7. Hujan dan Sebuah Senyuman

31 2 0
                                    


Hari ini, aku berniat untuk meminta maaf pada Pak Darian. Aku sudah menghafalkan kata-kata permintaan maaf di kepalaku, yang sudah kupersiapkan sejak dua hari lalu. Aku menarik napas panjang sebelum mengetuk pintunya. Tak lama kemudian, aku masuk ke ruangannya.

Dia melihatku sekilas sebelum kembali membuka-buka dokumen di depannya. Aku menunggunya di kursi depan mejanya, sambil meremas jari-jari tanganku sendiri, terlalu gugup untuk menghadapinya.

"Ada apa?" Tanyanya, berhenti sejenak dengan dokumennya. Seperti biasa, ekspresinya sulit ditebak apakah dia merasa terganggu dan ingin menelanku atau biasa saja. Rasanya jantungku seperti ingin meledak berhadapan dengannya.

"Eee, pak, saya ingin meminta maaf atas perkataan kasar saya tempo hari." Sebenarnya, skrip permitaan maaf yang kurencanakan di kepalaku lebih panjang dan lebih dramatis daripada ini. Tapi, berhadapan langsung dengan Pak Darian membuat semuanya buyar.

"Ya." Katanya singkat, kemudian kembali dengan dokumennya.

"Jadi, Bapak maafin saya?"

"Ya."

"Terima kasih, Pak." Aku tersenyum ke arahnya tapi dia masih menekuri dokumennya. "Ini untuk Bapak." Aku memberikan semacam hadiah kecil padanya sebagai bagian dari permintaan maafku. Bukankah orang suka diberi hadiah?

Darian mengambilnya dan melihatnya dengan cermat. "Apa ini?"

"Gantungan kontak mobil."

"Hulk?" Ia melihat ke arahku, mengerutkan dahinya.

Aku meringis, baru menyadari bahwa karakter Hulk mungkin agak mirip dengannya. Mungkinkah dia tersinggung - lagi?

"Saya mencari referensi dari video tutorial, saya pikir itu yang paling lucu untuk orang dewasa. Tapi saya tidak bermaksud apapun. Murni karena saya pikir itu lucu dan saya membuatnya."

"Kamu membuatnya sendiri?" Dia agak terkejut dalam beberapa detik, kemudian kembali memasang ekspresi wajah tanpa ekspresi.

"Iya, Pak."

"Oke, terima kasih." Katanya, sambil meletakkan kembali gantungan kunci itu di mejanya.

"Kalau begitu saya pamit keluar."

"Oiya, Del. Tolong input projek-projek yang baru masuk, kirim ke email saya kalau sudah selesai."

"Baik, Pak."

Aku menutup pintu Pak Darian dengan rasa lega. Ternyata, apa yang terjadi tak seburuk yang kubayangkan selama beberapa malam lalu. Sebelumnya, kupikir Pak Darian akan membuat perhitungan padaku. Atau mungkin dia akan berteriak langsung di depan wajahku. Namun, sebaliknya, dia memberi maaf dengan mudah. Atau ini bagian dari siasatnya saja? Entahlah, aku tidak boleh berpikiran buruk mengenai atasanku, bukan?

***

Siang hari tepat di jam istirahat, Pak Darian menghampiriku.

"Del, sore ini kamu bisa menemani saya menemui klien? Arin yang tadinya pergi besamaku mendadak tidak bisa karena ibunya sakit. Tugasnya juga nggak berat kok, cukup bantu-bantu saya membawa materi presentasi dan membantu saya sewaktu presentasi. Tapi, kalau kamu nggak bisa juga nggak apa-apa. Nanti, coba saya minta tolong orang di departemen lain, karena di departemen kita semuanya sudah cukup sibuk minggu ini."

Tanpa banyak berpikir, aku mengiyakannya. "Ya, Pak. Saya bisa. Kebetulan saya juga sedang tidak ada acara."

"Nice, thanks, Del." Dia sedikit tersenyum dan berlalu dari hadapanku.

***

Seperti yang Pak Darian bilang, aku hanya membantunya mempersiapkan presentasi dan menjadi asistennya saat dia mempresentasikan perkembangan projek iklan produk baru kepada klien.

Saat kami hendak pulang, tiba-tiba hujan deras. Sementara mobil Darian berada di parkiran. Sebenarnya tak terlalu jauh, tapi jika menerobos akan cukup untuk membuat kami berdua basah kuyup.

"Sial, kenapa kantor sebesar ini nggak ada payung lebih, sih." Kudengar Darian mengumpat pelan, tapi masih bisa kudengar.

"Barangkali karena ini hujan pertama, jadi banyak yang pakai, Pak. Belum pada mempersiapkan diri."

"Ah, iya. Saya hanya sedikit kesal."

"Pak, Bu, mari ditunggu di dalam saja. Biar saya buatkan kopi," tawar office boy yang menghampiri kami.

"Saya air putih hangat saja, ya Pak." Kataku pada office boy.

"Baik, mbak."

"Kamu nggak suka Kopi, Del?"

"Nggak bisa minum kopi saya, Pak. Perut saya nggak bisa menerimanya." Darian mengangguk-angguk.

Tak lama kemudian, minuman kami datang.

"Kamu sudah lama berteman sama Pak Keefe?" tanya Darian sambil menyeruput kopinya, tampak agak kepanasan.

Meskipun tampaknya gosip itu telah selesai, namun aku yakin pastilah masih ada orang yang penasaran tentang hubunganku dengan Keefe 'yang sebenarnya'.

"Tidak terlalu lama. Mungkin sekitar satu bulan sebelum saya interview." Pak Darian terlihat agak terkejut. Tapi dia hanya mengangguk, seperti ingin tahu lebih banyak tapi enggan untuk bertanya lagi. Untuk menyembunyikannya, dia kembali menyeruput kopinya yang kini mungkin tak sepanas seruputan pertama.

"Bapak masih penasaran tentang saya dan Pak Keefe?" tanyaku, memastikan rasa penasarannya. Namun, sebagai jawaban, Darian menggeleng.

"Tidak, bukan begitu maksud saya."

"Nggak apa-apa, Pak. Kalau ada yang bertanya pasti saya jawab. Tapi, selama ini orang hanya berspekulasi."

Pak Darian hanya diam.

"Ya, sebenarnya saya bertemu dengan Pak Keefe di sebuah kafe. Saat itu, saya sedang merajut di sana. Karena kafe penuh saat jam istirahat dan hanya kursi depan saya yang masih kosong, akhirnya Pak Keefe meminta izin saya untuk duduk di sana. Saya meneruskan rajutan saya, dan ternyata Pak Keefe memperhatikan saya merajut hingga jam istirahat hampir selesai."

Pak Darian mengerutkan dahinya, aku pun buru-buru meluruskan ceritaku. "Bukan. Bukan. Pak Keefe bilang saya seperti neneknya yang suka merajut, dia suka memperhatikan neneknya saat merajut, tapi beliau sudah meninggal.

"Lalu, kami mengobrol sekadar membicarakan hal-hal remeh temeh, dan pada gilirannya, saya menceritakan hal yang menurut saya memalukan. Sebenarnya itu hal yang biasa bagi kebanyakan orang. Tapi bagi saya itu memalukan." Darian mengangguk.

"Lalu, saya datang wawancara saat itu dan terkejut melihat Pak Keefe. Singkat cerita, setelah itu kami berteman. Pak Keefe mengenalkan saya pada Alika. Kami beberapa kali bertemu dan bercerita." Pak Darian mengangguk lagi. Setelah itu, tak ada lagi yang bicara di antara kami selama beberapa menit.

"Oiya, di luar kantor, kamu boleh memanggil saya Darian. Kurasa itu lebih baik." Kata Pak Darian yang cukup membuatku terkejut.

Dia kemudian tersenyum lebar padaku. Senyum yang seperti itu tak pernah ditunjukannya di kantor. Senyum itu pula yang membuatku semakin terkejut.

Jadi, aku hanya tersenyum balik padanya sambil meminum air putih yang masih sisa setengah gelas dalam sekali teguk.

***

Tentang Odel dan Zona NyamanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang