10. Sebuah Kesempatan

36 1 0
                                    


Makan siang bersama Darian adalah sesuatu yang tak pernah terpikirkan olehku sebelumnya. Kurang lebih sama seperti Keefe yang kutemui di kafe dan kemudian menjadi bosku. Tapi, aku sudah tidak terlalu memikirkannya. Lagipula, belakangan banyak kejutan yang terjadi dalam hidupku. Jadi, daripada memikirkannya, lebih baik aku membiarkan apapun yang akan terjadi.

Tidak, tentu aku berbohong. Sebanyak aku mencoba untuk mengabaikan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi, sebanyak itu pula aku memikirkannya. Pendeknya, pikiranku semakin banyak dipenuhi kemungkinan-kemungkinan aneh yang muncul begitu saja di otakku tanpa kukehendaki.

Dan disinilah aku sekarang. Darian ada di depanku, sedang memakan steak ayam. Sementara aku, sambil makan sambil berpikir apa maksud Darian sebenarnya membawaku kemari.

Pada awalnya, pikiran sederhanaku hanya mengatakan bahwa Darian hanya ingin berteman dan mengakrabkan diri dengan anak buahnya. Itu wajar. Dia mungkin ingin mengubah situasi dan penilaian orang tentangnya untuk kenyamanan bekerja. Lantas, pikiran rumitku tidak terima dengan alasan sederhana itu. Dia mencari-cari dugaan lain, skenario yang mungkin akan terjadi padaku: 'Barangkali Darian ingin membicarakan pekerjaan sambil bersantai. Tapi, kenapa hanya aku. Atau, Darian ingin memberikan pelajaran untukku karena belakangan menjadi karyawan bermasalah di departemennya. Bisa jadi.'

"Del." Kata Darian beberapa saat setelah dia menghabiskan makanannya.

"Ya?" Mendadak dia memfokuskan perhatiannya padaku.

"Sepertinya aku menyukaimu."

Skenario ini tidak pernah terpikirkan olehku. Aku tersedak seketika. Dia mengulungkan minum padaku. Setelah merasa lebih baik, aku melihat ke arahnya. Detak jantungku mendadak berpacu kencang.

"Maksud kamu?" Itulah pertanyaan bodoh yang terucap dariku. Karena kemungkinan Darian menyukaiku adalah nol. Setidaknya, itulah kesimpulanku selama ini.

"Aku juga tidak tahu sejak kapan. Tapi belakangan, gagasan mengenai aku menyukaimu mulai mengusikku. Dan aku bertekad harus mengatakannya padamu."

Aku berpikir sejenak sebelum menjawabnya. "Sungguh, Dar. Aku tidak pernah menyangka hal ini akan terjadi. Jadi, aku tidak tahu harus bagaimana sekarang. Aku harus memikirkannya dengan baik, bukan? Maksudku, aku bukan lagi remaja. Aku wanita dewasa dan urusan percintaan tidak lagi soal aku ingin bersama seseorang tanpa memikirkan banyak hal." Aku meracau, yang bahkan aku tak 100 persen ingat apa yang baru saja kukatakan.

"Aku mengerti. Sangat mengerti. Kamu tidak harus menjawabnya sekarang." Darian diam sejenak. "Kamu perlu tahu, bahwa kekhawatiran yang baru saja kamu katakan, aku juga memikirkan hal serupa. Dan aku sudah memikirkannya dengan baik. Untuk itulah, aku sekarang ada di hadapanmu untuk membicarakan hal ini." Darian tersenyum. Dadaku masih bergemuruh.

Aku benar-benar tidak pernah menyangka bahwa hal semacam ini benar-benar akan kualami. Oleh seorang Odel, yang tidak pernah mendapatkan pengakuan cinta dari seorang pria sejak dia lahir. Odel yang selalu memiliki cinta sepihak, yang kemudian mengesampingkan urusan cinta beberapa tahun belakangan.

Sisa waktu istirahat itu terasa lama. Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan lagi untuk membunuh waktu, begitu pula Darian. Akhirnya, kami pun kembali ke kantor. Di dalam mobil pun terasa sunyi. Hanya lagu-lagu yang diputar secara acak oleh sebuah stasiun radio. Terkadang lagu cinta, yang mendadak membuatku bergidik.

***

"Keefe, aku harus bagaimana?" Monolog dengan diriku sendiri tak banyak membantu, jadi aku menemui Keefe.

"Bagaimana apanya?" Keefe mengerutkan dahi.

"Darian bilang dia suka padaku." Mendadak bibirnya melengkung, menunjukkan senyum lebar padaku.

"Wow, itu kabar bagus. Berarti tujuanmu dan keinginan tante Ros bakal terwujud, dong." Keefe terkekeh.

"Keefe, sumpah ini nggak lucu."

"Aku juga tidak sedang melucu. Rasanya, aku ingin menelepon tante Ros saat ini juga untuk memberitahu kabar bahagia ini." Aku membelalakkan mata pada Keefe.

"Kalau kamu berani melakukannya, sungguh aku akan menjambak rambutmu di sini, sekarang juga. Aku tidak peduli pada reputasiku di depan orang-orang, tapi kamu jelas peduli." Ancamku.

"Kamu benar-benar mengerikan, Del." Dia terkekeh lagi.

"Jadi, please, seriuslah!"

"Menurutku, Darian baik orangnya. Tanggung jawab, apalagi sama kerjaan. Meskipun terlihat dingin, tapi dia care sama anak buahnya." Aku mengangkat sebelah alisku, maksudku aku sudah mengetahui hal itu.

"Kamu tahu, Del? Memang menyenangkan jika cinta itu dirasakan oleh dua pihak. Namun, terkadang orang dihadapkan pada pilihan mencintai atau dicintai. Menurutku, saat itu pilihlah untuk menjadi pihak yang dicintai. Dengan begitu, kamu akan mendapatkan perlakukan penuh cinta dari orang itu. Kamu akan dihargai dan dihormati. Lalu, rasa cinta mungkin akan mengikuti kemudian setelah perlakuan-perlakuan manis yang dia berikan padamu. Tapi, sekali lagi, kamu mungkin punya pendapat yang berbeda dariku. Kalau kamu butuh perspektif dari seorang wanita, kamu bisa bertanya pada Alika." Aku mengangguk.

"Apa aku perlu memberinya kesempatan?" Tanyaku kemudian.

"Itu bukan ide yang buruk. Kamu hanya perlu membicarakannya dengan Darian." Aku mengangguk. Jawaban ini pula yang paling banyak terpikir olehku.

"Kamu pantas, sangat pantas untuk mendapatkan yang terbaik, Del." Lanjut Keefe. Perkataannya terdengar begitu tulus hingga aku pastikan aku akan selalu mengingatnya.

"Makasih, Keefe. Aku jauh lebih lega sekarang."

"Aku hanya perlu memastikan Darian tidak akan menyakitimu."

"Gimana caranya?" Tanyaku penasaran.

"Semacam, aku menjadi guardian angel untukmu." Katanya sambil mengepakkan tangannya di udara. Aku tidak dapat menahan tawaku lagi. Bagaimana seseorang yang terlihat begitu keren dan berwibawa di kantor bisa menjadi sedemikian konyol?

***

Darian di hadapanku saat ini. Penampilannya rapi seperti biasa karena kami bertemu di hari kerja. Hanya saja, rambutnya kini dipotong rapi. Jujur, sedikit membuatku terpesona.

Darian menungguku bicara.

"Maaf membuatmu menunggu beberapa hari untuk jawaban ini. Aku tidak pandai berbasa-basi, jadi aku akan langsung." Dia mengangguk. "Dar. Kurasa aku bisa memberimu kesempatan. Tapi bukan berarti aku sudah menyukaimu. Aku masih butuh waktu untuk mencerna semua situasi ini. Aku butuh waktu untuk melihat keseriusanmu. Jika nanti waktunya tiba, aku tidak akan ragu lagi untuk mengatakan apa yang kurasakan padamu saat itu. Aku tidak bisa memastikan kapan waktunya, tapi aku akan mengatakannya. Jadi, jika kamu tidak keberatan, teruslah bersabar untukku. Jika tidak, kamu boleh mundur. Aku tidak apa-apa."

Darian terdiam sejenak, lalu tersenyum. "Terima kasih sudah memberiku kesempatan. Aku akan dengan senang hati menunggu."

Akankah ini akan menjadi pilihan yang tepat untukku?

"Aku akan berusaha untuk membuatmu mempercayaiku. Aku akan berusaha untuk membuatmu nyaman berada di sampingku. Aku akan berusaha untuk tidak mengecewakanmu. Aku akan berusaha semampuku." Kata Darian, barangkali dia membaca adanya kekhawatiran dari ekspresiku. "Jadi, bisakah kamu juga bersabar untukku?"

Aku mengangguk. Kata-katanya membuatku merasa lebih baik dengan keputusan yang kuambil. Ada rasa lega yang menyelinap di hatiku.

***

Tentang Odel dan Zona NyamanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang