8. Seperti Kuman

34 0 0
                                    


Minggu adalah hariku. Aku menghabiskannya dengan bermalas-malasan. Biasanya hanya tidur atau nonton TV. Sementara ibu biasanya pergi ke perkumpulan RT atau sekadar mencoba resep masakan baru.

Belum mandi, aku hanya rebahan di kasur sambil mendengarkan lagu-lagu. Terkadang sambil meresapi liriknya, seolah-olah aku adalah pemeran utama dalam lagu itu. Meskipun jelas-jelas tidak.

Aku pun tak peduli jika cucianku menumpuk atau ada customer yang komplain terkait boneka rajut yang kukirimkan. Aku akan mengurusnya esok hari.

Tapi, ketenanganku terusik setelah pintu rumah diketuk. Dari dapur, ibu berteriak memintaku untuk membukakan pintu. Aku berharap, itu hanya tetangga depan rumah yang mengantarkan cemilan hangat yang baru dibuatnya.

Namun, saat pintu dibuka, betapa terkejutnya aku. Dia itu ....

"Keefe!" Mataku terbelalak melihat dia yang justru nyengir di depanku sambil melambaikan tangannya.

"Hai, Del." Aku celingukan, memastikan ibu atau siapapun tidak melihat keberadaannya. Aku buru-buru keluar dan menutup pintu.

"Untuk apa kamu kemari? Dan bagaimana kamu bisa tahu alamat rumahku?" Tanyaku dengan nada panik.

"Mau ke sini aja. Tadinya aku keluar beli sesuatu. Terus aku ingat, melewati daerah rumahmu. Aku cari tahu alamat lengkapmu dari CV yang kamu kirimkan, terus aku kesini deh."

"What?"

"Memangnya kenapa sih, Del?"

"Kamu tahu kan Keefe, masalah yang kuhadapi. Kehadiran cowok di dekatku saat ini, adalah sebuah isu sensiitif jika ibu tahu. Dia akan mengira kamu pacarku, dan dia akan sangat senang. Tapi, saat dia tahu kamu bukan pacarku, dia akan kecewa. Dan apa akibatnya, Keefe? Ya, dia akan mungkin menekanku lebih banyak lagi." Jelasku pelan-pelan agar ibu tak mendengarnya.

"Kamu kan bisa bilang aku bosmu."

"Oh, tidak semudah itu, Keefe."

"Terus, aku pulang, nih?" Aku langsung mengangguk tanpa ragu.

"Sebelum tetangga atau ibu atau bahkan semut di rumah ini melihat kehadiranmu, please, kamu pulang secepatnya." Kataku dengan nada suara memelas.

Keefe baru akan berbalik untuk pergi, tapi ibu tiba-tiba muncul dari balik pintu yang tadi kututup. Terlambat.

"Del, siapa?" Tanya ibu, ekspresi wajahnya menunjukkan kecurigaan yang aku tahu betul apa maksudnya. Kurang lebih begini: Hey, Odel. Inikah pacar yang akan kamu kenalkan pada ibu? Kapan kalian akan menikah?

"Hai tante, saya Keefe, rekan kerja Odel." Sapa Keefe, sambil mengulurkan tangannya. Ibu menyambutnya dengan antusias.

"Lebih tepatnya, ini bos Odel, bu." Kataku meralat, tapi ibu sepertinya tidak mengindahkan perkataanku. Dia mempersilahkan Keefe masuk ke dalam.

Tak menunggu waktu lama, ibu menyajikan minuman dan kue yang baru saja dibuatnya untuk Keefe.

"Bu, ini Keefe, 'teman' sekaligus 'bos' Odel." Aku memberi penekanan pada kata 'teman' dan 'bo's untuk memperjelas keberadaan Keefe. Tapi, sekali lagi, ibu tak menghiraukanku.

Sebaliknya, ibu asyik berbicara dengan Keefe. Menanyakan hal remeh temeh hingga hal aneh, seperti 'Apakah Odel sangat merepotkanmu? Odel itu tidak romantis, kan?' Aku mencoba memberi isyarat pada ibu agar tak bicara aneh-aneh. Tapi, saat ini, aku seperti kuman di mata ibu. Kecil, dan tak terlihat.

Saat Keefe akhirnya pulang, aku berusaha untuk meluruskan semuanya pada ibu. Aku tak mau dia kecewa pada akhirnya.

"Ibu, dengerin Odel ya, please."

"Ya, ibu dengarkan." Dia duduk di hadapanku, memperhatikan.

"Keefe itu bukan pacar Odel. Sungguh. Sejauh ini, belum ada siapa pun yang dekat dengan Odel untuk sebuah hubungan baru. Maaf kalau Odel membuat ibu kecewa."

Sebagai balasannya, ibu justru tertawa keras.

"Kenapa ibu tertawa?"

"Kamu pikir ibu tidak tahu? Ya, ibu tahu Keefe bukan pacarmu."

"Terus kenapa ibu bersikap seolah-olah Keefe itu pacar Odel dan ibu menanyakan hal-hal yang membuatnya tidak nyaman?"

"Ibu hanya mengerjaimu."

"Bu, itu tidak lucu."

"Dan selain itu, ibu mencoba yang terbaik, siapa tahu Keefe berubah pikiran dan mau memacarimu."

Wow, aku sungguh tak menduga hal itu. Kupikir aku selalu tahu reaksi yang akan ditunjukkan ibuku pada setiap kondisi. Rupanya aku tidak benar-benar mengenal ibuku.

"Keefe juga sudah punya pacar." Tambahku.

"Wah, sayang sekali, tidak ada harapan." Kata ibu sambil melihatku dari ujung kepala hingga ujung kaki. Dia sedang mengejekku.

Aku hanya terdiam, memicingkan mataku melihat ibu yang masih tertawa.

***

Satu jam kemudian, Keefe menelepon. Dia meminta maaf telah membuatku kesulitan.

"Sorry Del, aku janji nggak bakal ke rumahmu lagi jika kamu tidak suka. Meskipun, kue buatan ibumu enak banget."

"Kamu boleh main ke rumah kapan pun sesukamu." Kataku.

"Kenapa begitu?"

"Ibu mengerjaiku. Dia tahu kamu bukan pacarku. Tapi dia menanyakan hal-hal yang membuatmu tidak nyaman untuk membuatku berpikir jika ibu pikir kamu pacarku."

"Tapi, dalam beberapa hal ibumu asyik kok. Aku suka ngobrol dengannya. Saat kamu lama di kamar mandi, kami ngobrol banyak." Hei, berapa lama aku di kamar mandi? Mungkin cukup lama, mengingat aku sedang haid.

Keefe melanjutkan, "Dan aku suka kue ibu. Jadi, kalau kamu mengizinkanku untuk datang kapan pun aku mau, aku akan dengan senang hati melakukannya."

"Jangan terlalu sering."

"Kenapa lagi?"

"Mengganggu privasiku."

"Well, aku ingin menemui tante Ros, bukan anaknya."

"Uggghhh." Aku menutup telepon.

Aku senang ibu tidak mempermasalahkan mengapa aku belum juga menemukan seorang pria yang tepat untukku. Itu terdengar baik. Namun, saat ibu tidak mempermasalahkannya, mengapa hal itu justru membuatku gusar?

***

Tentang Odel dan Zona NyamanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang