Feels like dejavu
Gue gak nyangka bakal sesakit ini
Rasanya kayak abis putus, padahal gak jadian
Berulang kali gue bertanya ke diri sendiri
Kenapa harus lari kalau hati menginginkan***
Gue lagi dalam perjalanan pulang, bonceng Juno. Asli benci banget gue sama motor nunggingnya. Tapi lebih benci lagi sama ego gue yang jauh lebih tinggi dibanding jok motor ini.
Gue meremas jaket hitam Juno. Meredam kesal dan amarah di diri gue. Sesak rasanya. Kayak abis diputusin, padahal nggak ada kata jadian. Sakitnya hampir sama. Malah lebih parah.
Untuk kedua kalinya gue ngerasain diam-diam nangis di balik helm.
Gue sesenggukan sangking sedihnya. Sampai nggak berani bersandar di punggung lebar Juno, takut diomelin. Kan nggak lucu. Gue yang sok soan nolak, gue juga yang nangis.
Juno dari tadi nggak bersuara. Entah lagi nggak mood ngomong, atau memang udah terlalu lelah melewati hari ini sama gue.
Juno tau apa yang terjadi antara gue dan Najaendra. Tapi kali ini dia nggak banyak komentar. Justru diam seolah nggak ingin ikut campur atau sekedar memberi masukan. Seperti yang udah dia lakukan selama ini.
“Lo marah, Jun?”
“Hn?” Kepalanya yang sama tertutup helm full face sedikit menoleh, lalu kembali fokus ke depan. Membelah jalanan ibu kota di tengah malam.
“Lo capek ya?” tanya gue sungkan. “Oh iya, besok kerja ya?” ... “Maaf ya, ngerepotin lo terus.”
Gue sadar selama ini sering egois. Nggak peduli selelah apa dia. Yang gue tau, setiap gue butuh, Juno harus selalu ada dan siap nemenin gue.
“Enggak,” jawabnya datar.
Yang terjadi berikutnya, Juno -cowok yang terlihat cuek nggak peduli ini- menarik tangan gue satu persatu. Membiarkan tangan gue melingkar di pinggangnya dan bertumpu di depan perutnya yang rata.
“Pegangan! Nggak usah nangis!” perintahnya tanpa basa-basi. Lalu kembali diam. Nggak ada pembicaraan lagi di antara kita.
**
Motor Juno masuk ke halaman kecil rumah gue. Lalu berhenti di depan teras.
Sekarang udah lewat dari jam satu malam. Hanya lampu teras masih menyala terang sementara yang lain redup. Suasana teramat sepi, menandakan selarut apa gue pulang malam ini.
Gue nggak yakin nanti papa sama mama nggak bakal marah. Meskipun Juno bilang udah ijin, tapi orang tua gue tetap punya peraturan.
Kaki gue berangsut turun, sementara Juno masih duduk gagah di atas motor sportnya.
“Masuk! Malah ngapain,” suruhnya karena gue masih berdiri di samping.
Gue tersenyum manja, sedikit melirik ke atas pada helm yang gue pakai. Biasanya tanpa gue kasih kode, Juno udah sigap bukain helm gue.
Dulu dia selalu ngatain gue bocil manja, karena setiap mau pakai atau lepas helm, gue selalu minta bantuan ke Najaendra. Tapi setelah Najaendra pergi, justru Juno yang ketiban sial buat gantiin tugas receh itu.
Juno memutar bola matanya malas, menghela napas berat. Cowok berjaket hitam itu narik gue lebih dekat. Tapi ... dia nggak langsung bukain helm gue.
Gue tergemap saat tiba-tiba Juno menggenggam kedua tangan gue. Diam tanpa bicara. Tatapannya lekat sejurus. Gue nggak bisa membaca ekspresi Juno kali ini. Antara lelah, atau ... marah (?)