Dua satu

549 102 8
                                    

"Udah ... makan dulu, nih," ujar Tristan sambil menyodorkan cheese burger double patty dengan kentang goreng juga minuman cola ukuran jumbo. "Kali jodoh nggak akan ke mana, Net," lanjutnya lagi.

"Gue yakin itu cowoknya," tukas Junet sambil menyedot cola.

"Sok tau, lo. Coba tanya Pak Duta sana," perintah Tristan. Junet menggelengkan kepala.

"Gue mau cari tau sendiri."

"Halah ... udah lah, nggak perlu. Sekarang dengerin gue. Elo, fokus kerja, cari duit buat beli vitamin tubuh. Lo work out juga, gue temenin deh. Net, penampilan cowok juga harus dijaga, seenggaknya buat nyenengin diri sendiri dulu aja. Kalau badan bagus kan happy."

Junet memalingkan wajah, baginya mengejar Dira seperti ada saja halangannya. Kalau lelaki tadi memang pacarnya Dira, pupus sudah harapan.

"Net, lo harus sabar. Cinta itu nggak bisa lo paksa, baik keadaan apalagi waktu. Let it flow. Gue yakin lo paham buat hal itu."

Junet menghela napas. "Gue pingin kayak lo pada, nikah cepet, jadi Papa-papa muda."

Tristan tertawa, hal itu membuat Abe yang tertidur digendongan Tristan bergeliat. Tristan mengusap kepala Abe hingga sang putra tertidur lagi.

"Nikah bukan buat bersaing, Net. Bentar lagi Bondan nikah, terus lo makin uring-uringan gitu? Ngaco." Tristan melempar Junet dengan potongan kentang goreng.

"Lagian, masa gue kalah sama Pak Duta, dia aja udah nikah. Padahal jutek, galak, dingin, songong kayak gitu."

"Wah parah. Pak Duta kakaknya Dira dodol!" pekik Tristan.

"Oh iya, lupa gue." Kemudian keduanya tergelak. Makan siang mereka di selingi gelak tawa, tak peduli dilihat aneh orang-orang. Setelah makan, Junet bergegas ke lokasi proyek yang sedang ia survey, sedangkan Tristan langsung pulang ke rumahnya.

Sepanjang perjalanan ia terus tersenyum, tak menyangka hidupnya sudah mengarah ke hal serius, punya istri dan anak, karena bagi Tristan semua itu sebelumnya tidak pernah ia bayangkan cepat terjadi.

***

Eron duduk menunggu Sonya periksa kandungan, usia kandungan sang istri sudah masuk enam bulan. Bunga-bunga dihatinya bermekaran karena sang jabang bayi berjenis kelamin laki-laki. Seperti harapan juga cita-citanya, ia ingin anak pertamanya laki-laki.

Pintu terbuka, Sonya berjalan keluar dari ruang praktek bidan lalu mendekat ke suaminya.

"Anak kamu sehat, Ron. Kamu ditanya Bu Bidan kenapa nggak ke dalem," tukas Sonya sambil berjalan ke tempat pengambilan obat.

"Aku takut malahan, Yank, kalau lihat kamu diperiksa kayak gitu. Nanti aja kalau udah lahiran, deh," lanjutnya.

Tak berselang lama, mereka berjalan keluar dari tempat itu, Sonya mengapit lengan Eron dengan tangannya. Mereka tidak naik kendaraan apa pun, karena lokasinya dekat, masih di dalam komplek tempat mereka tinggal yang terpecah menjadi beberapa cluster.

"Mau makan apa?" Eron menatap Sonya yang mendongak membalas menatap.

"Soto ayam aja, yuk. Di sana, tuh. Kamu langsung ke kedai habis ini? Apa jadi ke Lembang buat ketemuan sama Ray?"

Eron menggelengkan kepala. "Ray kirim laporan lewat email, kok. Jadi aku ke kedai aja. Kebetulan Sabria lagi mabok berat, jadinya bagian kasier sama pembukuan harian nggak bisa di pegang. Aku bantu di sana juga."

"Sabria beneran hamil, Ron? Udah fix?"

"Fix, dong. Masih lima minggu katanya. Eh tapi seru ya, Yank, anak-anak aku dan sahabatku bisa main bareng karena sepantaran. Seru, nih."

Aksi Papa Muda ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang