21. Gagal Me Time

16 1 0
                                    


Seminggu kemudian, aku, Keeny dan Keefe mengantar Alika ke bandara. Aku sudah bicara dengan Alika kemarin. Keputusannya berpisah dengan Keefe benar-benar sudah bulat.

"Aku hanya tak mau membuatnya menungguku Del. Keefe mendambakan sebuah keluarga, aku masih memikirkan karierku entah sampai kapan. Aku mencintainya, tapi kurasa ini saatnya aku melepas Keefe. Keputusanku mungkin terdengar tidak masuk akal. Tapi, aku sudah memikirkannya baik-baik. Waktu yang telah kuhabiskan bersama Keefe jelas akan menjadi kenangan terindah dalam hidupku. Keefe, kamu dan Keeny, aku akan selalu mengingat kalian. Aku akan selalu menghubungimu." Begitulah yang dikatakan Alika, sambil menangis sesenggukan. Saat itu aku langsung memeluknya.

Sementara Keefe, ia bersikeras tak mau bicara dengan Alika. Hatinya hancur. Bahkan, mengantar Alika saja karena aku dan Keeny yang menjebaknya. Dia sebenarnya ingin kabur, tapi kami berhasil membujuk Keefe.

Akhirnya, Keeny menyetir mobil, Alika duduk di sampingnya. Sementara aku dan Keefe duduk di bangku belakang. Barang-barang yang akan dibawa Alika telah rapi tergeletak di bagasi.

Dalam perjalanan, suasana begitu mencekam. Sesekali, aku dan Keeny bergurau. Tapi, Alika dan Keefe hanya terdiam.

Kami sampai di bandara. Sebelum masuk ke dalam bandara, Alika meminta waktu untuk bicara pada Keefe, yang tentu saat ini berpaling membelakangi Alika.

"Keefe, aku pamit dulu, ya. Kamu baik-baik. Maaf dan terima kasih, aku sangat bahagia bersamamu. Kamu adalah kenangan terindahku. Maaf, aku tidak bisa berada di sampingmu lagi. Aku akan selalu berdoa untuk kebahagiaanmu, Keefe. Aku pamit Keefe."

Alika, Keeny dan aku turun untuk mengantar keberangkatan Alika, sementara Keefe bersikeras untuk menunggu di dalam mobil.

"Seperti kata-kataku tempo hari, Del, jagain Keefe ya." Begitulah yang diucapkan Alika sebelum akhirnya berpisah dengan kami.

Aku dan Keeny kemudian kembali ke mobil. Keefe tidak ada di sana. Teleponnya tidak diangkat. Kami memutuskan untuk menunggunya di dalam mobil. Sekitar 10 menit kemudian, dia kembali. Keringat mengucur di wajahnya, seperti baru berlari-lari.

"Dari mana, mas? Kayak dikejar-kejar setan gitu?" Tanya Keeny sambil menahan tawa.

"Dari toilet."

"Ohhhh." Keeny melihat ke arahku dan kami pun tertawa. Kami tahu betul, Keefe pasti mengejar Alika. Meski dia tidak bicara langsung, dia pasti melihatnya dari jauh.

"Iseng banget sih kalian. Ayo balik."

***

Setelah kepergian Alika, sikap Keefe mendadak jadi menjengkelkan. Dia hampir setiap hari mencariku di kafe, berlama-lama nongkrong di sana. Bahkan, dia berkata pada Ilham untuk 'membeli' waktuku agar aku bisa menemaninya, mendengarkan omong kosongnya. Dia juga muncul di rumahku saat aku libur. Kadang dia muncul jam 10 malam. Kadang jam 6 pagi. Aku merasa privasiku sedikit terusik olehnya. Aku tahu, dia sedang sedih. Tapi, kurasa ini juga bukan cara terbaik untuk melupakan kesedihannya.

Akhirnya, di satu akhir pekan, aku memutuskan untuk kabur dari Keefe. Dalam tote bag-ku, aku membawa iPad, buku, ponsel, headset kabel, dan bekal sederhana. Aku akan kabur ke taman kota, piknik kecil-kecilan. Hanya aku dan diriku.

"Bu, tolong jangan bilang Keefe ke mana aku pergi."

"Emang kamu mau pergi ke mana?" Aku baru ingat aku pun belum memberitahu ibu.

"Rahasia." Kataku sambil nyengir. Ibu tidak mengintrogasiku. Dia hanya berpesan padaku untuk hati-hati dan pulang tepat waktu, atau segera memberitahu jika aku pulang terlambat.

***

Di taman, aku mencari tempat duduk di bawah pohon. Aku menggelar tikar kecil, hanya untuk duduk satu-dua orang. Kemudian, aku mulai membuka novel yang akan kubaca sambil sesekali menyuapkan buah-buahan yang telah kupotong kecil-kecil. Entah berapa menit aku telah larut dalam cerita yang kubaca sampai aku merasakan kehadiran seseorang. Dia berdiri di hadapanku. Aku berpaling dari bacaanku untuk melihat siapa yang datang, mengganggu ketenanganku. Aku terkejut. Bagaimana Keefe bisa menemukanku?

"Kamu, kamu gimana bisa sampai di sini?" Aku merengut padanya, tapi dia hanya nyengir dan mengambil duduk di sampingku.

"Intuisiku tu kuat banget tau. Jadi, kamu tidak bisa sembunyi dariku."

Aku tidak bisa berkata-kata. Berdebat dengannya pun percuma.

"Keefe, aku sedang nggak mau diganggu, please." Dia tidak menghiraukanku. Sebagai balasan atas keluhanku, dia mengambil sebelah headsetku dan memasangnya di telinganya. Dia bersandar di sebelahku pada pohon yang sama.

"Lagunya enak." Ia tersenyum, lalu memejamkan matanya tanpa menghiraukanku. Aku melihat semua gerak-geriknya tanpa berkomentar lagi. Tapi, dia terlihat tenang. Jadi, kali ini aku membiarkannya mengganggu waktuku, lagi.

Selagi Keefe terpejam, aku meneruskan bacaanku. Sesekali aku mendengar Keefe bergumam, berkomentar tentang lagu. "Lagunya bagus, kamu punya selera musik yang keren. Ah, lagu ini membosankan." Tapi, aku membiarkannya saja. Aku terlalu larut dalam buku yang kubaca. Kemudian, aku tidak lagi mendengar Keefe bergumam. Aku menengok ke arahnya. Dia tidur dengan damai, melupakan sejenak kesedihannya.

***

Tentang Odel dan Zona NyamanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang