Pov Najaendra
Sore ini gue harus berangkat ke Surabaya. Nggak ada alasan lagi buat batalin rapat perusahaan. Gue udah diteror sama bokap harus datang gimanapun caranya.
Untung aja muka gue udah nggak kelihatan bekas luka. Coba kalo masih ada lebam, gue yakin bokap bakalan ngasih ceramah tujuh hari tujuh malam.
Sedari pagi gue sibuk prepare beberapa barang yang gue rasa penting. Kemungkinan gue nggak akan balik ke sini dalam waktu dekat. Jelas karena mulai besok gue udah aktif di perusahaan bokap. Ya, kemarin gue ajuin resign kantor.
Gue nggak gegabah dalam ambil keputusan ini.
Keputusan untuk berhenti dari kerjaan yang gue suka, dan ... keputusan untuk berpisah dari Kara.
***
Getar notifikasi hape sempat bikin gue kaget karena kelamaan bengong. Gue buru-buru meraih ponsel yang sejak tadi tergeletak di atas nakas.
Gue yang terlalu berharap itu notif dari Kara, lantas menghela napas. Ternyata Om Diwan, ayah Kara.
Oh, please. I miss her so bad.
Anjg banget kan gue. Jelas-jelas gue sendiri yang putusin Kara, tapi malah segila ini nggak bisa berhenti mikirin dia.
"Halo, Om," sapa gue, menjawab panggilan.
"Kara lagi sama kamu nggak, Jae?" tanya Om Diwan tiba-tiba.
"Nggak, Om. Saya lagi di rumah."
"Oh, yaudah. Nanti kalau Kara ke rumah kamu, tolong bilang suruh pulang, ya."
Gue masih mencerna kalimatnya. Jadi sekarang Kara lagi di luar?
Tapi dia nggak ke sini. Dia juga nggak ada kabar mau ke sini. Bahkan pesan dari gue nggak ada satupun dibalas sama dia.
"Om nggak coba telpon Kara?" Sejujurnya gue juga bingung harus gimana. Mendadak rasa canggung kembali singgah setelah gue putus dari Kara.
"Hapenya ada di rumah. Tadi dia keluar sama Juno. Yaudah kalau gak ada. Mungkin dia memang keluar buat makan."
Hh, Juno. Gue kembali menghela napas, entah kenapa merasa lega sekaligus kecewa di saat bersamaan.
"Ya, Om."
Beberapa saat setelah berbincang ringan, obrolan kita berakhir. Gue meletakkan ponsel, melanjutkan kegiatan gue yang tinggal sedikit lagi.
***
Baru gue taruh ponsel di atas tumpukan baju, gue kembali terhenyak begitu mendengar seseorang manggil nama gue.
"Na?"
Spontan gue berbalik ke arah pintu kamar gue yang terbuka.
Untuk beberapa detik gue hanya diam mematung. Masih nggak percaya melihat Kara tiba-tiba muncul di hadapan gue.
Ya Tuhan, kenapa matanya se-sayu itu. Pipinya sedikit tirus, nggak se-chubby biasanya. "Kara."
"Kamu ... sama siapa ke sini?" Ah kenapa gue lupa, barusan papanya bilang dia pergi sama Juno.
Tanpa menjawab, Kara berlari memeluk gue. Mendekap erat seolah takut gue pergi selamanya.
"Jangan pergi, Na," pintanya, terisak pilu.
Gue membalas pelukannya. Mengusap lembut punggungnya agar sedikit lebih tenang.
Gue bisa merasakan sakit di hatinya. Sakit karena terlanjur berharap pada seorang lelaki pecundang seperti gue.
Satu hal yang bisa membuat gue merasa lemah adalah ketika melihat Kara menitikkan air mata. Dan gue sadar ... gue adalah sumber dari semua lukanya.
Gue menyeka air matanya. Merangkup kedua pipi yang biasa gue mainin setiap hari. Mata indahnya kini sembab karena tangis yang entah sampai kapan akan mereda.