Aku kembali bekerja keesokan harinya. Ilham datang bersama putrinya yang masih 3 tahun, Gina.
"Hai, Gina sayang." Sapaku sambil mengelus kepalanya gemas.
"Keefe gimana kabarnya, Del? Sejak aku melayat, aku belum mendengar kabar darinya." Tanya Ilham, terdengar khawatir.
"Kemarin saat aku berkunjung, dia masih sedih banget, Ham."
"Selama aku berteman dengan Keefe. Nggak pernah aku melihat Keefe sesedih ini." Katanya prihatin.
"Mungkin hanya butuh waktu." Ilham mengangguk.
"Oiya, Del. Nitip Gina sebentar ya. Ada beberapa keperluan yang harus segera kuurus di kantor. Kasian kalau Gina cuman nungguin aku." Mendengar namanya disebut, Gina langsung mengeluarkan kertas origami dari dalam tas ranselnya.
"Tante Odel." Katanya sambil mengulurkan kertas origami padaku. "Ayo bikin origami sama Gina." Aku mengangguk.
"Dengan senang hati, Ham."
Ilham kemudian menuju ke dalam ruangannya. Sementara aku mulai membuat origami untuk Gina. Sementara Gina berusaha untuk mengikuti gerakanku membuat origami. Sengaja aku berlama-lama membuatnya agar dia merasa terlibat dalam membuat origami.
Akhirnya, origami kapal selesai. Aku sengaja membuat yang paling mudah agar Gina tidak terlalu bingung. Sementara milik Gina, mungkin sama sekali tidak berbentuk kapal, tapi dia senang.
"Sayang, kamu hebat," kataku menyemangatinya. Dia pun bertepuk tangan dan membawa hasil origaminya sekaligus origami kapal yang kubuatkan ke ruang ayahnya.
Tak lama kemudian, Keefe datang dan berdiri di depanku.
"Del." Sapanya, kemudian duduk di hadapanku.
"Eh Keefe. Feel better?" tanyaku.
"Ya." Ia diam sebentar. "Sorry soal kemarin ya, Del. Aku terkesan diemin kamu. Sungguh aku tidak bermaksud begitu. Hanya saja, aku merasa sedang kacau dan butuh waktu sendiri."
"It's ok, Keefe. Aku paham kok. Dalam kondisi tertentu, kita butuh waktu untuk sendiri." Aku berhenti sejenak. "Hanya saja, tolong beritahu aku jika kamu sedang ingin sendiri agar aku tidak khawatir." Mendengar ucapanku, Keefe melihatku, tepat ke arah mataku. Rasanya, aku merasakan hal yang berbeda tapi tidak tahu apa.
"Kamu mau minum atau makan apa? Biar aku pesenin. Atau kamu mau ketemu Ilham, dia ada di kantor." Kataku akhirnya, mengalihkan sedikit kecanggungan di antara kami.
"Nggak, aku cuma mau ketemu kamu. Aku merasa ada sedikit kesalahpahaman di antara kita yang perlu kuluruskan. Kamu mungkin tidak merasa. Tapi aku iya."
"Well, sekarang semuanya sudah jelas. Jadi, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Sebagai penebus 'dosaku' yang mengabaikan teleponmu, bagaimana jika seminggu ke depan, seminggu penuh, kamu bisa mengganggu waktuku sesukamu. Kamu bisa mengajakku nonton, makan, ke toko buku, atau bahkan memancing. Ya, asal tidak di jam malam atau jam aku bekerja ya."
"Itu sama saja Del. Nggak ada istimewanya."
"Setidaknya aku tidak akan marah jika kamu mengikutiku terus-terusan." Keefe terkekeh.
"Aku kekanak-kanakan ya Del? Aku kadang heran aku kok bisa seperti itu. Aku tidak pernah melakukannya pada siapapun sebelumnya." Aku Keefe.
"Apakah ini sebuah pujian atau ... ?" Aku curiga dia hanya mengejekku.
"Kurasa karena kamu seperti ibu-ibu yang berusaha membuat nyaman anak-anaknya."
"Sialan. Jadi kamu bilang aku tua?" Keefe tertawa. Aku senang melihatnya tertawa. Ada kelegaan dalam hatiku.
Gina kembali ke meja. Dia duduk di samping Keefe. Mereka kemudian mengobrol. Keefe mengimbangi obrolan Gina dengan menanyakan hal-hal kecil yang balita lakukan sehari-hari. Mereka terlihat lucu.
***
"Del, sepulang kerja kamu ada waktu?" tanya Keefe ketika Gina akhirnya pulang bersama Ilham.
"Ada, kenapa Keefe?"
"Papa ngundang kita makan malam di rumahnya." Dia berhenti sejenak, membaca ketidakmengertian dalam ekspresiku. "Sepertinya papa ingin memperbaiki hubungannya dengan kami."
"Syukurlah, aku turut senang." Aku tersenyum. "Haruskah aku pulang dan berganti baju dulu?" Keefe memeriksa tampilanku.
"Ya, sepertinya perlu." Dia terkekeh. Keefe sendiri sudah tampil rapi dengan celana jeans dan blazer. "Tapi mungkin kita hanya punya beberapa menit saja untuk berganti baju."
"Tenang, aku bisa cepat, kok." Keefe menaikkan sebelah alisnya, meragukanku. "Beneran Keefe. Berani taruhan?" Dia pun terkekeh.
"Kira-kira, kenapa om mengundangku?" Keefe mengangkat kedua bahunya, tidak tahu jawabannya.
"Mungkin papa berpikir kamu bisa membantunya dekat dengan kami lagi. Seperti penengah, mediator."
"Aku tidak yakin."
"Percaya padaku, Del, kamu punya kemampuan semacam itu. Kamu tahu, Keeny cukup pembangkang, tapi begitu berada di sampingmu, dia seperti jadi anak yang sangat penurut." Aku tertawa.
***
Setelah dari kafe, Keefe mengantarku pulang untuk berganti pakaian. Aku cepat-cepat bergegas. Sudah kupikirkan apa yang akan kupakai sewaktu perjalanan. Jadi, sampai di rumah aku langsung cuci muka, ganti baju. Dress warna hijau army panjang, dengan lengan pendek di atas siku menjadi pilihanku. Aku hanya mengenakan make up tipis dan lipstik. Sementara rambutku kukepang menyamping.
"Ayo berangkat." Keefe sedikit bengong begitu melihatku.
"Cantik." Katanya, aku sedikit salah tingkah, kemudian tertawa untuk menutupinya.
Kami berangkat setelah berpamitan dengan ibu.
"Ini adalah waktu tercepat aku menunggu wanita bersiap-siap." Kata Keefe saat perjalanan.
"Ini karena kita harus cepat. Kalau santai mungkin bisa satu jam."
"Jadi, besok kalau aku mengajakmu pergi mending dadakan aja ya." Kami tertawa lagi.
Sampai di sini, kurasa aku mulai menemukan diri Keefe kembali. Dia mulai banyak bercanda denganku dan tertawa.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Tentang Odel dan Zona Nyaman
General FictionNamaku Odel. Umur 27 tahun. Jomblo dari lahir. Introvert. Ditanya ibu terus soal kapan nikah. Gimana sih caranya nyari jodoh? Yuk cek cerita Odel! Jadi saksi perjuangan Odel dalam hidupnya dan untuk dapetin cinta.