5. Gosip

45 3 0
                                    


Kekhawatiranku sebelumnya benar-benar terbukti. Berteman dengan Keefe, bos KK Marketing, tidaklah mudah.

Selama 27 tahun aku hidup, tak pernah ada seorang pun yang mengusikku. Bahkan, tahu keberadaanku pun mungkin tidak. Hidupku hanya berputar dengan sedikit orang yang kukenal, namun aku menghargai setiap hal yang kulalui bersama mereka. Aku cukup tenang dan senang dengan semua itu.

Namun, ketenangan itu tak lama kemudian terusik, karena gosip murahan. Aku selalu menjauhi gosip. Kini, aku menjadi objek gosip.

Aku tak tahu darimana gosip murahan ini berasal, tapi sudah menyebar luas di kantor. Gosip tentang aku dan Keefe. Sekar menunjukkan pesan DM Instagram dari sebuah akun tak dikenal yang dikirimkan pada banyak orang di kantor. Dalam DM itu, ada dua foto pada kesempatan yang berbeda yang menunjukkan aku dan Keefe sedang makan siang bersama. Narasinya kurang lebih seperti yang terjadi di drama-drama, menuduhku sebagai Odel, si karyawan baru penjilat atau Odel si perebut pacar orang. Ya, aku baru tahu Keefe sudah punya pacar.

Aku yang tak pernah menghadapi masalah serupa, sudah bisa dipastikan langsung terguncang. Kenapa aku yang harus terlibat dalam skandal tak masuk akal ini, padahal dalam kenyataannya tak ada yang salah sama sekali.

Saat aku berjalan, beberapa orang memandangku sambil berbisik. Seperti aku pencuri yang tertangkap basah. Aku merasa terhakimi oleh pandangan-pandangan itu. Bagaimana aku harus menjelaskan semuanya? Atau aku tidak perlu menjelaskannya dan membiarkan semuanya? Tapi masalah ini sangat mengusikku.

Belum lagi Pak Darian, yang seolah ikut-ikutan menyindirku.

"Del, apa dengan melamun pekerjaanmu akan selesai? Kalau kamu memang kenal baik dengan Pak Keefe, setidaknya bersikaplah profesional di kantor."

"Pak Darian, saya sebisa mungkin bekerja dengan profesional. Saya sudah menyelesaikan pekerjaan saya. Dan, maaf Pak Darian, saya di sini hanya karyawan part time, bukan full time." Entahlah, apa yang merasukiku, sampai aku berani berkata seperti itu pada Pak Darian.

"Permisi, ini waktu saya untuk pulang. Dan sekali lagi, saya sudah menyelesaikan semua pekerjaan yang Bapak berikan pada saya. Selamat siang." Kataku akhirnya.

Pak Darian, kurasa seumuran Keefe, tapi dia seperti pria paruh baya yang mudah tersinggung. Selama 3 minggu bekerja di sini, aku belum pernah melihatnya tersenyum. Semua segan padanya, kurasa lebih tepatnya malas berurusan dengannya. Mungkin saat ini dia tengah murka padaku dan berencana untuk memberikan pelajaran yang setimpal padaku.

Saat aku keluar kantor, rasanya sesak di dadaku sudah tidak bisa kutahan lagi. Aku pun menangis sambil menunggu bus untuk pulang.

Tiba-tiba mobil Keefe berhenti di depan halte. Dia memintaku untuk naik. Aku ragu. Tapi dia tidak mau pergi jika aku tidak naik.

"Hari ini pasti berat bagimu." Aku diam saja tidak menjawabnya.

Mobilnya kemudian melaju, ke arah yang tidak kutahu. Aku hanya menurut karena hari ini aku tidak bisa berpikir jernih. Setelah kematian ayah, ini adalah hari terburuk berikutnya.

***

Keefe berhenti di depan kafe di mana kami pertama bertemu. Aku tidak mengerti tujuannya membawaku kemari, tapi aku mengikuti langkahnya. Tangisanku memang sudah berhenti, tapi rasa sesak di dadaku masih terasa.

Dan seperti kebetulan yang dibuat-buat, kami pun duduk di tempat kami bertemu saat itu. Tapi aku memang suka tempat duduk itu. Letaknya di pojokan dekat jendela. Tak terlalu menjadi pusat perhatian, namun aku bisa memandang sekitar dengan leluasa.

Keefe memesankanku cokelat hangat. Sementara untuknya sendiri, kopi. Entah apa jenisnya aku tak mengerti.

Tak berapa lama, seorang wanita melangkah dengan tergesa-gesa ke arah kami. Mataku terbelalak seketika, itu pasti pacar Keefe.

Wanita itu cantik, tinggi dan elegan. Pandangannya tampak sedikit garang. Seketika, aku merinding. Dia pasti hendak melabrakku.

Jadi, saat dia duduk, aku menangkupkan kedua telapak tanganku di depannya.

"Sungguh mbak, aku dan Keefe hanya berteman, jangan salah paham." Keefe dan wanita itu sontak tertawa, cukup keras untuk menarik perhatian orang-orang di meja sebelah kami.

"Aku Alika." Wanita itu mengulurkan tangan. "Dan aku tidak akan melabrakmu." Dia masih tertawa.

Aku mengerutkan dahi. "Aku Delia." Kataku akhirnya.

"Lagian kebanyakan nonton sinetron kamu, Del?" Keefe masih terkekeh. Aku hanya meringis.

"Alika datang kemari karena aku ingin memperkenalkan padamu. Ini Alika, pacar aku." Kata Keefe akhirnya. "Maaf Del, aku baru mengenalkan Alika sekarang."

Alika seorang arsitek. Dulu dia bertemu dengan Keefe saat mereka kuliah bersama. Mereka menjadi dekat dan berjanji untuk selalu bersama.

"Ini bukan salah kalian." Sambung Alika. "Mereka aja yang picik. Kamu tenang Del. Semuanya akan baik-baik aja."

"Gimana caranya?" Tanyaku.

"Keefe akan mengurusnya. Dia kan bos. Tanggung jawab dia." Kami pun tertawa.

Sisa waktu kami habiskan untuk mengobrol. Bercerita mengenai kehidupan lama kami masing-masing. Mereka juga banyak bertanya padaku, yang tak pernah kusadari, perlakuan seperti itu membuatku merasa penting, merasa berharga. Hingga aku sejenak melupakan permasalahanku hari ini.

Dalam beberapa jam saja bersama mereka, aku langsung mengagumi mereka. Tidak pernah aku mengalami hal serupa. Bisa jadi, mereka berdua memang ditakdirkan untuk masuk dalam lingkaran kecil kehidupanku dan aku berharap akan bertahan dalam waktu yang lama.

***

Tentang Odel dan Zona NyamanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang