Tiga dua

362 87 9
                                    

Langsung aja lah, ya ....

_____

Keesokan paginya.

Kawasan perumahan dengan bangunan lawas di Selatan Jakarta, dihampiri Eron, Junet dan Andra. Padahal senin esok Eron sidang, tapi misi ini nyatanya lebih meminta ia fokus.

"Permisi," teriaknya tak begitu kencang. Terdengar sayup orang membentak dari dalam, tapi kemudian tenang lagi. Eron kembali mengetuk gembok pintu pagar bangunan tak begitu besar itu.

Seorang lelaki setengah tua berjalan cepat mendekat. "Ya, cari siapa?" tanyanya dengan sorot mata yang sudah mulai senja.

"Saya mau ketemu Pak Kuncoro Subakti, bisa, Pak?" jawab Eron.

"Ada perlu apa, ya?"

"Saya mau antar titipan Nenek saya, Monalisa namanya." Eron memberikan foto ke pria di hadapannya.

"Sebentar saya izin dulu, ya, Mas, tunggu dulu," ucapnya dengan logat jawa.

Junet dan Andra menatap bingung ke Eron. "Monalisa? Sejak kapan Nenek lu punya nama bule?" sindir Andra.

"Yee ... lo bedua lupa, Nenek gue waktu muda panggilannya Monalisa, padahal nama aslinya Astuti Monaroh." Eron cekikikan.

"Monaroh apaan, Net?" ledek Andra sambil cekikikan.

"Monaroh pelan diember," jawab Junet yang akhirnya membuat mereka bertiga tertawa.

"Silakan masuk, Mas-mas semua. Pak Kuncoro ada di halaman belakang, lewat sini, mari ...." Lelaki itu mengarahkan jalan setelah membuka gembok pintu. Mereka melewati garasi untuk sampai ke halaman belakang.

Terlihat banyak orang, jika ditebak, Kuncoro sedang berlatih teater dengan rekan atau timnya.

"Pak, ini yang mau bertemu," ujar lelaki tadi lalu pamit entah kemana.

"Kalian siapanya Monalisa?" tanyanya. Jujur, Junet dan Andra ingin tertawa, tapi sekuat tenaga mereka tahan.

"Kenalkan, saya Eron. Saya cucunya Monalisa, perempuan cantik difoto itu," tunjuknya.

"Cucu?" Kuncor Subakti yang masih terlihat gagah walau rambut sudah beruban semua, terkejut mendengar kata cucu.

"Sudah berapa cucunya Mona? Mari silakan duduk. Maaf kalau berantakan dan kotor. Satu minggu lagi mau ada pementasan, jadi kami semua sibuk latihan," ujarnya. Mereka semua duduk di pendopo kecil, Eron bersisian dengan Kuncoro.

"Nenek saya bawakan ini, Pak, katanya, Pak Kuncoro suka sama kue bolu kukus buatan Nenek saya." Eron menyodorkan kotak kue dengan hiasan cantik ke Kuncoro. Semalam, Eron riset habis-habisan ke ayah ibunya, hingga ibu membuatkan bolu kukus resep nenek sebagai properti pendukung Eron menjalankan misinya.

"Waduh, Mona masih ingat ternyata. Tujuan kamu ke sini apa? Disuruh Mona? Dari dulu emang sukanya nyuruh-nyuruh terus," tawa Kuncoro terdengar menggema, kesempatan Eron cari tau.

"Saya pikir, Pak Kuncoro sombong, nggak mau terima tamu orang asing. Pak Kuncoro aktor kawakan, hebat," pujinya.

"Hebat opo ... dilupakan, lha, iya." Tawa menggema lagi sebelum Kuncoro diam dan menerawang. "Aktor kayak saya, pada akhirnya tumbang karena ndak bisa ikutin kemuan pasar. Saya idealis. Berakting harus dari hati, bukan sekedar tuntutan script. Nenekmu, Mona, tau percis prinsip saya ini." Kuncoro menarik napas panjang lalu menghembuskan pelan.

"Kalian, maksud saya, Pak Kuncoro dan Nenek saya, sedekat itu? Sampai Nenek tau apa maunya Bapak?" Saking penasarannya langsung aja tanya.

Kuncoro tersenyum tipis. "Kamu lihat dua gadis remaja itu, yang sesang akting menangis dan menari seperti wayang orang?" tunjuknya.

Aksi Papa Muda ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang