Tampaknya, aku dan Darian sudah benar-benar berakhir. Darian tak bisa lepas dari mantan pacarnya Tania, pun tidak terlihat memperjuangkanku. Tidak ada lagi Odel dan Darian. Semuanya sudah berakhir. Hanya dalam hitungan beberapa minggu saja aku merasa di atas awan, lalu dengan cepatnya terjatuh. Rasa sakitnya tidak sesakit saat kehilangan ayah. Tapi, juga cukup sakit untuk kehilangan orang yang baru kukenal, lalu kucintai dalam waktu yang cepat. Bodoh.
Setelah tidak lagi bersama Darian, aku memutuskan untuk resign dari KK Marketing. Kurasa, aku tidak bisa melihat Darian lagi di sekelilingku. Aku tidak pernah membenci orang begitu besar sebelumnya, Darian adalah yang pertama.
Seminggu pertama setelah putus, kuhabiskan dengan berdiam diri di dalam rumah. Terkadang menangis sesenggukan, beberapa saat kemudian tertawa hanya melihat video-video lucu di media sosial. Aku tidak merajut, juga tidak melakukan hal lain yang berarti. Ibu pun tidak menceramahiku seperti biasanya. Tampaknya dia memberiku waktu untuk melewati patah hatiku. Ibu hanya datang ke kamar untuk memastikan aku makan dengan baik.
Tapi, kurasa ibu tidak bisa menahannya lebih lama lagi. Ibu sudah muak melihatku dengan drama kesedihanku. Minggu menjelang tengah hari, dia memanggilku, memintaku untuk keluar kamar. Saat aku menolaknya, dia menggeret tanganku dengan paksa. Aku bahkan tak punya tenaga untuk mengelak.
Sampai di ruang tamu, mataku terbelalak. Dii sana sudah ada Keefe, Keeny dan Alika. Sementara tampilanku macam orang tak berakal yang kesulitan mengurus diri sendiri.
Begitu melihatku, Alika mendekat dan memelukku. Aku ingin menghindarinya karena sadar tubuhku berbau tidak sedap. Tapi sudah terlambat. Aku cukup terharu Alika tidak terganggu dengan bau badanku. Atau dia hanya menahannya?
Tak berapa lama, air mataku mengalir. Aku menangis sesenggukan. Berapa lama aku telah menahan emosi ini sendirian? Apakah Darian sebegitu penting untukku sehingga aku harus bersedih berhari-hari dan menangisi akhir dari hubungan kami?
"Kamu boleh menangis sepuasnya. Tapi janji ini yang terakhir kalinya. Dia tidak pantas ditangisi," kata Alika menenangkanku sambil menepuk lembut pundakku. Setelahnya, aku mengusap air mataku dengan lengan hoodie yang kupakai.
Keefe menunjukkan kantong plastik besar yang dibawanya tepat di depan wajahku. Dari baunya, tampaknya plastik itu berisi banyak makanan. Dan benar saja, berbagai jenis makanan terlihat jelas saat Keefe meletakkannya di meja. Dia juga mengeluarkan berbagai jenis mainan yang bisa dimainkan bersama.
"Aku tidak tahu mana yang menarik untukmu saat ini. Jadi, aku membawa semuanya," aku tersenyum.
"Nanti kita juga akan mengadakan semacam barbeque-an di depan rumah Mbak Del. Kami sudah izin tante." Keeny menggamit tanganku dan memintaku duduk di sofa.
"Lakukan apa saja yang kalian suka. Tante sudah bosan melihat anak perempuan tante mengurung diri di kamar." Ibu tiba-tiba lewat dan menyela pembicaraan kami.
"Siap tante," jawab Keefe, Alika dan Keeny serentak.
"Jadi, mana yang Mbak Odel ingin lakukan terlebih dulu?" Tanya Keeny.
"Kita nonton film horror aja ya." Kataku memutuskan.
"Oh no." Keefe terkejut.
"Kenapa? Jangan bilang kamu takut, Keefe." Aku melihat ke arah Keefe sambil cekikikan.
"Tidak perlu dijelaskan lagi, dari ekspresi Keefe, kamu sudah tahu dengan jelas." Alika pun terkekeh.
"Keefe, melihat ekspresimu, semakin aku ingin nonton film horor dan kamu gak bisa menolak."
"Oke, siapa takut," tantang Keefe.
Sejak film horor dimulai, Keefe memeluk bantal sofa, bersiap menutup matanya pada beberapa adegan menegangkan. Beberapa kali dia berteriak. Dibandingkan film horor yang kami tonton, aku lebih terhibur melihat Keefe ketakutan. Sejenak, aku lupa kesedihanku.
***
Sore harinya, kami mengadakan barbeque sederhana. Keefe dan Keeny berperan lebih banyak dari aku dan Alika. Mereka menyiapkan perapian dan membakar bakso, sosis hingga daging. Sementara aku dan Alika menyiapkan saus dan menusuk bahan yang akan dibakar.
"Apa yang akan kamu lakukan setelah ini, Del?" Tanya Alika, ketika Keefe dan Keeny sedang sibuk membakar..
"Mungkin aku akan mencari kegiatan baru. Seperti ikut kursus memasak atau meracik minuman," kataku. Itu lebih masuk akal bagiku untuk kulakukan. Aku butuh kegiatan baru.
"Aku punya kenalan pemilik kafe. Kalau kamu mau, kamu bisa part time di sana. Minumannya enak-enak. Kamu bisa belajar meracik minuman di sana." Begitu mendengar ide Alika, seketika aku bersemangat.
"Boleh, Al. Terdengar menyenangkan," kataku antusias.
"Kamu pasti akan suka tempat itu. Kafe itu semacam hidden gem. Hanya orang-orang terpilih yang bisa menemukannya." Alika terkekeh. Seketika aku merinding: seperti tempat rahasia, seperti keberadaanku.
"Dengan mendengarnya saja aku jadi bersemangat."
"Baguslah. Aku akan menghubunginya dan memberitahumu setelahnya."
"Kalian membicarakan apa sih? Seru amat." Keefe datang, dengan membawa sepiring penuh bakso dan sosis yang telah dibakar. Tak lama kemudian, Keeny menyusul. Kami berempat duduk saling berhadapan.
"Rahasia," kataku.
"Aku menawari Odel untuk bekerja di kafe milik Ilham."
"Wah, bagus dong. Aku bakal sering main ke sana meski tempatnya susah dijangkau," Keefe tak kalah bersemangat dariku.
"Jangan suka gangguin Odel, Keefe." Keefe hanya tertawa.
"Aku juga pernah part time di sana, Mbak Del. Tugasku meracik kopi," kata Keeny sambil mengambilkanku satu tusuk bakso bakar ketika hanya tanganku yang masih kosong tidak memegang apapun.
"Baiklah, aku bisa bertanya padamu nanti, Keen."
"Anytime, Mbak Del."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Tentang Odel dan Zona Nyaman
General FictionNamaku Odel. Umur 27 tahun. Jomblo dari lahir. Introvert. Ditanya ibu terus soal kapan nikah. Gimana sih caranya nyari jodoh? Yuk cek cerita Odel! Jadi saksi perjuangan Odel dalam hidupnya dan untuk dapetin cinta.