Dua tujuh

375 86 16
                                    

Selamat membaca 🌵

Eron diam, termenung melihat gundukan tanah yang menutupi jasad Sonya. Kedua matanya sembab, di sebelahnya kedua adik Sonya tertunduk dengan isak tangis tertahan.

Tatapan Eron beralih ke ayah mertuanya yang berjalan menghampiri setelah mengubur sang putri. Eron menangis tersedu-sedu, dadanya seperti terhimpit.

"Sabar, Eron, ikhlaskan Sonya, ya. Putri Bapak kasihan, beban hatinya karena sering dihina membuat dia menahan batin."

Eron hanya bisa semakin terisak, bahkan Bondan, Akasia dan tiga sahabatnya hanya bisa menghapus air mata yang merembes.

Tak lama kemudian, setelah pemakaman selesai, satu persatu pelayat meninggalkan tempat itu. Eron masih ditemani Akasia dan yang lainnya. Bahkan keluarga sahabat-sahabatnya pun ikut menemani. Tidak sepi, tapi hati Eron yang kosong.

"Yank," panggilnya pelan sambil mengusap gundukkan tanah dan bunga yang bertabur banyak menutupi makam istrinya. "Aku harus apa?" lirihnya sambil menghapus air matanya. Air matanya kembali turun, ia menangis lagi sambil memeluk gundukan tanah.

"Eron," panggil seseorang. Kepala Eron menengadah, emosinya muncul tiba-tiba.

"Mau apa! Nenek puas udah bikin Sonya begini! Eron duda! Puas, Nek!" bentaknya. Katakan ia tak sopan kepada orang tua, tapi ia terpaksa, hatinya sudah sakit.

"Nenek--"

"Nggak usah anggap Eron cucu, Eron kecewa sama Nenek. Kenapa Nenek ganggu Sonya, hah! Bahkan anak Eron nggak tau Ibunya kayak gimana? Anak Eron yatim karena Nenek! Nenek nggak punya hati! Nenek jahat! Nenel durhaka! Eron kutuk Nenek ja--"

"Ron ... Woy, bangun! Eron! Sonya nyariin lu! Kampret, bangun!" Bondan menggoyangkan tubuh Eron. Lelaki itu membuka mata, masih menangis sesenggukkan.

"Napa lu. Mimpi apaan sampe nangis sedih gini, uluh ... uluh ... yang udah jadi Papa muda, terharu sampe ke bawa mimpi, lutunaaa ...," goda Junet. Eron bengong, ia menatap sekitar. Kamar rawat, ia masih di sana, lalu dengan cepat ia memindai sekitar. Terlihat Sonya baru keluar dari kamar mandi, tampak cantik, berjalan dituntun Keisha.

"Sonya! Sonya!" Eron memeluk istrinya, ia menangis lagi.

"Kenapa, kamu?! Tidur kayak orang pingsan. Aku yang kemarin pingsan, kok kamu yang lama banget tidurnya. Aku udah lepas kateter, belajar jalan pelan-pelan sama Sabria dan Keisha, kamu masih tidur," tegur Sonya.

Eron meraung-raung, layaknya anak kecil. Semua orang bengong, hingga Eron bisa mengontrol tangisnya, ia cerita tentang mimpinya.

"Buset, elo mau kutuk Nenek?" Bondan tertawa kencang.

"Nyata banget mimpi itu, kayaknya efek tekanan batin juga karena Nenek. Rese banget. Gue kira bakal kehilangan Sonya. Gue takut," lirihnya sambil memeluk Sonya yang duduk di sofa.

Tangan Sonya mengusap wajah Eron. "Aku nggak apa-apa, kemarin pingsan memang karena aku banyak pikiran jadi tensiku drop dan aku belum makan dari bangun tidur, mendadak lemes. Makasih karena kamu pulang dan temuin aku."

"Tapi kamu di ICU, 'kan?"

"Iya. Sebentar doang, nggak sampai satu harian. Habis di bawa ke ruangan ini, kamu sholat, terus tidur. Dari kemarin habis Isya sampai sekarang jam sepuluh."

Eron menghela napas, sedikit lega walau tetap saja terbawa emosi mimpi buruknya.

Pintu kamar terbuka, putri mungilnya datang dengan box bayi yang didorong perawat.

"Hello kitty kita, nggak di ICU, Yank?" Eron mengerjap.

"Nggak. Semua sehat, beratnya pas tiga kilo. Kamu adzanin juga. Kamu kenapa, sih? Kayak habis traveling ke alam mimpi. Demam nggak kamu?" Telapak tangan Sonya tempelkan ke kening suaminya.

Aksi Papa Muda ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang