Tiga tiga

395 88 5
                                    

Hola ... hola ...

_____

"Aku baru tau, Ron, mereka pernah tunangan?" Sonya masih tak percaya, mereka sudah kembali ke rumah, Athena juga sudah ganti baju dan kembali tidur. Kedua orang Eron memutuskan menginap dua malam di rumah Nenek.

Eron memberi kecupan selamat tidur ke Athena lalu memutup box bayi dengan jaring kelambu. Ia lalu berjalan ke ranjang, merangkak pelan mendekat ke Sonya yang sudah merebahkan diri lebih dulu.

"Iya. Pak Kuncoro cerita ke aku kemarin, karena dia saat itu mendadak memilih karir jadi harus batal nikah sama Nenek dan orang tua Nenek yang kepalang malu jadi nikahin Nenek sama anak kepala desa. Mudah-mudahan aja, masih ada cinta diantara mereka. Aku jadi ikut bangga punya Kakek sambung aktor kawakan dan pemilik teater seni ternama."

"Bisanya nebeng aja," goda Sonya. Eron merengkuh pinggang sang istri, ia hujani bahu yang tak tertutup baju tidur dengan penuh perasaan. "Aku yakin, kita bisa pelan-pelan hidup nyaman, Yank, kita bisa sekolahin Athena ditempat yang kita mau. Kamu juga bisa terus ngajar, dan aku meniti karir dari bawah."

"Iya, sabar dan semangat, ya." Sonya melesak ke dalam pelukan Eron yang mendekap erat.

"Nenek aneh, cucunya bahagia dapetin janda seksi kayak gini, restunya ditunda. Sirik kali, Nenek, ya, nggak bisa mesra-mesraan, dasar Monalisa abal-abal."

Sonya tertawa di dalam pelukan Eron.

"Makasih brondongku, udah mau nikahin janda kayak aku. Sekarang jandanya udah bisa lahirin anak dan semakin cinta sama brondongnya." Sonya mengeratkan pelukan.

"Ahhh ... jangan bikin GR, masih puasa nih, aku, paceklik, nih," keluh Eron, tapi kemudian ia merem melek.

"Mau dibantu, nggak?" goda Sonya. Eron mengangguk pasrah, kedua matanya sayu. Jemari Sonya sudah ada di lokasi zona bahaya, mau tak mau harus diteruskan supaya Eron meledak.

"Sayang," desah Eron dan ia semakin pasrah menerima kerja tangan dan hal lain dari istrinya.

***

"Tan, bangun, itu Abe mau ke kamar mandi, tolongin," ujar Keisha yang sibuk mengeringkan rambut dengan hairdryer.

"Oke, Mama Keisha. Be, ayo sini, sama Papa," ujar Tristan. Abe sudah mulai diajarkan toilet training, Keisha tak mau manti Abe terlalu nyaman pake pampers, usia Abe juga sudah dua tahun, saatnya belajar hal baru.

"Mama, ini." Abe memberikan celana tidur ke tangan Keisha.

"Bilang kata tolong dulu, Be, yang sopan," ujar Tristan yang kembali merebahkan diri di atas ranjang kamar hotel. Mereka masih stay cation yang nambah jadi empat hari. Sudah dua malam mereka di sana, tak jauh, hanya ke Bandung, itu saja sudah membuat Keisha senang.

"Tolong, Mama ...," ucap ulang Abe yang sudah lancar bicara.

"Iya, sini Mama pakein celananya. Abe udah besar, belajar sendiri pelan-pelan, ya," pesan Keisha.

"Iya, Ma." Abe lalu mencium pipi Keisha. Mirip Tristan kalau sudah begini. Benar saja, satu jam setelah Abe pulas tidur di extra bed, Tristan si brondong kesayangan Keisha melalukan hal yang sama. Ia senang menciumi gemas istrinya sambil memeluk erat saat hendak tidur hingga keterusan dan berakhir melakukan kegiatan panas mereka.

"Tristan! Aku lupa minum pil KB, kamu keluarin di dalam?!" cicit Keisha yang baru ingat setelah mereka melaksanakan tugas dua ronde.

"Waduh! Kamu masa subur, nggak?" Tristan bahkan belum sempat melepaskan diri.

"Iya," jawab Keisha sambil tertawa pelan.

"Yaudah, kalau jadi ya rezeki, Abe juga udah cukup umur jadi Kakak. Nggak masalah," lanjut Tristan mencumbu istrinya lagi. Keduanya memang sepakat jika rezeki hamil lagi, ya sudah, terima saja, tapi tidak secepat ini juga nantinya.

Di lobi hotel, tanpa Tristan dan Keisha tau, pun lelaki yang baru saja check in, jika mereka menginap di hotel yang sama, ia menatap lekat ke arah gadis cantik berkulit putih dengan tubuh langsing yang sedang dimaki-maki tamu hotel. Andra, ia tak sengaja menginap hotel itu karena dari kantor diminta dinas tapi mendadak dan jadilah ia nginap di hotel dekat kantor cabang.

Andra tak langsung ke kamar, ia terus memperhatikan gadis dengan seragam putih yang sudah kotor terkena siraman air jeruk, kepalanya tertunduk takut karena dibentak lima tamu perempuan remaja tak tau adab.

Manajer hotel menghampiri, ia meminta maaf ke tamu atas kelalaian stafnya. Tak sampai di situ, gadis itu lanjut dimarahi manajer. Andra masih terus menatap dari sudut lain karena gadis itu dan manajernya sudah menjauh dari lobi.

Gadis itu diam, terus menunduk sambil kepalanya didorong beberapa kali dengan telunjuk manajer perempuan itu. Belum lagi lengannya dipukul dengan nampan.

Manajer itu pergi, sedangkan sang gadis melepaskan pin nama yang tersemat di dada kirinya, lalu ia berikan ke sekuriti. Andra mengikuti diam-diam, hari sudah sangat malam dan gadis itu pergi setelah mengambil tas ransel di loker.

Rintik hujan mulai turun, angin bertiup cukup kencang. Andra berlari, ia melepaskan jaket lalu memasangkan ke gadis itu.

"Pakai, dingin dan hujan. Baju kamu basah juga kotor. Hati-hati." Lalu Andra kembali masuk ke hotel, tak peduli nasib jaketnya akan kembali ke dia atau tidak, yang pasti sisi kemanusiaannya muncul, apa salahnya berbuat baik.

Keesokan harinya, Andra berangkat ke kantor cabang bersama rekannya dijemput mobil kantor, saat di lampu merah, ia melihat gadis yang semalam sedang menjajaki jualan kue dengan membawa keranjang. Andra hanya bisa menatap datar, tak lama mobil kembali berjalan menjauh.

Gadis itu bernama Nida, Andra akhirnya tau saat siang hari selesai bekerja karena hanya memeriksa laporan kinerja, memilih berjalan kaki untuk kembali ke hotel. Ia melihat gadis itu masih duduk di emperan toko yang tutup, menjajaki dagangannya. Andra mendekat, sekedar menyapa lalu membeli kue.

"Kamu yang semalam kasih pinjam jaket ke saya, 'kan?" Itulah awal mula pertanyaan yang terlontar.

"Iya. Kamu jualan kue ini semua? Saya mau beli, bikin sendiri?" Andra berjongkok di depan Nida.

"Iya. Maap, jaketnya belum dicuci, saya kembali besok boleh? Nama saya Nida, saya--"

"Buat kamu aja. Nggak usah dikembalikan. Saya Andra," balasnya. Nida mengangguk pelan. "Mau beli kue apa aja? Satunya dua ribu, ada empat macam kue." Nida mengeluarkan plastik.

"Kamu umur berapa? Masih sekolah, ya?" Andra sudah penasaran.

"Berhenti. Kuliah satu semester aja. Saya masih delapan belas tahun. Maap, mau kue apa aja?" tanyanya lagi.

"Saya bayar semua, berapa jadinya?" Andra mengeluarkan dompet dari dalam tasnya.

"Tiga puluh ribu. Yakin mau beli sisa kue semuanya?" Nida heran.

"Iya. Kamu dari pagi jualan di sini, sendirian."

"Saya ditemenin adik," sanggah Nida.

"Mana adik kamu?" Andra tak melihat sosok anak kecil atau remaja.

"Teteh!" terdengar seorang anak kecil dengan jalan pincang mendekat. Lelaki kecil itu membawa kotak tisu yang ia peluk. Terlihat kaki kiri bocah itu diperban.

"Akil, laku berapa?" tanya Nida.

Akil tersemyum. "Satu, Teh, ini uangnya." Akil memberikan uang lima ribu ke Nida.

"Nggak papa." Nida memasukkan uang ke dalam tas kecil yang ia bawa. Akil duduk di sebelah kakaknya yang sedang memasukkan kue jajanan pasar ke dalam kantong plastik. Andra diam, ia melihat wajah Akil lelah.

"Ini," ucap Nida membuyarkan fokus Andra.

"Ah, iya, makasih, ini uangnya." Ia memberikan uang pas. Tak tau harus bicara apa lagi, Andra memilih berlalu namun, dalam hati ia berharap suatu hari bisa bertemu lagi entah dikesempatan seperti apa.

bersambung,

Aksi Papa Muda ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang