggu depan gue udah prepare ke Jogja loh,” terang Zetta, melirik gue dari kaca.

“Ya tapi kan—”

Ah! Mau kesal, tapi ... selama ini, gue hampir nggak pernah traktir mereka. Biasanya mereka gantian traktir  jajan secara suka rela. Dan mereka paling paham kalau uang saku gue nggak sebanyak mereka. Mereka nggak pernah minta timbal balik dari gue.

TAPI SEKARANG???
Ini niat mau healing malah jadi sinting.

“Tenang, Kar. Kita udah punya voucher kok buat bertujuh,” terang Amel yang membuat gue mengernyit heran.

“Kok bisa?”

“Bisa dong!”

“Punya siapa?”

“Ada deeeh!” jawab mereka kompak. Kok semua bisa tau, sedangkan gue enggak.

Gue berani tebak, pasti Sheryl yang bayarin, si paling sultan dari circle gue.

“Sheryl ya?”

Dengan sangat yakin, Sheryl menggeleng cepat. Menyangkal tebakan gue.

“Zetta?”

“Enggak,” selah cewek berambut panjang hitam legam itu, masih fokus mengemudi.

Satu persatu gue absen karena gue penasaran siapa yang berani ngasih voucher gratisan.

“Terus siapa dong? Sugar daddy lo ya, Mel?”

“Sembarangan! Ada juga lo yang punya sugar daddy-”

“Nggak ada!”

“Nana bukannya sugar daddy lo?”

“Lah! Dia kan cowok gue-”

“Iya dia yang bayarin kita!” Amel menutup mulut keceplosan. “Ups!”

Gue berhasil dibuat melongo. Bener-bener nggak nebak sampai ke sana. Mendadak diam, ngebadut like a stupid as always.

NAJAENDRATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang