Part 22

220 24 5
                                    

Pov Kara

Sepanjang perjalanan Najaendra membiarkan gue bersandar di dadanya. Dekapannya mencoba memberi ketenangan. Namun nyatanya gue belum bisa mengatasi semua kecemasan yang mendera.

Tangan gue masih gemetar. Degup jantung gue semakin nggak beraturan.

Sampai detik ini gue masih nggak percaya dengan apa yang baru saja gue alami. Sekelebat bayangan wajah itu masih terus mengganggu pikiran. Bayangan saat Yuta- cowok berparas Jepang itu mencoba mendekati wajah gue. Sedekat itu.

Sedekat itu.

Nggak! Dia hampir nyium gue.

Gue menenggelamkan kepala. Menggeleng nggak terima. Merasa jijik dengan sekelumit kenangan buruk di hidup gue.

Tanpa sadar gue terlalu kuat meremas lengan Najaendra, sampai ujung-ujung kuku gue hampir menusuk kulitnya. Najaendra diam, nggak mengeluh sedikitpun. Mungkin luka lebam di muka dan tubuhnya terasa jauh lebih sakit.

“It’s okey. You have me,” tutur Najaendra pelan. Nggak lelah mengusap bahu gue.

Lagi-lagi air mata gue kembali menetes. Sadar gue terlalu egois di sini. Menangisi keadaan gue sendiri, tanpa peduli dengan kondisi Najend sekarang. Bahkan gue belum sempat menanyakan dia yang gagal ke Surabaya.

"Na."

"Hm," balasnya dengan tatapan kosong, tanpa melepas gue dari rengkuhannya.

"Maaf."

"Untuk?"

"Gara-gara aku kamu nggak jadi pergi."

Dari hembus napas yang gue rasa di dadanya, gue tau dia nggak berminat bahas ini sekarang.

"Itu nggak penting. Yang penting kamu selamat."

"Kalo dia jadi terbang, yang ada lo udah diapa-apain sama Yuta. Mau lo?" Juno ikutan nimbrung.

Mendengar itu, gue semakin nangis kejer. Nggak sanggup bayangin gimana jadinya kalau mereka terlambat datang nolongin gue. Yuta bener-bener manusia semenyeramkan itu.

"Juno jahat!!!" rengek gue nggak punya malu meski ada Marko lagi fokus nyetir.

"Emang iya kan?" tanyanya tanpa empati, menoleh ke gue yang duduk di belakangnya.

"Nggak usah diingetin!" teriak gue sewot.

Najend yang masih setia meluk gue, dengan enteng menendang punggung Juno dengan ujung kakinya, dan cowok rese itu balik madep depan.

"Nggak usah dengerin dia."

"Awas ya kalo nanti cepu ke mama!" peringat gue ke abang sepupu ngeselin itu.

"Om Diwan udah tau. Paling Tante Nina juga udah tau."

"Hahhh?!! Tau darimana?"

"Tadi Om Diwan nelpon pas lo lagi diinterogasi."

Iya, tadi tas sekolah gue memang dibawa sama Juno.

Gue cuma bisa melongo. Nggak tau lagi nanti harus gimana pas ketemu papa di rumah.

Drrtt!!!

Gue dengar getaran dari ponsel Nana dari dalam tas kecilnya. Beberapa lama Najend masih diam ngga peduli dengan notifikasi itu. Gue sedikit menggeser badan, memberi dia ruang buat ambill handphonenya.

Nana mengeluarkan ponselnya. menatap sekilas layar persegi itu. Namun dia terlihat nggak berminat mengangkat panggilan itu atau sekedar memberi balasan.

Gue menatapnya tanpa berucap sepatah kata, tetapi cukup mengisyaratkan pertanyaan, 'kenapa nggak diangkat'.

Najaendra diam. Memasukkan kembali ponselnya ke dalam tas.

NAJAENDRATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang