Empat puluh

414 88 10
                                    

"Gara-gara rebutan nikah, lo sama Junet diem-dieman udah seminggu lebih?! Gila lo, Ndra!" tegur Bondan. Pria itu baru pulang dari pengadilan, urus kasus KDRT salah satu artis yang meminta dirinya menjadi penasehat hukum dan kini mereka duduk di teras rumah Akasia. Salah, rumah Bunda Dona, ibu Akasia.

Tak lupa es kelapa, gorengan dan kini ditambah beberapa botol air mineral dingin tersaji di meja telat di bawah pohon mangga yang menjadi saksi mereka tumbuh dari remaja menjad papa-papa muda.

"Bodo amat. Junet nyerobot. Udah tau kalau gue duluan, apa-apaan tuh orang. Emosi banget gue. Jangan mentang-mentang udah direstui Om Pandu jadi main trabas jalanan sahabatnya sendiri, nggak kena ama gue." Andra masih emosi, padahal minggu depan mereka rombongan akan lamaran ke Bandung, tempat calon istri Andra tinggal. Malah berantem dua sahabat itu.

"Mau sampai kapan?" sela Akasia, ia baru datang dari dalam rumah membawa gitar kesayangannya, lalu duduk dan mulai memetik gitar sambil bernyanyi pelan.

"Sampai batas waktu yang nggak bisa gue pastikan. Bilang sama sahabat lo, tuh, jangan sok mentang-mentang jauh lebih sukses dari gue. Gue tau, Kas, Junet mau pamer." Andra bersingut kesal.

Akasia dan Bondan saling melirik, mereka memilih diam, tak mau lagi membahas masalah perseteruan Junet dan Andra.

"Lo kenapa nggak ikut Umrah barengan semuanya, Kas? Malah jadi jagain rumah. Kakak-kakak lo ikut semua, sampai cucu-cucu Bunda ikut juga." Bondan merasa heran, ia sejak tadi mau tanya itu tapi lupa.

"Gue mau Umrah sama lo semua. Kita pernah janji waktu lulus SMA, 'kan?" Akasia menjawab singkat lalu bersenandung lagi. "Makanya, gue berharap kita semua dikasih umur panjang, sehat, rejeki berlimpah, supaya bisa ibadah bareng, syukur-syukur berangkat haji." Akasia menjeda. "Kita sahabatan, jangan cuma mau enak-enak aja. Jalan kesana kemari, haha hihi bareng, marah bareng ... bahkan ... ngambekan juga," lirik Akasia ke Andra yang masih memberengut. "Gue kepinginnya, urusa  ibadah pun kita barengan. Kita seiman semua, jadi bisa sejalan. Lagi pula, kalau kita nggak seiman juga pasti kita saling ingetin perkara ibadah dengan keyakinan masing-masing."

Ucapan Akasia mendapat anggukan Bondan. Sabria berjalan dari dalam rumah, ia menggendong Hanifa yang sudah bangun tidur.

"Kas, titip Hanifa, aku mau ke mini market, sabun cuci baju Hanifa udah habis, Bunda nggak ada stok di sini." Hanifa digendong Akasia, putrinya tampak senang jika sudah digendongan papanya alias Akasia.

"Napa lo, Ndra? Asem amat muka kayak kesemek mengkel," ledek Sabria.

"Diem, lu, Bri! Gih, sono ke mini market!" usir Andra dengan wajah kesal seraya membuang pandangan.

"Idih ... Andra, ambekan, baek-baek yang dipohon mangga ini deketin elu," ucap Sabria lalu berlalu.

"Udah bestie gue sama dia! Namanya Surkinah! Mau kenalan nggak lo, Bri!" teriak Andra. Sabria bergidik, Andra memang bisa melihat hal-hal tak kasat mata, tak jarang suka bicara sendiri untuk mengusir yang jail. Makanya, para keponakannya aman damai, karena ada ghostbuster andalan mereka, si Andra.

"Jadi gimana, minggu depan kita ke Bandung tanpa Junet sama Dira, gitu?" Akasia bertanya untuk memastikan karena ia bertanggung jawab perihal akomodasi juga transportasi selama di sana. Akasia juga sudah membooking beberapa kamar hotel, mereka mau liburan singkat bersama juga mumpung kumpul, tapi sepertinya tak bisa lengkap karena ada yang ngambek.

"Iya. Nggak perlu ada Junet juga nggak papa." jawab Andra ketus. Ia melirik sebal ke arah lain, pasalnya, tanggal pernikahan Junet juga ditanggal yang sama dengan Andra, hanya saja yang satu di Jakarta, yang satunya nanti di Bandung. Itulah yang membuat Andra kesal bukan kepalang.

Aksi Papa Muda ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang