Pov KARA
Tadi gue ke kosan Amel nebeng papa berangkat kerja. Amel bilang, Sheryl sama Zetta sore ini mau balik ke Jogja. Sedangkan Yura, Kinan, Niken udah balik ke Bandung pagi-pagi buta.
Sebenernya gue ngerasa capek dan kurang tidur. Tapi gue kangen banget sama mereka.
Meskipun cuma ngumpul di kamar, nggak kemana-mana. Dari pagi sampai sore gulung-gulung di kasur, makan, ngobrolin hal random, bercanda, ketawa-ketiwi sama mereka. Tapi itu udah bikin gue bahagia.
Nggak lupa gue curhat ke mereka tentang semua yang terjadi semalam. Antara gue, Najaendra, dan Juno. Dan meminta pendapat mereka.
Mereka menyimpulkan bahwa hubungan gue dan Najaendra udah nggak ada harapan untuk season part 2. Semua sudah berakhir sesuai keputusan yang udah terlanjur gue ambil.
"Gak usah sedih, Kar. People come and go. Kalau Nana bukan jodoh lo, pasti lo udah disiapin jodoh yang jauh lebih baik nanti." Sheryl merangkul pundak gue.
"Masih kurang baik gimana? Bisa-bisanya cowok se-perfect Najend disia-sia in. Kalo kata gue mending lo pilih Najend deh, Kar!" Zetta ikut bersuara.
"Tapi Juno itu lebih suamiable. Dia itu tipikal suami idaman banget."
"Hey! BERSAMA NAJAENDRA HIDUP LO SEJAHTERA! Udah ganteng, baik, kaya raya, humble, royal lagi. Siapa tau kita bakal sering digratisin staycation di Jogja, Bali, Lombok. Atau ke luar negeri? Iya kan?" Zetta sangat bersemangat.
Ternyata pilihan Zetta ada udang di balik bakwan. Sheryl nggak setuju. "Matre lo, Ta!"
"Udah bener Kara sama Juno. Gue yakin dia bakal jadi suami yang bertanggung jawab, peduli, siap siaga jagain Kara kapanpun, dimanapun. BERSAMA JUNO DIJAMIN AMAN!" Sheryl mengepalkan tangan ke atas. Lebih bersemangat.
"Tapi Nana tipe cowok sempurna impian sejuta umat!"
"Iya. Sangking sempurnanya, bikin Kara jadi minder tuh! Lo gak liat?"
"Yaudah berarti masalah ada di lo, Kar. Ngapain minder? Emang apa kurangnya lo sih? Lo cantik, lo pinter. Lo menarik. Sampai Najend yang udah pisah lama aja masih nggak bisa move on dari lo. Kalo ngomongin harta, HARTA ITU CUMA TITIPAN. Lo juga gak miskin-miskin banget, Kar! Apa yang lo takutin?"
"Anjaaay!" Sheryl sama Amel sampai melongo mendengar debatan Zetta. "Lo bener, Ta."
"Gue takut kalau gue jauh dari harapan orang tuanya."
"Lo nikah sama Najend ya bukan orang tuanya! Ngapain lo mikir hal yang gak perlu? Najend terima lo apa adanya!"
"Lo jadi gue dulu deh, Ta. Coba sekali aja lo ada di posisi gue. Baru lo bisa tau gimana rasanya." Nyatanya rasa minder gue bukan cuma soal harta, atau background keluarga. Ada hal yang mereka nggak tau. Tapi gue enggan untuk bercerita.
Nggak ada satupun dari mereka tau tentang masa sulit yang pernah gue alami. Mereka sadar perubahan sikap gue yang lebih tertutup dan nggak percaya diri. Tetapi gue selalu bersikap seolah semua baik-baik aja meskipun mereka selalu khawatir.
"Yaudah, yang penting lo harus pilih salah satu. Pokoknya lo gak boleh nolak dua-duanya. Gue takut jodoh lo jauh kalo lo nolak lamaran. Apalagi ini dua lamaran sekaligus."
Gue menggeleng heran. Masih ada aja yang percaya sama mitos-mitos nggak jelas gitu. "Udah lah. Gue gak mau milih dua-duanya! Gak usah debat lagi. Capek gue mikirnya."
"Wah dibilangin, nggak percaya. Yaudah Juno buat gue aja kalo lo nggak mau," ancam Sheryl kemudian.
"Nana buat gue deh!" Zetta mengangkat dagu percaya diri. Sementara gue cuma melongo, tanpa menyaut atau sekedar membantah.