Tiga tujuh

378 85 7
                                    

"Athena ... jangan nangis, Sayang," peluk Eron sambil menggendong putrinya yang sesenggukkan. Ia terlalu polos, Eron dan Sonya bingung menjelaskannya mau seperti apa.

Semuanya menikmati makan siang bersama, suguhan sederhana yang memberi kesan kekeluargaan. Diputuskan jika tidak ada syukuran Abe sudah sunat, Tristan malah mengusulkan ide liburan keluarga ke Disney land Hongkong, maklum, orang kaya, 'kan, jangan iri kalian pembaca 😌 (Padalah saya iri).

Adik Tristan yang kini sudah menjadi wirausaha muda, memberikan tambahan hadiah berupa akomodasi pulang pergi. Ia juga akan mengajak calon suaminya ikut serta, lelaki asli Korea yang terpikat adik Tristan yang memang keluarga mereka masih keturunan mata sipit, jadilah jatuh cinta.

"Oppa, lo masih di Seoul?" tanya Andra.

"Iya. Kenapa? Mau skin care gratis? No way, ya," singutnya.

"Idih. Gue udah punya skin care paten, tuh, dokternya Sabria. Kalau gue nggak diseret-seret dia ke dokter langgananya, masih buluk muka gue."
Andra membela diri. "Nggak perlu jauh ke Korea," sambungnya.

"Awas, lo. Nggak gue kasih tiket gratis ke sana buat hadiri acara resepsi pernikahan gue nanti!" geramnya.

"Dih, mainnya ancaman, jangan gitu, lah ...." Keduanya memang sering ribut, sejak dulu bahkan sampai saat ini. Semua sudah tau tabiat dua manusia itu. Sayang, dua-duanya tak ada rasa, jadi Tristan tak bisa iparan dengan Andra.

"Kas, kapan ke rumah Pak Duta lagi?" Junet duduk di sebelah Akasia sambil memegang gelas berisi es campur.

"Kenapa? Mau tanya Dira?" lirik Akasia. Junet mengangguk.

"Elo dateng ke kantornya, jemput Dira tanpa janjian apa pun. Om Pandu sama Tante Zita kebetulan lagi di Solo, sampai bulan depan, pepet gih anak bungsu Om Pandu. Pak Duta nggak tinggal sama ortunya lagi, 'kan, di rumah itu cuma ada Dira sama bibi yang sekarang anak, mantu sama cucunya ikut tinggal di sana, nemenin Dira katanya." Akasia menjelaskan panjang lebar.

"Serius?!" Junet berbinar. Ia senang bukan main. Akasia mengangguk. Ia sungguh informan handal. "Gue ke sana, ya, kali aja Dira di rumah. Hari sabtu, pas, gue ajak jalan sekalian." Junet beranjak. Ia berjalan ke dapur rumah Tristan, meletakkan gelas lalu pamit ke semua orang.

Ia mengemudi dengan hati riang gembira. Memutar radio yang memainkan lagu penuh dengan ukiran cinta, membuatnya semakin senang.

Jam satu siang, ia tiba di rumah itu setelah lama tak menyambangi. Ia mematut diri di spion tengah, lalu turun sambil membenarkan jam tangan g-shock hitam melingkar dipergelangan tangan kirinya.

"Assalamualaikum," panggilnya. Tak butuh waktu lama. Seorang pria keluar sambil membawa gunting rumput besar. "Waduh," gumam Junet seraya menelan ludah.

"Cari siapa?"

Oh, ini pasti anaknya bibi. batin Junet.

"Siang, Mas, Diranya ada? Saya Jun--"

"Kak Junet?" Sosok Dira muncul di depan pintu. Tersenyum ramah menyapa. Rambut panjangnya tergerai indah, bola mata indah dengan bulu mata lentik ikut menyapanya. Junet berdebar ... deg ... deg ... deg ... deg ... bidadarinya semakin sempurna.

"H-ai," sapanya terbata.

"Hai," balas Dira. Anak bibi masuk ke dalam rumah, Dira mengajak Junet duduk di teras rumah.

Sama-sama canggung, Junet hanya bisa meremas jemarinya sambil sesekali melirik. Jika ada kelima sahabatnya, sudah ditimpuk botol air mineral si Junet. Sok malu. Padahal ngebet banget sama Dira.

"Okeh. Aku ke sini mau--"

"Apa kabar, Kak?" Pertanyaan Dira membuat Junet keringat dingin. Sial, apapun yang dilakukan Dira membuat Junet bereaksi tak karuan. Ia menahan diri untuk tak terlihat cupu, malu, dong ... tubuh udah kekar apik terjaga, rambut cepak rapi, wajag halus bak pantat bayi, tubuh wangi karena parfume rekomendasi Tristan, haruslah terlihat matang dan dewasa.

"Aku kembali setelah empat tahun, Dira. Aku naksir kamu dan mau dekat sama kamu. Kita PDKT dari awal dan aku akan berusaha luluhkan Papa kamu karena ak--" Junet diam. Dira tersenyum tapi kedua matanya berkaca-kaca. "Ada apa?" lirih Junet. Ia menarik kursi ke hadapan Dira, masa bodo ada CCTV yang dipasang Pandu di teras, kalau lihat Dira dan Junet berhadap-hadapan.

"Aku udah dijodohin sama Papa, calonnya ada di Solo dan bulan depan ke sini. Dia mau lamar aku. Ini pilihan Papa, aku nggak bisa apa-apa," cicit Dira. Ia menangis.

Lho, kok nangis? Sebentar, Junet mikir dulu. Agak lemot otaknya.

"Terus ... kenapa kamu nangis? Apa kamu--"

"Kak Junet lama datangnya! Aku udah keburu dijodohin, 'kan?! Sebel!" omel Dira. Ia memukul lengan Junet.

Junet terkejut, sangat terkejut. Jadi ... selama ini Dira menunggunya. Mereka sama-sama menunggu, itu intinya. Bodoh, Junet menggigit bibir bawahnya, merutuki ketidak pekaannya.

"Ra, serius?" bisiknya di depan wajah Dira. Gadis itu mengangguk sambil menghapus air matanya.

Well ... Junet mendadak mendapatkan kekuatan super. Ia melirik CCTV dengan tajam, ia yakin, Pandu pasti memperhatikan. Apa alasannya Pandu tidak setuju Junet menyukai Dira, malah mau menjodohkan.

Aduh, Papa Panduuu ... segitu ketatnya jaga Dira. Kasihan Junet dan Dira.

***

"Kenapa nggak kasih kode, Dira, kayak gini ... kita jadi sama-sama buang waktu ... eh, tapi nggak juga, deng, aku punya waktu buat cicil rumah dan ...," ia menjeda. "Cie ... Dira, suka sama aku juga ternyata," ledeknya. Dira menggamit lengan Junet erat, mereka berjalan di taman kota setelah jajan cilor, Dira suka jajanan kaki lima. Enteng bagi Junet untuk menuruti.

"Papa tau aku nunggu kamu, tapi aku  nggak paham kenapa Papa nggak suka sama kamu. Laki-laki yang mau dijodohin ini dokter, praktek di rumah sakit besar di Solo. Anak temennya waktu SMA. Mama ribut sama Papa, gara-gara ini dan Mama kabur ke Solo. Males nanggapi Papa yang kayak anak kecil. Papa kelimpungan pas Mama kabur. Itu Aki-aki sama Nini-nini sama ngeyelnya sekarang. Cucu udah banyak kelakuan masih kayak gitu."

Junet tersenyum, ia menepuk tangan Dira yang melingkar di lengannya. "Jangan khawatir, aku pasti bisa dapat restu Papamu. Kalau Mama gimana?"

"Mama, sih, asik ... malah suka tanya kamu. Kenapa udah lama banget nggak kelihatan main ke rumah Mas Duta atau main ke rumah bareng Mas Duta, padahal kamu modus mau ketemu aku, 'kan?"

Junet tergelak. Ia mengangguk. "Aku sibuk kerja dan vermak diri. Nggak lihat hasilnya? Demi kamu. Aku mau memantaskan diri, Dira."

"Terima kasih," jawab Dira yang tidak malu menunjukkan perasaannya. "Papa udah tua, aku paham kenapa sikapnya begini, tapi nggak nyangka kalau sampai jodohin aku. Aku udah dewasa, udah kerja dan--"

"Dira, kita mulai dari sekarang, ya," sela Junet. "Aku nggak mau sia-siain waktu lagi. Kita sama-sama memendam rasa dalam diam, empat tahun, Dira, udah lebih dari cukup. Papa Pandu pasti bisa aku luluhkan. Pertanyaannya, apa kamu siap ... berjuang bersama demi restu Papa Pandu dan ke depannya aku serius mau jadikan kamu pasangan hidupku? Jadi wanita yang selalu aku cinta." Junet menatap Dira begitu dalam. Kepala Dira mengangguk.

"Alhamdulillah ..., terima kasih, ya, Allah!" teriak Junet hingga membuat orang-orang menatap aneh ke arahnya. Dira tersenyum senang. Ia akan berjuang bersama Junet.

"Papa kamu ... masih suka ngelas?" Junet menoleh lagi.

"Nggak. Tukang lasnya larang Papa dateng, katanya serem kalau ada Papa. Ditegur ini itu melulu. Papa suka gitu, iseng nongkrong tukang las pagar, tau-tau dicerewetin ini itu. Mama yang sering paksa Papa pulang. Udah mulai jadi Aki-aki resek, tapi gayanya, ya ampun."

Junet tertawa pelan, "Papamu itu, kan, mirip Burak Ozcivit, aktor Turki itu, tapi rambutnya sekarang beruban."

"Apaan, kamu harus tau, Papa baru ngecat rambutnya warna coklat brownies."

"Hah?!"

"Serius. Diledekin sama Mas Duta, eh Papa ngambek."

Junet diam, ia tau harus siapa yang dipegang atau didekati demi meluluhkan Pandu supaya merestuinya. Duta. Salah satu kakak kembar Dira, sepertinya hanya Duta yang bikin Pandu bisa mengubah hati juga niatnya.

bersambung,

Aksi Papa Muda ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang