•Yuta•
***
"Lepas," pinta gue pelan. Nggak ingin mengundang atensi dari pengunjung lain.
Demi apapun, gue nggak sudi tangan gue disentuh sama dia.
"Santai. Gue nggak ngapa-ngapain lo, tenang aja."
Nggak bisa. Gue jelas takut. Jantung gue mendadak sakit. Berdenyut nggak teratur, sampai nyeri banget rasanya.
"Pergi." Gue memohon. Pandangan mata gue membuyar, gue yakin sebentar lagi air mata gue bakal jatuh.
"Jadi ... lo nggak lupa sama gue kan?" tanyanya, dengan senyum angkuh, tanpa merasa bersalah.
Yuta, cowok yang sekarang duduk di hadapan gue saat ini. Cowok bajingn yang pernah culik gue waktu gue pulang dari rumah Najaendra.
Begitu banyak kata, sumpah serapah yang muncul di otak gue, tapi mulut gue seolah terbungkam. Gue nggak bisa berkutik sama sekali.
Kenangan buruk empat tahun lalu kembali memenuhi isi kepala. Kejadian yang selalu gue denial tentang kebenarannya. Dan gue simpan sendiri tanpa seorang pun tau.
Lagi-lagi gue harus mengingat kejadian mengerikan, saat gue hampir kehilangan sesuatu yang paling berharga. Satu-satunya memori yang paling ingin gue hapus dari ingatan gue.
Gue masih ingat sentuhan-sentuhan menjijikkan itu. Kecupan bertubi-tubi penuh paksaan. Dan suara gelak tawa tanpa belas kasihan melihat ketidakberdayaan gue saat itu. Sekuat apapun gue berusaha memberontak, tapi dia jauh lebih kuat segala-galanya.
Semua bayangan masih terekam jelas. Bahkan terlanjur membekas sampai gue merasa nggak punya harga diri lagi. Gue hanya cewek murahan yang nggak akan pantas untuk siapapun.
Bahkan saat kejadian, gue nggak berani menjawab jujur pertanyaan Najaendra ataupun polisi.
Iya, gue akui gue terlalu bodoh.
Gue terlalu malu sama diri gue sendiri. Dan nggak punya muka kalau sampai orang lain tau apa yang pernah gue alami di masa lalu.
Gue hancur dan trauma. Hingga takut berhadapan sama cowok lain. Takut hal serupa terulang lagi. Dan takut dengan penilaian semua orang.
Gue takut temen-temen gue bakal pergi satu persatu. Atau bertahan hanya karena merasa kasihan. Ya. Gue ngerasa rendah dan sehina itu.
Seandainya itu hal yang baik untuk diceritakan, ... gue pasti nggak akan merasa terbebani. Tapi, kenyataanya gue nggak bisa bicara tentang itu ke siapapun sampai detik ini.
Semua gue pendam sendiri. Gue tutup rapat-rapat. Bahkan orang tua gue sendiri nggak ada yang tau. Gue nggak mau mereka kecewa lebih dalam lagi.
Pipi gue tiba-tiba terasa memanas. Air mata gue menetes semudah itu tiap kali gue keinget kejadian ini.