Empat tiga

393 88 4
                                    

Mau tamat di bab berapa? 

______

Sabria memeluk erat suaminya, mencoba memberi ketenangan saat hatinya bergejolak. "Jangan gini, Kas, nggak enak sama keluarga Andra," bisik Sabria. Akasia mengangguk. Lemah betul suaminya jika berkaitan dengan sahabat-sahabatnya. 

Rombongan masuk ke rumah calon istri Andra, rumah sederhana di gang sempit walau masih di pusat kota Bandung. Mereka disambut ramah keluarga Asri, nama calon istri Andra. Kalau kalian ingat gadis yang dulu Andra temui, mohon maaf, bukan dia. Tetapi gadis lain yang Andra kenal saat membeli makan malam di dekat kantor cabang di kota itu. Seorang perawat di rumah sakit, yatim piatu juga sama seperti gadis sebelumnya. LDR tak menjadikan Andra menyurutkan keseriusannya meminang Asri, dayung bersambut hingga kini, ia resmi melamarnya. 

Kedua orang tua Andra senang saat tau calon menantunya seorang perawat. Wajar, karena ibunya Andra dulu juga perawat, tapi karena lebih memilih jadi IRT jadilah berhenti bekerja. Andra tampak malu-malu saat duduk berhadapan Asri yang diapit kakak kedua orang tua kandungnya sebagai wakil keluarga. Tristan sibuk mengabadikan momen dengan kameranya. 

"Mohon maaf, jika sempit, maklum rumahnya di gang dan kecil. Kami memohon maaf sekali lagi," ujar salah satu uwanya. 

"Nggak apa-apa, Wa," jawab Bondan sebagai juru bicara wakil keluarga. Bondan seorang pengacara, jadi bisa dengan lancar mengolah kata menjadi enak didengar. 

Akhirnya, acara lamaran lancar, cincin tersemat di jari masing-masing, pernikahan akan diadakan di lokasi lain, tadinya mau di rumah itu juga, tapi setelah tau kondisi dan situasi, Andra memutuskan memindahkan ke restoran khas sunda dengan nuansa kebun. Akasia dan lainnya juga setuju. Biaya pernikahan pun diambil alih semua oleh Andra, ibu Andra tidak mau membebankan kepada keluarga Asri yang memang terbilang sangat sangat sangat sederhana. 

"Cie ... calon manten," ledek Eron. Ia memeluk Andra, lalu berganti Akasia, Bondan, dan Tristan. 

"Iya, dua bulan lagi gue resmi nikah, coy!" pekik Andra senang, ia tertawa lepas, sedangkan keempat sahabatnya terlihat tertawa memaksa. 

"Asri ikut kita jalan-jalan? Anak-anak udah nggak sabar mau ke sana, Ndra, apa kita duluan?" usul Sabria. 

"Bareng aja. Lagian udah mau pamitan balik. Keluarga gue juga mau langsung ke Jakarta lagi, besok mau ke tempat pesan undangan sama souvenir, harus gercep. Eh tapi gue mau ke restorannya, booking tempat sama makanan." Andra begitu semangat. 

"nggak over budget? kalau over mending nikah di KUA, sisanya baru syukuran sederhana." 

"Nggak, aman, kok. Ternyata keluarga gue udah sisihin dana buat nikahan gue," cengir Andra. "Terbantu dari situ." 

Bondan merangkul bahu Andra, ia tatap sahabatnya itu lekat. "Happy, Ndra?" 

"Happy banget, lah!" ia menatap cicin tunangannya yang tersemat dijari manis tangan kiri. 

"Bagus kalau gitu," sambung Bondan tak mau melanjutkan kalimat yang mengganjal di kerongkongan. 

***

Sore hari mereka menuju ke lokasi wisata anak yang baru dibuka di pusat kota, play ground sekaligus kafe yang memang mengusung konsep kekeluargaan. Suasanya terbuka, tapi bersih dan ada penjaga juga. Jadi anak-anak aman saat bermain disaat orang tua duduk-duduk kongkow selow menikmati hidangan. Andra kenal dengan pemiliknya, karena salah satu nasabah tempatnya bekerja. 

"Nyaman euy suasananya, makanannya juga enak-enak, nggak terlalu mahal. Ini sih, kelar dari sini anak-anak pulas tidur," celoteh Tristan. 

"Iya. Kita bisa ngalong lagi, Tan," sambung Akas sambil cekikikan. 

"Gih, sana, Papa-papa muda pada mau jalan ke mana, silakan," tutur Sabria.

"Sip! Emang bini gue ngertiin banget, jadi makin cin-ta." Akasia memeluk manja Sabria yang memutar malas bola matanya. 

"Asli, nggak enak banget kurang Junet," gumam Eron. 

"Udah, lah, kasihan juga Andra, takut momentnya rusak kalau kita bahas Junet lagi. Berdoa aja semoga ada keajaiban nantinya." Tristan meletakkan kamera di atas meja. Ia bersandar pada bahu Keisha. 

"Aduh ... duh ... duh ..., Papa berondong aleman amattt," ledek Eron. 

"Ngaca dodol. Punya kaca nggak lo"! sewot Tristan. Sonya melirik suaminya yang juga berondong, Eron senyam senyum sambil menatap Sonya. "Kalian nggak mau punya anak lagi? Kasihan Antena sendirian," sambung Tristan yang memang penasaran. 

"Eh ... iya, lho, kenapa nggak hamil lagi, Sonya?" Keisha ikut penasaran. Sabria mengangguk setuju dengan pertanyaan kakaknya. 

Sonya tersenyum tipis, ia melirik Anisa yang menegakkan posisi duduknya dalam rangkulan Bondan. 

"Sonya ada penebalan dinding rahim, bulan depan mau dioperasi. Aku yang jadi dokternya. Niatnya mau lepas KB, karena mikir Athena supaya punya adik, tapi ternyata ada masalah itu dan keputusan mereka untuk pasang KB yang baru lagi nantinya." 

Semua terkejut. "Pendarahan?" cicit Sabria. 

"Iya, aku sebulan menstruasi nggak berhenti-berhenti. Minggu lalu ke Anisa, ngecek dan ya ... ada masalah, aku nggak mau ambil resiko jadi minta langsung tindakan aja. Nggak apa-apa anak kita Athena aja, yang penting aku sehat supaya bisa lihat Athena besar dan sukses dimasa depan." Sonya tersenyum lebar. 

"Lihat Athena nikah, juga. Mudah-mudahan dapet cowok yang baik dan ngertiin dia. Anak gue suka gampang iya-iya aja. Nggak tegaan sama orang. Sama kayak Mamanya, nih," cicit Eron lalu mengecup pelipis Sonya. 

"Anak gue ada harapan nggak, Ron?" celetuk Tristan. 

"Nggak! Justru Athena harus dijauhkan dari Abe," sewot Eron. Tristan dan Keisha tergelak, kedua mata mereka melihat Athena yang kemana-mana mengekor Abe. 

"Lo liat, Ron, anak lo yang ngintilin anak gue, tuh liat," pinta Tristan. Eron dan Sonya menoleh ke arah Athena berada. Iya, benar. Athena mengekor kemana pun Abe berjalan. 

"Bahaya," lirih Eron. 

"Udah, lah, kalau jodoh mau apa lagi, betul Bapak-bapak ... Ibu-ibu ...." Akasia berujar, semua tergelak. Hingga terdengar tangis Athena. Eron berlari menghampiri karena Athena terduduk dengan tangan menahan badannya. 

"Kenapa, Sayang?" segera ia menggendong Athena, memeluknya erat. 

"Nggak sengaja kedorong Abe, Om, Athena cengeng. Abe bosen main sama cengeng! Abe pasti disalahin lagi!" kesal bocah itu seraya memberengut dan berjalan ke arah mama papanya sambil menggandeng tangan Abigail. 

"Kenapa cengeng banget sih, Nak?" bisik Eron. Athena tak menjawab, ia memeluk leher papanya, menyembunyikan wajah disana. 

***

Jakarta, liburan telah usai, mereka kembali berkutat dengan kesibukan masing-masing. Sonya mempersiapkan diri untuk tindakan medis. Athena terpaksa dititipkan di rumah Akasia supaya Sabria yang menjaga selama Sonya dan Eron bolak balik ke rumah sakit. 

Saat Eron sedang duduk menunggu istrinya tes ini itu, ia kaget melihat Junet berjalan ke arah  lift pengunjung. Dengan cepat ia berlari mengejar sahabatnya. 

"Junet!" panggil Eron. Junet menoleh. 

"Ron!" balasnya. Mereka berpelukan erat. 

"Kemana aja! Kayak anak terbuang, lo." Eron menepuk bahu Junet. "Digrup Chat lo nggak nongol, di tongkrongan apalagi. Lo kenapa, Net?" 

Junet tersenyum, tak menjawab apa-apa. "Gue duluan, Ron, Om Pandu lagi kontrol rutin, gue lagi temenin dia." 

"Oke. Eh, Net, lo nikah jadinya kapan? Masih sama tanggalnya?" 

Junet mengangguk, ia lalu melambaikan tangan seraya masuk ke dalam lift. Eron mengusap kasar wajahnya, ia jadi ikut bingung, bagaimana bisa jika mereka tak hadir di acara pernikahan sahabatnya diwaktu bersamaan. Satu di Jakarta, satu di Bandung, bikin keder semua orang aja mereka berdua. 

bersambung,   

Aksi Papa Muda ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang