Tiga

896 100 10
                                    

"Baruuu ... ku sadari ... cintaku bertepuk sebelah kakiiii....!"

"Tangan, kampret!" tegur Eron saat Akasia dan Junet bernyanyi dengan niat menyindir dirinya. Akas dan Junet terpingkal-pingkal. Mereka semua sedang duduk di teras rumah yang akan di tempati Akasia setelah menikah dengan bebeb Sabria, letaknya ada di ... depan ruma Tristan.
Ya ... jangan kaget, cukup Tristan yang seperti itu.

"Bu Sonya mau balikan sama mantan suaminya kali, disogok duit banyak kali, ya," celetuk Junet.

"Sonya nggak matre. Lagian mantan suaminya itu pelaut, dan setelah gue selidiki seksama, mereka masih saling cinta. Mereka cerai karena Sonya tangkap basah suaminya ciuman sama temen kerjanya, bukan waktu di atas kapal, tapi di kantornya."

"Lo tau dari mana, Ron?" Akas penasaran.

"Gue tanya Bu Dina, dia yang turun tangan cari info," jawab Eron sambil menatap nelangsa langit sore.

"Oh, pantes. Akurat, sih. Ngomong-ngomong, soal kampus kita yang mau dihancurkan dalam tanda kutip, bikin Pak Duta ngamuk, lho." Akas mencoba membelokkan topik obrolan, nyatanya Eron mengedikkan bahu, tak peduli. Ia hanya memedulikan cintanya yang hampir pupus, atau sudah?

"Kas, gue cabut, ya, udah selesai kan pindahannya. Baek-baek lo, tetangaan ama Tristan, kasihan dia dikintilin lo terus." Eron beranjak. Akas tertawa. Masa bodoh kalau kata dia, Sabria juga maunya tinggal dekatan dengan kakaknya.

"Ada rumah kosong lagi, Ron, lo sewa deh, tuh yang pojok!" tunjuk Akas.

"Ngadi-ngadi lu, rumah gue cuma lima ratus meter dari sini, mau digorok Nenek gue. Udah ah, habis tenaga gue ngobrol sama kalian. Eh iya, Junet, lo udah dapet nomer whatsappnya Dira? Lo yakin mau peept adeknya Pak Duta?"

Akas menoleh cepat, tampak Junet cengar cengir sambil mengangguk. "Cakep coy, manis banget anaknya. Cocok sama gue, 'kan?" jawab Junet.

"Beugh! Bukan main sobat sejati kita, targetnya adek dosen, semoga sukses." Akas menepuk bahu Junet. Eron berpamitan lalu melajukan sepeda motornya keluar cluster, tujuannya mana lagi jika bukan rumah Sonya. Tak mau menyerah, ia ingin berjuang lagi walau harus pupus beberapa kali, ia akan berjuang lagi.

Tiba di depan rumah Sonya, ia melihat pintu ruang tamu terbuka, kepalanya menoleh ke kanan dan kiri, memastikan jika ia masuk tidak diteriaki maling.

Baru langkah ia masuk, terdengar makian perempuan dan suara teriakan perempuan lainnya. Eron mendekat.

"Pelakor!" teriak wanita cantik dan seksi yang baru saja menampar wajah Sonya. "Jauhin Indra! Dia suami gue!" makinya lagi. Tangan wanita itu terangkat, seketika Eron menarik Sonya supaya berdiri di belakang punggungnya.

"Saya bisa laporkan anda dengan ancaman kekerasan, ya!" bentak Eron. Wanita di hadapannya begitu marah hingga dada montoknya kembang kempis, maaf, Eron tidak terpancing dengan hal itu. Tatapan Eron serius, tak main-main dengan ucapannya.

Wanita itu beranjak pergi dengan kembali mengancam Sonya yang dibilang pelakor. Setelah itu, Sonya menghentak tangan Eron yang menggenggam tangannya.

"Pergi kamu, Ron," lirih Sonya sambil berjalan ke arah pintu kamar mandi. Eron yang terlihat konyol diluar, sebenarnya bisa bersikap serius apalagi berhubungan dengan Sonya.

"Nggak akan. Kali ini aku nggak akan tinggal diam. Dia siapa? Istri mantan suami kamu?! Kenapa kamu dibilang pelakor? Kamu nggak mau rebut Indra dari istrinya, 'kan?!" Wajah Sonya memerah, bukan karena malu dengan ucapan Eron, tapi rasa perih bekas tamparan.

Keduanya saling bertatapan, untuk pertama kalinya hal ini terjadi, Eron kepanasan, apalagi saat melihat air mata Sonya mengalir membasahi wajahnya. Ia panas ingin merengkuh tubuh langsing Sonya. Peluk ... enggak ... peluk ... enggak. Keraguan muncul hingga ....

"Maaf," lirih Eron saat membawa Sonya ke dalam pelukannya. Sonya terisak, bagaimana bisa ia selemah ini, ia benar-benar tidak bisa menolak saat Eron semakin erat memeluknya. Bahu Eron tempat ia bersandar dari masalah pelik yang dihadapi, lelaki itu rela mau selama apa pun bahunya menjadi sandaran Sonya.

Mereka duduk bersama, di sofa yang ada di ruang tamu rumah Sonya. Tangan Eron tak henti menggenggam jemari tangan Sonya yang dingin. Kepala dosen galak di hadapannya terus tertunduk.

"Bu dosen, udah dong nangisnya. Nggak haus atau laper gitu, jajan yuk," godanya. Sonya memanyunkan bibir sambil menyipitkan mata ke arah Eron. Lelaki itu tersenyum. Tangannya terulur mengusap kepala Sonya begitu lembut. "Aku percaya kamu bukan pelakor, nenek sihir tadi yang pelakor, nggak punya kaca kali di rumah, ya, jadi nggak bisa lihat diri sendiri." Eron terkikik geli.

"Pulang sana, udah magrib," usir Sonya dengan suara lembut.

"Nggak mau, ah. Jarang momen Bu Sonya kalem gini terjadi. Enak nggak tadi di peluk, hum?" Eron semakin menjadi, ia terlalu jatuh cinta dengan sosok di hadapannya. Mereka saling menatap dan ...

Sepuluh menit kemudian. "Maafin aku, Ron, maaf ... aku--"

Eron tak peduli, ia kembali mengecup bibir Sonya, katakan ia amatir, nanti lama-lama juga Pro--pikir Eron. "Kita jadian, udah sampai sini dan aku akan buktiin kalau kamu bukan pelakor. Kamu janda baik-baik, lupain pelan-pelan mantan suami kamu, aku sabar menunggu. Jangan bikin cintaku pupus lagi, Sonya, aku mohon." Kedua mata Eron berkaca-kaca, ia tak akan bohong dengan ucapannya. Sonya menggigit bibir bawahnya, membuat Eron gemas. Ia memeluk Sonya, biarlah hal baik terjadi semudah membalik dua keping mata uang yang berbeda, Eron akan mejaga cintanya, juga menjaga Sonya--kalau ini nggak janji, kalau bisa langsung nikah, nikahin juga secepatnya, tapi ... ada nenek yang tidak suka ia pacaran dengan janda. Eron sudah mendapatkan Sonya, tapi belum dengan restu nenek, bagaimana ini?

Ia pamit pulang, di dalam hati ia berterima kasih dengan istri Indra yang tadi sore menampar Sonya, jika ini ia menyandang predikat pacar brondong Sonya.

Sonya tersenyum tipis, hatinya masih ragu dengan apa yang terjadi, salah dirinya juga, tadi nyosor duluan, jadinya Eron terpancing makin asoy, 'kan.

Eron tiba di rumah, ia bingung karena rumah ramai. Saat mengucapkan salam, neneknya menghampiri, ia lalu menarik tangan Eron supaya duduk di sofa bersamanya.

"Eron, kenalin, ini Cantika, cucunya temen Nenek. Cantik sama seperti namanya, dia mahasiswi juga, sama kayak kamu, dan ... ehem ...." Nenek berdeham sejenak, lalu berbisik ke Eron. "Masih segel." Nenek kembali duduk tegak. Eron menatap kesal ke nenek yang seperti tau isi pikiran dan apa yang terjadi padanya beberapa saat lalu.

Ia tak kuasa beranjak, mau tak mau berkenalan dengan Cantika. Hampir lima belas menit ia duduk dengan kepala tertunduk juga gelisah, tapi saat chat masuk dari Sonya muncul di ponselnya, moodnya mendadak baik, padahal wanita itu hanya mengetik pesan.

'Ron, udah di rumah? Kenapa nggak kabarin? Besok aku mau belanja ke supermarket, setelah itu ke rumah Keisha antar pesanan kue pie.'

Eron ingin melompat ditempat saking girangnya, tapi tak mungkin. Dengan cepat ia mengetik pesan balasan.

'Aku antar, mumpung masih libur kuliah, kalau udah di kampus nggak bisa deketan sama kamu. Jam delapan aku udah di sana.' Balas Eron.

Sonya membalas lagi.

'Iya. Ron, maaf untuk yang tadi.'

Eron semakin melebarkan senyumnya, hal itu membuat neneknya bergidik ngeri, takut cucunya ketempelan setan gila.

'Ngapain minta maaf, kalau jadinya aku bisa ungkapin perasaan aku ke kamu setelah selama ini. Tunggu aku besok, ya, Sayang.'

Eron mengulum senyum, kakinya tak henti bergerak seperti sedang menjahit. Suara nenek membuyarkan pikirannya.

"Ron, besok antar Cantika ke acara seminar, ya, jam delapan." Perintah nenek. Eron meneguk ludah kasar, ia tidak mungkin membatalkan janji dengan Sonya, lalu apa yang harus Eron lakukan?

bersambung,

Aksi Papa Muda ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang