Aku mematung di depan kaca sejenak, memastikan penampilanku rapi. Blazer warna abu-abu yang kubeli tempo hari, kaos motif stripe kesukaanku dan celana jeans. Rambut kuncir ekor kuda. Kurasa ini sempurna.
Sebelum berangkat ke Kafe, aku mengecek kembali barang bawaanku. Sudah lengkap.
Ini saatnya aku kabur dari realita. Bersembunyi di tempat yang kukehendaki. Tempat yang tak ada tekanan bagiku untuk kehidupan yang kujalani. Tempat di mana aku sejenak menjauh dari sesuatu yang menyesakkanku belakangan ini. Ibu dan tuntutannya untuk aku menikah.
***
Tak lama setelah aku memesan, pesananku datang. Segelas jus alpukat dan kentang goreng. Aku menjauhkan keduanya dari jangkauanku untuk sementara waktu, selagi aku menyelesaikan rajutanku.
Setiap 10 menit merajut, aku akan berhenti untuk menyeruput minumanku dan memakan kentang goreng dengan garpu agar tak mengotori rajutanku.
"Permisi, boleh aku duduk di sini?" Aku mendongak, seorang pria berkemeja rapi berdiri di hadapanku. "Semua meja penuh. Mungkin karena sedang jam makan siang." Pandanganku pun beredar ke seluruh ruangan. Benar saja, semuanya penuh. "Jadi, boleh duduk di sini?"
"Ah, eh, silahkan." Kataku, sejenak berhenti merajut.
Tak berapa lama, pesanan pria itu datang. Makananku memenuhi meja bagiannya. Aku buru-buru menggeser makananku lebih dekat padaku.
"Kamu terlihat sibuk sekali." Katanya.
"Begitulah." Kataku singkat kemudian melanjutkan rajutanku. Selebihnya, dia hanya orang asing yang kebetulan duduk di depanku, kan? Jadi apa yang diharapkan? Mengobrol panjang lebar?
Sekitar 30 menit kemudian, aku selesai dengan rajutanku. Lumayan, selesai satu boneka ukuran sedang. Saat aku tersadar sepenuhnya untuk memperhatikan sekeliling, pria itu masih ada di depanku, tampak memperhatikanku.
"Sudah selesai?" Tanyanya. Aku mengangguk sambil menghabiskan sisa minumanku yang dalam sekali seruput langsung habis.
"Aku Keefe. Kamu?"
"Aku Odel. Maksudku Delia," Ralatku dengan cepat, tapi dia tertawa.
"Odel? Menarik," katanya sambil mengangguk-angguk.
"Sungguh, namaku Delia tapi orang terdekatku memanggilku Odel, dan aku jadi terbiasa. Bahkan kadang lupa nama asliku sendiri, seperti tadi." Keefe terkekeh lagi.
"Jadi, aku boleh memanggilmu Odel?"
"Yah, udah terlanjur." Ia menyeruput minumannya. "Jadi, kenapa dari tadi masih di sini? Kurasa kamu di sini lebih dari setengah jam."
"Ini kan masih jam istirahat. Aku suka melihatmu merajut."
"Dari tadi kau memperhatikanku?"
"Aku jadi ingat mendiang nenekku. Dia dulu suka merajut, tapi setelah nenekku tidak ada lagi yang bisa merajut di keluargaku." Aku mengangguk-angguk, mengerti.
"Kamu sendiri tidak balik kantor?" tanyanya.
"Aku pengangguran." Orang yang bernama Keefe itu terlihat mengangkat sebelah alisnya.
"Benarkah? Wah, aku iri padamu." Sungguh, jawaban itu mengejutkanku.
"Kamu sedang mengejekku?" timpalku.
"Tidak, maksudku, kamu punya banyak waktu luang. Kamu bebas melakukan hobimu. Merajut misalnya." Dia berkata dengan penuh semangat.
"Well, sebenarnya tidak benar-benar menganggur. Aku di sini sedang bekerja." Keefe menunjuk rajutanku, yang kuikuti dengan anggukan. "Ya, aku membuat boneka rajut. Handmade. Kujual secara online."
"Keren." Dia refleks bertepuk tangan.
"Tapi tidak bagi ibuku." Aku menghembuskan napas keras-keras.
"Tampaknya bukan hal bagus," katanya, seperti turut prihatin.
Aku mendengus. "Ibuku menyuruhku mencari kerja."
"Bukankah penghasilanmu banyak? Setahuku harga barang-barang handmade lebih mahal."
"Tidak terlalu banyak, tapi cukuplah untuk bersenang-senang. Dan itu juga bukan alasan ibuku menyuruhku bekerja."
"Lalu?" tanyanya.
Aku jeda sejenak. Mungkin tak ada salahnya mengeluh sedikit kepada orang asing agar tekananku sedikit berkurang.
"Jadi, ibuku menyuruh bekerja karena, agar aku bisa bertemu dengan seorang pria yang bisa kunikahi." Seketika, Keefe tersedak dengan kopi yang diminumnya.
"Sorry. Bukan bermaksud menyinggung perasaanmu. Tapi, aku hanya nggak biasa dengan alasan ini." Aku yakin, dia menahan tawa saat ini.
"It's ok. Itu memang konyol. Tapi, begitulah."
"Jangan bilang kamu ke kafe karena menghindari ibumu?"
"Tidak. Ibu bekerja. Aku cuman mencari tempat baru agar tidak bosan di rumah terus." Dia mengangguk-angguk.
"Lalu, kalau boleh tahu, apa rencanamu setelah ini?"
"Entahlah. Mungkin aku akan mencari pekerjaan." Dia memicingkan mata. "Bukan, bukan untuk menuruti kemauan ibuku. Aku juga memikirkan diriku tau. Aku ingin mencari suasana baru."
"Bagaimana dengan bisnis boneka rajutmu?"
"Kurasa, aku akan membatasi jumlah produksi dan kurasa tidak buruk juga."
Beberapa saat setelahnya, aku baru menyadari. Aku terlalu banyak bicara, terlalu banyak mengungkap kehidupan pribadiku, kepada orang asing. Sedikit menyesal, tapi tidak apalah. Dia hanya orang asing yang tidak akan kutemui dua kali, kan?
"Aku senang mendengar cerita darimu hari ini. It really makes my day." Keefe bangkit, tampak akan pergi.
"Kurasa tidak buruk juga sesekali bercerita pada orang asing."
"Tapi, jangan sembarangan cerita pada orang asing. Cukup aku saja." Ia tersenyum. "Kalau begitu, aku pergi dulu. Kurasa jam makan siangku sudah berakhir. Bye, Del. Odel." Dan tanpa menjelaskan apa pun, dia pamit pergi.
"Bye. Semoga kita tidak bertemu lagi."
"Kenapa?"
"Aku tidak sanggup menahan rasa malu kalau bertemu denganmu lagi." Keefe terkekeh. Keefe berlalu dari hadapanku.
Sampai di rumah, tiba-tiba pikiran tentang aku terlalu banyak bercerita ke orang asing bernama Keefe itu kembali menghantuiku. Betapa memalukannya cerita yang keluar dari mulutku. Aku menceritakan semua bebanku, kepada orang asing.
Di depan kaca, aku menepuk mulutku sendiri yang terlalu lancang. Sial.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Tentang Odel dan Zona Nyaman
General FictionNamaku Odel. Umur 27 tahun. Jomblo dari lahir. Introvert. Ditanya ibu terus soal kapan nikah. Gimana sih caranya nyari jodoh? Yuk cek cerita Odel! Jadi saksi perjuangan Odel dalam hidupnya dan untuk dapetin cinta.