Enam

570 77 3
                                    

Bucin. Satu kata yang tersemat pada sekelompok laki-laki itu. Ada yang bucinnya menunjukkan sekali, ada yang umpetin rapat-rapat.

Junet salah satunya, setelah nge-date yang dikintili papa Pandu--papanya Dira--ternyata jalan menuju status menjadi pacar Dira tak semudah dalam khayalan.

Pandu, ia merasa Dira masih kecil, jarak usia dengan Duta--kakaknya--sebanyak enam tahun, membuat Pandu risih kalau Dira juga harus buru-buru di stampel menjadi milik orang lain.

"Jadi, gimana? Papa kamu nggak setuju kalau kita--"

"Bukan gitu, Kak Junet. Aku masih dua puluh tahun, beberapa bulan lagi dua satu, tapi orang tua aku, anggap aku masih kecil dan belum boleh punya pa--car."

Dira menunduk, mereka sedang berada di kedai es krim. Kala itu Junet nekat jemput Dira di kampus, ia harus bicara berdua setelah beberapa kali jalan selalu Pandu ikut.

"Perasaan kamu ... ke aku ... gimana?" Junet menarik napas dalam, menghembuskan dengan teratur supaya jantungnya siap jika Dira tak memiliki rasa yang sama.

Dira tersenyum, lalu menatap Junet yang dipahami lelaki itu. Kepala Junet mengangguk, ia paham.

"Berapa lama? Tahunan?" Kembali Junet melempar pertanyaan.

"Mungkin ... Papa mau lihat kesabaran kamu, Kak Junet. Usia kita beda satu tahun, aku rasa bukan halangan. Papaku cuma sedikit ... lebay, kamu harus tau gimana keluargaku." Dira tertawa geli. Tangan Junet terlurur, ia mengacak rambut Dira kemudian pembicaraan itu diakhiri dengan obrolan penuh tawa. Junet terpaku, terpesona dengan Dira yang kalem, tidak seperti Sabria yang cablak dan galak, Keisha yang sangat dewasa, Sonya yang diem-diem bisa bikin Eron merem melek karena seringnya dimanjakan, namanya juga kesayangan.

Junet mengantar Dira pulang, tiba di depan rumah keluarga papa Pandu, Duta dan Pandu sudah duduk di teras depan rumah.

"Assalamualaikum," ucap Dira.

"Waalaikumsalam," jawab Pandu dengan tatapan tajam.

Duta menyenggol bahu papanya lalu berbisik. "Nggak usah sok galak, biasa aja, Pa, mereka cuma teman."

Pandu melirik sebal ke Duta, wibawanya selalu drop jika bersama salah satu anak kembar tiganya. Duta sendiri tidak sadar jika Junet sedang mendekati adiknya, karena Duta terlalu lempeng cenderung kaku.

"Maaf, Om, tadi saya ajak Dira makan es krim dulu," cengir Junet. Pandu mengangguk pelan tetap dengan tatapan sok galak. "Pak Duta, Om Pandu, saya pamit pulang dulu." Tangan Junet terulur untuk menyalami.

"Ok," jawab Duta lalu berjalan santai masuk ke dalam rumah. Dira tersenyum seraya menyusul Duta ke dalam rumah. Pandu menatap lekat. Junet salah tingkah.

"Kalau begitu, saya pergi ... sekarang, assalamualaikum," pamitnya. Pandu membalas sapaan lalu masuk ke dalam rumah.

Junet mengarahkan sepeda motor ke rumah Tristan dengan hati gundah gulana. Rasanya, ia harus berpikir panjang bagaimana dengan nasib cintanya.

"Kas! Woy! Calon manten!" teriak Junet setibanya di depan rumah Tristan.

"Dih! Ngapain lo jam segini ngapelin Tristan, dia di rumah Maminya. Anak sama bininya juga di sama seminggu ini." Akasia yang baru pulang kerja di kedai sandwich and milk shake miliknya memberitahu Junet.

"Ya elah, amsyong amat gue."

"Kenapa sih, lo," tanya Akas seraya menghampiri.

"Galau gue, butuh nasehat batiniah dari Tristan," jawab Junet sambil duduk di teras rumah Tristan yang tanpa pagar.

Aksi Papa Muda ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang