Pov NajaendraAcara gathering perusahaan bokap berlangsung meriah. Agenda tahunan yang biasa diadakan di Surabaya atau Bali, kali ini panitia penyelenggara menetapkan Dufan sebagai tempat kunjungan wisata untuk seluruh pegawai.
Nggak ada faktor kesengajaan kenapa gue bisa dapetin voucher jalan-jalan ke Dufan. Sebelum gue dikasih tau Amel kalau genk centil mereka ada rencana ke sini, gue udah lebih dulu tau agenda perusahaan.
Karena kebetulan itulah, gue minta voucher tambahan lewat ordal, dan hari itu juga gue langsung dikirimin 20 voucher. 16 gue pakai, sisanya gue kasih ke si ‘mbak’ dan keluarganya.
Tadinya gue nggak ada rencana untuk ikut isi acara gathering karena gue nggak terlibat sedikitpun di perusahaan bokap. Tapi atas permintaan panitia, gue diminta memberi kata sambutan sebagai perwakilan dari komisaris perusahaan. Karena ada jadwal lain, bokap nggak bisa hadir ke sini.
***
Dari tadi Kara spam chat dan nggak ada satupun yang gue balas. Selain memang sibuk, gue juga lagi pengen ngerjain dia, biar dia makin overthinking. Seolah gue menghilang tanpa kabar.
Begitu semua urusan selesai, gue kirim pesan ke Amel. Gue suruh dia bawa Kara ke hall tengah dimana ada panggung dan tenda besar yang disewa khusus dari perusahaan.
Dan disitulah, akhirnya gue bisa ketemu Kara setelah seminggu jarang bertukar kabar. Dia tersenyum seindah mentari. Senyuman yang selalu gue rindukan setiap hari.
Tapi kali ini gue lihat ada air mata di sana. Seketika gue merasa bersalah. Nggak seharusnya gue pura-pura nggak peduli, padahal sekalipun gue nggak bisa berhenti mikirin dia.
***
Kita seharian berkeliling nyobain hampir semua wahana. Bisa berhenti karena udah pada capek dan pengen pulang sebelum petang.
“Na, kamu nggak mau ngomong sesuatu?” tanya Kara begitu kita udah di mobil. Kita masih diam di parkiran, duduk santai sambil ngabisin es krim yang kita beli dari sana.
Gue cuma berdua sama Kara. Temen yang lain udah pulang duluan bawa mobil masing-masing.
“Na?”
“Iya, soal apa?” tanya gue sok cuek nyendok es krim rasa cokelat ke mulut. Gila lembut banget ini es krimnya.
“Yang tadi itu beneran dari perusahaan papa kamu?”
Seriously, Kara yang dikit-dikit minder ini harus gue apain enaknya. Mau dijawab jujur atau bohong tetep bakalan salah. Emang dasar cewek suka nyari-nyari topik masalah.
Gue bingung mau jawabnya. Selama ini gue nggak pernah bahas urusan bisnis keluarga. Kalau ada yang tanya tentang usaha papa, paling gue bilang ada usaha meubel. Apa sebuah keharusan untuk bilang kalau pabrik meubel papa ada beberapa cabang dan semua hasil produksinya diekspor ke luar negeri.
Lagipula buat apa juga gue cerita panjang lebar banggain kesuksesan papa. Itu semua di luar campur tangan gue. Gue nggak mau munafik. Udah jelas masa depan gue ada di sana. Tapi untuk saat ini, gue masih mau menikmati masa-masa kerja gue. Dan tentu karena satu alasan.
“Nana?”
“Apa?”
“Kamu tuh ditanyain malah ngelamun.”
“Oh, mau nyari makan? Ayok!” jawab gue, sengaja.
“Kebiasaan deh. Ditanya apa, dijawab apa.” Kara cemberut tapi bisa lucu imut gemesin gitu. “Emang kenapa sih? Aku nggak boleh tau tentang keluarga kamu? Kamu aja tau gimana keluarga aku. Sampai silsilah keluarga, bahkan kerjaan papa juga kamu tau. Terus cuma bilang ‘iya itu dari perusahaan papaku’ apa susahnya?”