16. Ragu

15 1 0
                                    

Beberapa orang mengatakan padaku bahwa kepercayaan dalam sebuah hubungan itu sebuah keharusan. Ya, aku memercayai Darian. Kalau aku tidak percaya padanya, tidak mungkin aku dengan mudahnya menyerahkan hati dan perasaanku padanya. 27 tahun tidak memiliki kisah cinta saja aku bertahan, jadi tidak mungkin aku mempertaruhkan kepercayaanku untuk seseorang yang membuatku ragu. Dan memercayai jalanku bersama Darian adalah keputusan terbaik yang pernah kuambil. Kurasa.

"Del, maaf aku tidak bisa menemanimu makan siang. Aku mendadak ada urusan lain," kata Darian, nampak terburu-buru hendak pergi.

"Tidak apa-apa. Aku akan makan dengan yang lain," timpalku. Tak lama, Keefe datang mendekat.

"Apa aku terlambat lagi?" Tanyanya, sambil menyerahkan dokumen kepada Darian.

"Tidak, kali ini Pak Keefe tepat waktu." Darian menerima dokumen dari Keefe. "Baiklah, aku pergi dulu, Del." Dia kembali ke mejanya sebentar, kemudian melenggang pergi keluar kantor.

"Buru-buru banget Darian."

"Katanya ada urusan."

"Mau makan di mana?" Tanya Keefe.

"Di mana aja," jawabku singkat.

Kami akhirnya makan mie ayam yang terletak di depan kantor. Warung mie ayam itu cukup ramai. Beberapa pengunjung adalah orang kantor. Kami memutuskan untuk duduk beberapa bangku dari orang kantor. Meski aku tak peduli lagi jika ada gosip, tapi duduk agak berjauhan dengan orang kantor membuatku leluasa untuk berbincang apa saja dengan Keefe tanpa khawatir akan ada yang menguping pembicaraan kami.

"Kamu baik-baik saja, Del?"

"Ya. Apa aku kelihatan tidak baik?" tanyaku.

"Cukup jelas terbaca."

"Sial," umpatku pelan.

"Kamu bisa cerita kalau mau."

Aku melihat Keefe, berpikir apa aku harus bercerita atau cukup menyimpannya saja.

"Aku memercayai Darian. Tapi, akhir-akhir ini aku sedikit ragu padanya." Aku berbicara pelan. "Dia seperti menyembunyikan sesuatu."

"Aku tidak masalah dia melakukan hal apapun, pergi bersama teman-temannya, melakukan hobinya atau apapun tanpa aku. Tapi, dia tidak pernah mengatakan apapun. Beberapa kali dia mengangkat telepon saat kami pergi bersama. Dia terlihat berhati-hati saat membalas pesan dari seseorang seolah memastikan aku tidak melihatnya. Aku tidak bertanya karena aku ingin memercayainya dan menghargai privasinya atau menunggu dia bercerita jika dia ingin.

"Tapi tidak. Dia tidak mengatakan apapun. Akhir-akhir ini dia juga kerap pergi untuk urusan penting, yang kuyakin itu bukan urusan kantor. Meski itu privasinya, tidak berhakkah aku untuk tahu apa yang dia lakukan saat dia tidak sedang bersamaku?" Aku terdiam sambil makan.

"Tentu kamu berhak. Itulah esensi menjalin hubungan dengan seseorang. Untuk saling mengenal, untuk saling mengetahui satu sama lain, untuk saling memercayai. Mungkin kamu hanya perlu membicarakannya dengan Darian. Aku tidak bisa mengatakan banyak karena aku tidak tahu situasi kalian yang sebenarnya. Tapi, aku dan Alika, kami membicarakan banyak hal tentang kami berdua dan hal-hal di luar kami berdua." Aku mengangguk. "Mungkin keraguanmu karena kamu baru pertama kali menjalin hubungan dengan seorang pria. Kamu khawatir dengan kemungkinan-kemungkinan buruk yang terjadi, seperti orang-orang yang gagal dalam percintaan mereka. Tapi, kamu punya kisah sendiri Del yang pastinya berbeda dengan mereka."

"Thanks Keefe, kamu banyak membantuku."

"Thanks Del, sudah bersedia untuk kuganggu setiap saat. Jadi kita impas." Kami terkekeh. "Buruan habisin mie-nya. Keburu mengembang."

"Kapan kamu makan? Mie mu kok udah abis?" Benar, mangkok Keefe sudah kosong, bersih sampai kuahnya.

"Saat kamu melamun."

***

"Dar."

"Hmm?" Saat ini Darian sedang fokus dengan ponselnya. Seperti sedang membalas pesan dari seseorang, masih menyembunyikannya dariku.

"Apa kamu percaya padaku?" Mendengar pertanyaanku, dia berhenti dengan ponselnya dan menatapku.

"Tentu saja, mengapa tiba-tiba bertanya?"

"Kalau begitu, aku ingin mendengar ceritamu. Kamu dengan keluargamu, kamu dengan teman-temanmu, kamu dengan aktifitas yang kamu lakukan jika kita tidak sedang bersama. Seperti saat aku menceritakan banyak hal padamu. Aku ingin tahu banyak tentang dirimu, kalau memang hubungan kita dimaksudkan untuk arah yang serius seperti yang kamu katakan di awal hubungan kita." Rasa sesak di dadaku sedikit berkurang setelah mengatakannya.

Aku menunggu Darian berbicara. Barangkali dia sedang mencerna perkataanku dan mendiskusikan apa yang terbaik untuk kami.

"Terima kasih sudah mengatakannya padaku. Maaf jika aku membuatmu sedih. Aku seharusnya terbuka denganmu dalam banyak hal, tapi aku malah diam saja, seolah menjalin hubungan hanya tentang diriku bersamamu dan tidak memikirkan dirimu.

"Aku akan bercerita mengenai diriku dan hal-hal yang terjadi di sekitarku. Aku akan bercerita mengenai banyak hal. Tapi sebelumnya, aku merasa ada satu hal penting yang ingin kukatakan padamu."

"Apa itu?"

"Kamu ingat seorang wanita yang berpapasan dengan kita tempo hari?" Aku mengangguk.

"Dia adalah mantan pacarku." Napasku terhenti sesaat. "Aku dulu sangat mencintainya dan dia mengkhianatiku. Dia menghancurkan hidupku."

"Beberapa hari setelah pertemuan itu, dia menghubungiku. Dia meminta bantuanku. Ibunya sakit dan dirawat di rumah sakit. Dia harus menjaga ibunya dan bekerja. Mereka hanya tinggal berdua. Jadi, dia memintaku menjaga ibunya di waktu-waktu tertentu saat dia bekerja. Dia tidak tahu harus meminta tolong pada siapa. Itulah alasan sebenarnya aku sering mengabaikanmu. Dan aku merasa menjadi pria paling jahat melakukan hal itu padamu. Maafkan aku, Del." Mataku berkaca-kaca mendengar pengakuannya. Keefe benar, aku hanya perlu membicarakannya dengan Darian. Dan keraguanku pun sirna.

"Aku takut kamu salah sangka padaku jika aku mengatakan yang sebenarnya," lanjut Darian.

"Tentu saja tidak. Selama kamu jujur dan kamu mengatakannya padaku."

"Terima kasih Del sudah memercayaiku."

"Tapi, apa kamu baik-baik saja karena itu adalah mantanmu dan orang yang pernah menghancurkan hidupmu?" Tanyaku. Pertanyaan itu terlintas di pikiranku begitu saja.

"Kurasa aku sudah memaafkan hal itu dan sekarang tidak apa-apa. Aku hanya memikirkan perasaanmu." Aku tersenyum mendengarnya.

Setelah itu, kami berbicara banyak. Darian menceritakan kehidupannya, keluarganya, apa yang dia sukai. Kami banyak tertawa karena kekonyolan yang dilakukan di masa lalunya. Semakin dia banyak bercerita, semakin aku menyukainya.

Sampai di tengah kami bicara, mantan Darian menelepon. Tak berapa lama, Darian meminta izinku untuk pergi. Meski ada rasa berat di hatiku, tapi aku mengiyakannya.

***

Tentang Odel dan Zona NyamanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang