Saat aku bersih-bersih untuk persiapan menutup kafe, Keefe datang. Dia terlihat lesu. Aku segera menghampirinya.
"Keefe?" Ia melihatku tapi tidak menjawab. Aku menunggunya bercerita sesuai kemauannya.
Sembari menunggu, aku membuatkannya kopi.
"Thanks," katanya. "Kopinya enak." Bahkan, ia seperti tidak merasakan bahwa kopi yang diminumnya masih panas.
"Tidak panas?" Dia baru sadar kemudian meletakkan cangkirnya.
"Aku kacau banget, Del." Keefe terdiam lagi, cukup lama. Waktu sudah menunjukkan pukul 10 malam. Beberapa pekerja lainnya mulai pulang setelah berpamitan denganku. Sedang aku masih tinggal di sini. Ilham menitipkan kafe padaku hari ini karena dia dan istrinya tidak bisa datang. Aku juga bertugas menutup kafe. Soal pulang larut malam, aku punya tukang ojek langganan yang akan mengantarku pulang dengan selamat.
"Kamu tidak pulang?" Tanya Keefe akhirnya.
"Bisa nanti. Yang penting kamu merasa baikan dulu."
"Kalau gitu, ayo pulang bareng."
"Benar nggak mau cerita apa pun? Atau setidaknya kamu duduk dulu tenangin diri kamu. Aku bisa menunggu."
Dia termenung lagi.
"Aku dan Alika sudah selesai, Del." Aku terkejut. Seketika itu pula ingatan tentang pembicaraanku dengan Alika tempo hari muncul. Inikah yang ingin disampaikan Alika saat itu?
"Dia dapat tawaran kerja di Amerika. Pekerjaan yang selalu diimpikannya selama bertahun-tahun." Matanya mulai berkaca-kaca.
"Alika merasa hubungan kami tidak akan bisa bertahan dan dia tidak mau aku menunggunya. Dia bilang, jalan kami sudah berbeda. Konyol."
"Aku memberinya beberapa jalan agar hubungan kami tetap berjalan, setidaknya mencoba terlebih dahulu. Tapi, dia bilang dia tidak bisa melakukannya lagi. Keputusannya sudah final."
Aku tak tahu apa yang harus kukatakan pada Keefe untuk membuatnya lebih baik. Akhirnya, aku hanya diam di hadapannya, menepuk-nepuk punggung tangannya.
"Apa yang harus kulakukan, Del?" Ia menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya.
"Kamu sudah melakukan yang terbaik, Keefe. Apa yang bisa kulakukan untuk membuat perasaanmu jadi lebih baik?"
"Aku ingin makan mie jawa di pinggir jalan seperti waktu itu." Ia sedikit tersenyum.
"Oke. Aku tutup kafe dulu, ya."
"Aku bantuin."
***
Keefe makan dengan lahap, aku yakin dia sedang berusaha untuk mengalihkan perhatiannya.
"Enak banget Del. Kita harus sering-sering ke sini." Aku mengangguk. Keefe melanjutkan makan lagi. Pikirannya pasti sedang kacau. Tapi yang bisa kulakukan saat ini hanya menemaninya. Aku sendiri pun payah untuk menyembuhkan patah hatiku. Bahkan hingga saat ini aku belum benar-benar sembuh.
"Apa kamu masih sakit hati tentang Darian, Del?" Tiba-tiba Keefe bertanya.
"Terkadang aku masih marah. Terkadang, aku menyesal sudah memberinya kesempatan." Keefe mengangguk-angguk.
Keefe mengantarku pulang sekitar pukul 11 malam. Ibu sudah menungguku di depan pintu. Ibu sudah tahu cerita singkat tentang kondisi Keefe saat aku meminta izin untuk pulang terlambat. Aku pun meminta Keefe untuk langsung pulang karena dia terlihat tidak baik.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Tentang Odel dan Zona Nyaman
General FictionNamaku Odel. Umur 27 tahun. Jomblo dari lahir. Introvert. Ditanya ibu terus soal kapan nikah. Gimana sih caranya nyari jodoh? Yuk cek cerita Odel! Jadi saksi perjuangan Odel dalam hidupnya dan untuk dapetin cinta.