31. Resign dan Drama

13 2 0
                                    


Akhir bulan ini, aku memutuskan untuk resign dari kerjaan paruh waktuku di kafe. Dalam keputusanku ini, aku baru memberitahu ibu dan tentu bosku, Ilham. Keefe dan Keeny belum mengetahuinya. Namun, tentu saja tak butuh waktu lama untuk mereka mengetahuinya. Malam harinya, setelah aku pulang dari kerja di kafe untuk yang terakhir kalinya, mereka sudah menungguku di rumah. Berdua. Keefe dan Keeny. Dari ekspresi wajah mereka saja sudah bisa kutebak mereka tak sabar untuk mendengar alasanku. Ibu hanya tersenyum dan geleng-geleng kepala, menyerahkan semuanya padaku untuk menjelaskannya.

"Biarkan aku mandi dulu, ya." Pintaku. Mereka menggeleng.

"Bentar aja, 15 menit doang." Mereka menggeleng lagi. Aku menyerah dan duduk di samping ibu.

Aku menarik napas. "Kalian benar ingin tahu alasannya?"

"Menurut kamu?" Keefe bertanya balik, ketus. Aku tidak tahu sejak kapan mereka menjadi menjengkelkan macam ini.

"Baiklah, denger baik-baik ya. Jangan potong omonganku sebelum aku selesai." Mereka mengangguk, seperti anak kecil yang patuh.

"Jadi, seminggu lalu, ibu memberi tahu bahwa teman ibu ada yang mau menyewakan satu rukonya. Harga sewanya juga menurut pengamatanku tidak semahal yang lainnya. Karena aku sangat ingin membuka toko craft-ku sendiri, ibu memintaku mempertimbangkannya. Jadi, seminggu ini aku memikirkannya dengan sungguh-sungguh. Dan melihat kondisi keuanganku, kurasa cukup untuk menyewanya dalam jangka waktu tertentu, dan sisanya bisa kugunakan untuk modal. Jadi, aku memutuskan untuk resign dan fokus memulai bisnisku sendiri. Ibu juga mendukung keputusanku. Kami juga sudah mengobrol dengan teman ibu mengenai kesepakatan sewa ruko itu." Selesai bicara, suasana hening. Aku menunggu reaksi mereka.

"Jadi Mbak Del tidak cukup percaya padaku untuk bercerita tentang rencana bisnis mbak? Aku juga bisa mendukung Mbak Del. Dalam segala sisi." Dan Keeny pun memilih 'drama' untuk menanggapi penjelasanku. Terpancar jelas di wajahnya, dia pura-pura kecewa.

"Kamu juga nggak percaya padaku, Del?" Keefe ikut-ikutan. Apa pula yang mereka inginkan?

Sejenak, aku mengusapkan kedua telapak tanganku di wajahku.

"Jadi, sekarang apa yang kalian inginkan?" Tanyaku.

Keduanya sejenak saling menatap dan mengangguk. Lalu, Keefe, nampaknya sebagai perwakilan mengatakan, "Kami mau makan enak. Sekarang. Titik."

Aku mangacak-acak rambutku sendiri. Merasa sedikit frustasi.

"Bu, apa yang harus kulakukan pada mereka?" Ibu hanya geleng-geleng kepala, tertawa.

Akhirnya, aku menyerah dan menuruti keinginan mereka. Dan betapa terkejutnya aku karena di dapur sudah banyak bahan makanan segar.

"Ibu belanja banyak hari ini? Tumben." Tanyaku sambil memeriksa isi kantong belanjaan.

"Bukan ibu, tapi Keefe dan Keeny. Tadi mereka datang membawa banyak belanjaan. Mereka bertanya pada ibu mengapa kamu resign mendadak dan saat ibu mau menjelaskan, mereka bilang tidak usah."

"Oh, aku tahu sekarang. Ini hanya akal-akalan mereka saja bu untuk mengerjai Odel. Awas aja mereka."

"Sudah, biarkan saja. Lihat tu. Mereka seneng banget."

Aku melihat ke arah mereka, yang saat ini sedang bermain game online. Tak lama setelah mama mereka meninggal, mereka membeli perlengkapan gaming baru yang kemudian dibawa ke rumahku. Jadi, mereka bisa bebas memainkannya saat datang ke sini.

Aku melarang mereka untuk sering-sering datang ke rumahku, karena aku butuh privasi dan ketenangan, sementara mereka sangat berisik saat datang. Jadi mereka selalu mencari-cari alasan untuk bisa datang ke sini.

Kali ini, aku akan membiarkan mereka. Tapi tidak untuk lain kali. Meskipun lain kali, aku juga pasti akan luluh dengan drama yang mereka mainkan. Ah!

***

Keefe dan Keeny makan masakan yang kumasak bersama ibu dengan lahap. Meski seedikit jengkel dengan mereka, tapi aku senang melihat mereka bahagia. Sepertinya, aku rela untuk melakukan apa saja untuk membuat mereka bahagia. Aku masih ingat jelas bagaimana hancurnya mereka saat mama mereka meninggal. Setidaknya, jika aku bisa mengembalikan sedikit senyum mereka, aku akan melakukannya dengan senang hati. Meskipun kadang-kadang terpaksa, tapi aku masih senang melakukannya.

Setelah makan, aku, Keefe dan Keeny mengobrol di ruang tamu, sedang ibu masih punya kerjaan yang harus diselesaikannya.

"Coba, ceritakan lagi soal rencana craft shop-mu itu, Del. Aku ingin mendengarnya lagi." Pinta Keefe. Kali ini kulihat wajahnya benar-benar serius. Keeny pun tak kalah serius menyimaknya.

Aku menjelaskan keinginanku untuk membuka craft shop sejak lama. Aku juga memberitahu mereka tentang rencana bisnisku dan rincian-rinciannya di dalam laptoku. Keefe memeriksanya pertama, kemudian Keeny. Aku tahu mereka lebih berpengalaman dalam bisnis, jadi mereka mungkin bisa memberikan masukan padaku.

Tak butuh waktu lama setelah mereka membaca rencana bisnisku, mereka pun mulai memberikan masukan pada setiap poin-poin yang kubuat. Kami melakukan diskusi kecil. Aku mendengarnya baik-baik dan mencatat poin-poin penting yang mereka sampaikan.

"Kalau kamu butuh bantuan, jangan sungkan menghubungiku." Tawar Keefe di akhir diskusi kami.

"Tentu." Jawabku.

"Harus menghubungiku." Keefe menekankan kata itu karena dia tahu aku tak akan meminta bantuan jika tidak dipaksa olehnya.

"Iya, oke, baiklah, aku akan mengubungimu." Kataku meyakinkan.

"Hubungi aku juga, Mbak Del."

"Baiklah Keeny."

"Investasi di bisnismu sepertinya menarik, Del." Kata Keefe tiba-tiba.

Aku langsung saja menolaknya, "Tidak, tidak. Aku tidak mau kalian terlibat."

"Hey, ini bisnis. Kalau kamu dapat investasi, modal yang kamu keluarkan tidak akan terlalu besar. Akan lebih menguntungkan untukmu." Bujuk Keefe lagi.

"Tidak. Tidak tertarik tuh. Aku sudah memikirkannya sejak lama. Dengan sangat matang. Ini adalah Craft Shop-nya Odel dan Ibu."

Aku bersikeras. Mereka menyerah. Mereka tahu, mereka benar-benar tidak bisa melibatkan diri mereka lebih jauh, kecuali hanya membantu hal-hal mendasar seperti berdiskusi.

***

Tentang Odel dan Zona NyamanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang