25. Tanaman-tanaman yang Ditinggal Pemiliknya

17 2 0
                                    


Aku buru-buru ke rumah Keefe setelah meletakkan barang-barangku di rumah. Ibu membawakan beberapa makanan untuk Keefe dan Keeny. Ibu bilang, siapa tahu mereka belum sempat makan. Aku mengiyakan.

"Ini untuk Keefe dan Keeny. Mereka mungkin masih tidak berselera makan. Tapi pastikan kamu paksa mereka makan." Pesan ibu. Aku mengangguk.

Sampai di sana, masih ada beberapa orang yang melayat. Banyak karangan bunga ucapan duka di depan rumah. Kulihat papa Keefe beserta seorang wanita seusianya di sampingnya tengah menyambut para pelayat. Aku tidak melihat Keefe dan Keeny.

"Om, turut berduka cita ya." Ucapku begitu sampai di depannya.

"Terima kasih, Del." Aku mengangguk. "Keefe dan Keeny di dalam." Katanya, mungkin dia memergokiku celingukan. "Om titip mereka padamu ya Del. Mereka sangat terpukul kehilangan mamanya. Om tidak bisa berbuat banyak. Kamu sendiri tahu bagaimana hubungan om dan mereka. Om yakin, kamu lebih mengerti mereka."

Aku melihat ada duka yang mendalam dari matanya. Aku yakin om juga ingin berada di samping Keefe dan Keeny di masa sulit mereka. Tapi, bahkan untuk duduk di samping mereka, itu mungkin terasa sulit.

"Odel akan berusaha om. Odel ke dalam dulu." Dia mengangguk.

Aku mencari Keeny dan Keefe di dalam. Om bilang Keefe berada di kamar mamanya. Sementara Keeny tidak jelas di mana. Tapi, ketika aku menuju kamar mama Keefe, aku berpapasan dengannya.

"Mbak Del." Katanya. Wajahnya terkejut. Dia kemudian memelukku dan diam-diam menangis, menyembunyikannya di balik punggungku. Aku menepuk-nepuk pelan pundaknya.

"Kamu sudah makan?" Tanyaku setelah dia melepas pelukan. Keeny buru-buru mengusap air matanya, kemudian menggeleng.

"Makan dulu ya. Tadi ibu bawain masakan. Kamu suka kan masakan ibu?" Dia tersenyum dan mengangguk. Kami menuju meja makan.

"Aku panggil Keefe dulu, ya. Kita makan bareng."

"Mas Keefe di kamar mama." Aku mengangguk.

Kamar mama Keefe ditutup rapat, aku mengetuknya pelan..

"Keefe ini aku Odel." Pintu dibuka tak lama kemudian. Dari balik pintu, muncul Keefe yang terlihat begitu rapuh. Matanya bengkak. Dia pasti banyak menangis dari kemarin.

Begitu melihatku, dia juga memelukku.

"Keefe. Maaf aku tidak mengangkat teleponmu. Maaf aku tidak bisa datang tepat waktu."

"Del. Mama. Mama. Mama sudah pergi." Dia menangis lagi.

"Aku tahu ini berat bagi kamu dan Keeny. Tapi, kalian pasti bisa melalui ini."

"Del, kenapa mama pergi secepat ini?" Aku menepuk-nepuk pundaknya pelan seperti yang kulakukan pada Keeny.

"Ayo makan. Ibu membawakan masakan enak." Seperti anak kecil yang penurut, dia mengangguk dan kami ke meja makan.

Kami bertiga tidak bicara. Aku hanya menyiapkan makan untuk mereka.

"Ini rasanya mirip masakan mama." Mereka memakannya dengan lahap sambil menangis terisak. Di saat yang sama, aku berjanji pada diriku sendiri untuk sering mengajak mereka makan bersama ibu.

Setelah itu, suasana jadi sunyi. Hanya ada suara peralatan makan yang saling bertautan dan suara dari luar. Mungkin masih banyak kolega yang melayat.

"Keefe, Keen. Maafkan aku karena tidak datang tepat waktu saat kalian butuh."

"Mbak Del nggak salah kok." Kata Keeny. Tapi Keefe tetap diam. Mungkinkah dia marah?

"Mbak Del hanya mencari ketenangan sebentar. Lagi pula mbak Del sudah memberi tahu kami sebelumnya bahwa mbak tidak bisa diganggu. Nggak ada yang tahu kan kalau mama akan pergi secepat ini." Aku mengangguk sambil melirik Keefe yang masih diam. Dia terus menunduk. Aku tidak tahu apa yang dipikirkannya.

"Aku keluar sebentar."

Sebenarnya aku hendak keluar untuk menemui Om. Tapi begitu lewat pintu samping yang terbuka, aku keluar melalui pintu yang menuju ke halaman samping, tempat di mana mama Keefe banyak memelihara tanaman. Kupikir mama Keefe akan cocok dengan kakek dan nenek kalau saja mereka sempat bertemu. Tanaman-tanaman itu terlihat belum disiram beberapa hari. Aku pun menyalakan keran untuk menyiramnya. Selama beberapa menit aku terhanyut dengan kegiatan ini sampai Keeny datang.

"Mbak Del?"

"Kulihat tanaman ini beberapa hari belum disiram."

"Kurang lebih dua hari. Sehari sebelum mama meninggal, mama dirawat karena serangan jantung. Jadi semua fokus pada mama dan pemakaman mama."

"Ah, aku mengerti."

"Mbak Del nggak usah ngerasa bersalah. Mas Keefe hanya butuh waktu untuk menenangkan diri. Mbak Del tahu? Mas Keefe adalah anak yang paling manja sama mama meskipun dia terlihat paling mandiri. Dia paling nggak bisa jauh dari mama. Makanya, begitu mama meninggal, dia syok berat. Aku juga, tapi tidak sebanyak mas Keefe. Jadi, beri dia waktu mbak. Nanti mas Keefe juga akan kembali.

"Dan makasih banget mbak Del udah ada untuk kami. Mbak Del datang, membawakan kami makanan, menemani kami makan, it means a lot untuk kami mbak. Itulah yang kami butuhkan saat ini.

"Jadi, mbak Del jangan pergi jauh-jauh dulu ya. Temani kami, paling nggak untuk saat-saat ini. Mbak Del tahu? Saat melihat mbak Del datang tadi, seketika perasaanku menjadi lebih baik. Dan kupikir mas Keefe juga merasakan hal yang sama."

Aku mengangguk. Tanpa terasa air mataku menetes. Aku tidak pernah tahu bahwa kehadiranku bisa terasa sangat berharga bagi orang lain. Aku yang sebagian besar usiaku kuhabiskan lebih banyak dengan diriku sendiri pada akhirnya bisa merasakan bagaimana pentingnya kehadiranku untuk mereka. Terasa begitu senang dan puas, hingga rasanya aku ingin mencurahkan semua kemampuanku untuk tidak membuat mereka kecewa.

"Mbak Del menangis?" Tanya Keeny agak khawatir.

"Nggak, cuman kelilipan kok." Aku pura-pura berkedip sambil mengusap mataku. Keeny menaikkan sebelah alisnya. Tahu aku berbohong. Kami pun terkekeh.

***

Tentang Odel dan Zona NyamanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang