Najaendra berjalan pelan ke arah gue. Senyum manis terulas dari bibirnya. Gue nggak bisa menghindar. Untuk apa juga gue menghindar? Sekarang bukan lagi saatnya gue membuang waktu untuk mengedapankan ego sendiri.
Berjarak satu langkah, cowok itu berhenti tepat di depan gue.
Oh, sial! Kenapa gue bisa se-salting ini, kayak orang baru jadian, padahal kita udah dua tahun pacaran. HEY, PLEASE! Senyum lo bisa bikin gue gila, Na.
“Come!” Cowok di depan gue itu merentangkan kedua lengannya.
Tanpa banyak drama, gue langsung memeluknya erat. Nggak peduli sama temen-temen yang pada nyorakin gue. Anggap aja udah hilang rasa malu gue di hadapan banyak orang.
Najaendra mengusap pelan punggung gue. Sesekali mengelus dan mengecup puncak kepala gue dengan lembutnya. Dan gue makin tenggelam dalam dekapan hangatnya. Seolah nggak akan gue lepas sampai kapanpun.
Aroma parfum maskulin ini ... akhirnya kembali menyapa indera penciuman gue. Kenapa rasanya bisa selama ini padahal baru seminggu gue nggak ketemu.
“Udah woey pelukannya!”
“Kita kek ngontrak di bumi nggak sih?”
“LO MENDING PINDAH KE MARS SONO DAH! GUE CAPEK, MAU REBAHAN AJA.” Jelas ini suara Amel, si tukang ngegas.
“Mentang-mentang punya cowok lu! PAMER TEROOOSSS!”Celetukan-celetukan mereka justru bikin gue tambah bahagia. Akhirnya bisa bikin mereka tersolimi.
***
Najaendra nggak sendirian. Lagi-lagi dia serombongan sama teman kantornya. Persahabatan mereka memang sesolid itu. Sampai berlibur-pun biasa rame-rame.
Ada Kak Haikal, Charlie, Kak Marko, Kak Reyhan, yang katanya lagi pedekate sama Michelle. Juga ada Kak Nira, Shila. Dan satu lagi yang nggak mau ketinggalan. Idih males banget lihat muka si tukang cepu. Ah elaaah! Ngapain ikut sih!
Dan sekarang dia melirik sadis ke gue. Dua jari telunjuk dan tengahnya bergerak seolah hampir menyolok matanya sendiri, lalu berpindah menujuk sejurus ke kedua mata gue. Kode yang mengisyaratkan, ‘BE AWARE! I WATCH YOU!’.
Ah, Sial! Kenapa dia harus ada di sekitar gue kalo lagi ngumpul bareng Najaendra.
“Kamu nggak nyoba Hysteria?” tanya Najaendra saat kita berjalan santai melewati area wahana itu.
Sepanjang perjalanan Nana nggak ngelepasin gandengan tangannya. Memang udah nggak ada jaim-jaim nya di depan semua teman.
“Naik yuk?”
“NGGAK! Mending turu," jawab gue, nggak berminat.
“Ngapain jauh-jauh ke sini kalo nggak mau nyoba?”
“Kalo aku pingsan, gimana? Kamu mau tanggung jawab? Baru lihat aja udah berasa copot jantung apalagi naik beneran. Nggak deh! Kamu aja sono sendiri. Jangan ajak-ajak aku.”