1. Gigi-gigi dan Beni

273 4 0
                                    


Orang yang tak pernah tampak sepertiku, tiba-tiba dihampiri oleh seorang pria populer. Tampilannya, dari ujung kepala hingga ujung kaki barangkali idaman banyak wanita. Tubuhnya menjulang tinggi, tampan dan berkharisma. Dan dia menghampiriku, seorang gadis yang jauh dari kata populer. Dia datang membawakanku bunga dan menggenggam erat tanganku untuk dibawanya berjalan menuju padang rumput yang luas dan hijau.

Sementara beberapa wanita memandang jengkel ke arahku. Rasa-rasanya, mereka ingin menerkamku agar aku segera lenyap dan mereka bisa memiliki pria itu, untuk diperebutkan kembali. Klise.

Semakin aku mencoba melepaskan genggaman tangan pria itu, semakin dia menggenggam erat tanganku. Akhirnya aku hanya mengikuti langkahnya. Beberapa saat kemudian, padang rumput yang hijau di hadapan kami berubah menjadi kelabu. Kini, kami berdua sampai di bibir jurang yang dalam. Aku menelan ludah, pikiranku melayang bahwa aku akan terjatuh di jurang itu.

Dan itu bukan sekadar khayalanku. Pria di sampingku bermuka masam, dia melepaskan pegangannya pada tanganku. Tiba-tiba tubuhku terjatuh ke dalam jurang. Terjun dengan sangat cepat. Susah payah aku menahan rasa sesak di dada seiring dengan kecepatan jatuhku.

Tak lama, tubuhku mendarat di tanah berlumpur. Mulutku rasanya penuh. Saat aku meraba-raba, gigiku lepas satu-persatu dari akarnya. Rasanya hidupku tamat saat itu juga.

Aku menangis terisak dan memejamkan mataku. Aku berdoa semoga ini hanya mimpi.

Semoga hanya mimpi.

Ya, ini hanya mimpi.

Aku yakin.

Bruuuukkkk.

"Aduh." Saat mataku terbuka, tubuhku sudah ada di lantai.

Aku meraba-raba mulutku. Syukurlah, gigiku masih utuh.

Lantas, aku melihat tangan kananku. Tangan inilah yang beberapa menit lalu digenggam erat oleh pria itu, dalam mimpi. Aku merasa begitu senang, tak ada kesedihan yang tersisa. Perasaan itu tampak begitu nyata.

Sial, itu hanya mimpi. Kenapa aku membawa perasaan itu sampai di kehidupan nyata?

"Ngapain pagi-pagi duduk di lantai? Bengong pula." Ibu bersandar di sisi pintu, melipat tangannya di dadanya.

Aku bangkit dan duduk kembali di kasur. "Gara-gara ibu, aku selalu mimpi buruk. Bertemu cowok ganteng, terus dia mendorongku ke jurang."

"Itu bisa berarti pertanda baik. Sebentar lagi kamu bakal bertemu jodohmu."

"Itu tidak masuk akal, bu."

"Semua masuk akal bagi ibu karena kamu sudah 27 tahun." Ibu lalu meninggalkan kamarku.

Saat ini masih pukul 5 pagi, tapi kepalaku sudah pening dengan perkataan ibu yang terus terngiang-ngiang.

***

"Ibu punya ide." Aku berhenti sebelum sempat memasukkan suapan pertamaku ke mulut. Perasaanku tidak enak. Sudah pasti.

"Ibu jangan mulai lagi. Ini sudah jam setengah 7. Ibu bisa telat masuk kantor."

Dia tak mendengarkanku, aku tahu. "Kamu harus cari kerja. Jangan luntang-lantung keluyuran terus."

"Bu, Odel kan kerja. Odel menghasilkan uang."

"Kamu jangan pura-pura bodoh nggak ngerti maksud ibu." Ibu mulai meninggikan suara. "Kalau di kantor, kamu bisa ketemu banyak orang. Bergaul dengan banyak orang. Peluang bertemu jodohmu lebih besar. Kalau kamu kerja di rumah terus, kapan ketemu orang? Kapan kamu akan menikah?"

Telepon ibu berdering. Kurasa panggilan dari kantor.

"Ibu berangkat. Pertimbangkan permintaan ibu atau ibu bakal menghantui kamu seumur hidup ibu." Aku diam saja. "Odel?"

"Iya ibu, Odel pertimbangin baik-baik." Ibu berangkat tergesa-gesa.

Pada akhirnya, aku harus mempertimbangkan saran dari ibu. Setelah kupikir-pikir, mungkin ada benarnya. Setidaknya, seorang pria harus tahu kalau aku ada di dunia ini. Setelahnya, biarlah waktu yang memutuskan. Itu adalah ide paling masuk akal yang ibu katakan.

Sebelumnya, dia mengatur sebuah perjodohan untukku dengan anak temannya. Awalnya kupikir aku perlu memberinya kesempatan. Tapi, pria itu seperti penguntit yang menghantui hidupku. Saat dia tidak bekerja atau pulang dari bekerja, dia mampir ke rumahku. Selebihnya, dia menanyakan keberadaanku melalui pesan, di sebagian besar waktu. Akhirnya, aku harus 'melarikan diri' ke rumah kakek-nenek selama 2 minggu untuk membuatnya menyerah.

"Bu, jika Beni mencariku, katakan saja aku sudah mati." Kataku saat itu karena terlalu jengkel.

"Husss, jangan asal ngomong kamu." Dalam hati aku mengutuk perkataanku sendiri. Tentu aku belum siap mati.

Beberapa tahun yang lalu, aku menyukai seorang pria. Tapi, seperti kisah gadis tak beruntung lainnya, itu hanya berakhir dengan cinta sepihak. Menyedihkan.

***

Tentang Odel dan Zona NyamanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang