6. Pria Berwajah Tak Ramah

44 3 0
                                    


Sudah lebih dari seminggu gosip mengenai diriku dan Keefe menyebar di kantor. Aku berusaha semampuku untuk tidak peduli dengan gosip itu. Namun, aku tidak bisa tahan lagi dengan tatapan yang ditunjukkan orang lain padaku ketika aku lewat di depan mereka.

Mungkin resign adalah jalan terbaik. Aku sudah berusaha semampuku menjadi orang yang baik.

"Keefe, apa aku sebaiknya resign?" Tanyaku pada Keefe, meminta sarannya. "Kamu tahu, kan? Aku bekerja di sini untuk menuruti saran ibuku dan mendapatkan juga kehidupan sosialku. Tapi, kalau dengan bekerja justru membuat hidupku makin tidak tenang jika dibandingkan sebelumnya, untuk apa? Dan ini baru awal bulan kedua."

"Kamu masih terganggu dengan gosip itu."

"Ya, sangat. Aku sudah berusaha untuk mengabaikannya, tapi aku tidak bisa." Kataku tak ada ragu. "Atau sebaiknya aku menjauh darimu saja ya, Keefe?"

"Kamu pikir masalahnya akan selesai dengan cara seperti itu?"

"Bisa jadi."

"Tidak akan Del, tidak akan." Keefe terlihat menghela napas dan menghembuskannya keras-keras. "Mengapa aku harus menjauhimu hanya karena gosip murahan itu? Tidak ada masalah dengan pertemanan kita. Alika tidak masalah, kalian juga berteman. Menjauhimu karena gosip itu adalah hal konyol. Kita sudah dewasa, kita mengerti betul apa yang harus dipedulikan apa yang tidak. Dan kamu pun mengerti jawabannya."

Aku memikirkan perkataan Keefe. Dia benar. Sepenuhnya benar. Namun, aku tidak tahu apa yang harus kulakukan.

"Kamu tenang aja. Masalah ini bakalan selesai secepatnya."

"Kamu nggak perlu bekerja keras kalau aku resign, Keefe," kataku, merasa sedikit sungkan.

"Ini soal profesionalitas. Sebelum ini, kondisi di kantor baik-baik saja. Semua orang bekerja dengan baik dan tenang. Tapi, tiba-tiba masalah ini muncul dan menimbulkan dampak buruk bagi karyawan."

"Thanks, Keefe." Kataku akhirnya. Dia terlihat sedang memikirkan sesuatu. Pastinya mencari solusi, namun aku sungkan untuk menanyakannya.

***

Sehari setelahnya sekitar pukul 11 siang, Keefe mengumpulkan semua karyawannya di ruang meeting.

"Ada apa ya kira-kira?" Sekar di sebelahku bertanya-tanya. Aku hanya mengangkat bahu. "Mungkinkah ini ada kaitannya dengan gosip tentangmu?" Dia menebak-nebak, tapi aku tak menggubrisnya. Pikiranku sendiri pun masih menduga-duga.

"Selamat siang semua." Keefe membuka forum. "Saya akan langsung ke pokok permasalahan."

"Kalian pasti tahu isu yang akhir-akhir ini beredar. Bukan masalah besar sebenarnya, tapi cukup mengganggu. Kalian yang sudah lama bekerja di sini pasti sudah tahu bagaimana profesionalnya saya. Tidak ada yang mempengaruhi saya, bahkan keluarga saya sendiri, dalam bekerja dan mengambil keputusan, kecuali itu untuk kebaikan perusahaan.

"Saya dan Delia memang berteman. Apakah ada aturan seorang atasan tidak boleh berteman dengan karyawannya? Siapa yang berhak menentukan dengan siapa saya berteman? Tidak ada. Saya menentukan hidup saya sendiri, begitu juga kalian.

"Dan yang perlu saya garis bawahi. Delia bukan wanita seperti yang digambarkan si penyebar gosip. Sebaliknya, kinerja Delia bagus untuk kategori karyawan baru. Dan tentu, perusahaan membutuhkannya. Kalau kalian meragukan perkataan saya, silahkan menemui Darian atau saya sendiri untuk melihat sendiri buktinya. Saya berbicara berdasar fakta dan data. Jadi, kalian tidak perlu khawatir saya akan berat sebelah."

"Untuk itu, saya minta tolong pada kalian, bekerjalah dengan tenang dan bahagia seperti kita sebelum ini. Jika kalian memiliki keluhan, sampaikan dengan cara yang semestinya. Kalian tahu caranya."

Begitu selesai bicara, orang-orang bertepuk tangan untuk Keefe. Aku pun demikian. Seketika, rasanya pikiranku menjadi enteng.

***

"Bagaimana? Sudah lega sekarang?" Tanya Keefe saat kami makan siang bersama, kali ini tanpa mengendap-endap seperti maling.

"Cukup lega. Makasih ya, Keefe."

"Itu sudah menjadi kewajibanku."

"Tapi, ada hal lain yang kukhawatirkan."

"Apa lagi?" Keefe mengerutkan dahinya.

"Aku harus bagaimana? Beberapa hari lalu, aku berteriak padanya karena dia menegurku saat melamun karena gosip itu. Belakangan, Pak Darian lebih sering keluar bertemu klien, dan aku tidak tahu bagaimana harus menghadapinya. "

Keefe menangkupkan kedua telapak tangannya ke mulutnya. "Kamu, Delia si anak baru berani memarahi Darian? Wah wah, ternyata bukan cuma penjilat, tapi atasan pun dimarahi." Canda Keefe yang diikuti dengan tawa.

"Aku tidak sedang bercanda."

"Untuk urusan satu itu, aku tidak bisa membantu."

Aku menghabiskan makanku, tapi pikiranku melayang pada kemungkinan-kemungkinan yang akan kulakukan untuk meminta maaf pada Darian. Orang lain pastilah berkata bahwa meminta maaf hanya perlu dilakukan dengan mengatakannya. Namun, hal itu terasa lebih rumit bagiku.

Pertama, dia atasanku. Kedua, dia berwajah tak ramah. Ketiga, dia galak. Aku harus menemukan cara yang tepat untuk meminta maaf padanya.

***

Tentang Odel dan Zona NyamanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang