"Dar, hari ini bisakah kamu mengantarku ke toko bahan kerajinan? Bahan-bahan rajutku habis."
Dia menahan jawabannya beberapa saat. "Maaf, maaf banget, Del. Aku tidak bisa."
"Bantu jaga ibunya Tania lagi?" Darian mengangguk ragu.
"Yah, mau bagaimana lagi." Kataku, berusaha sebisa mungkin untuk tersenyum.
"Kamu tidak marah, kan?" Aku tidak menjawabnya. Aku berjalan keluar kantor sambil memesan ojek online. Darian memanggilku, tapi aku mengabaikannya. Aku tidak berlebihan. Sudah dua minggu dia mengabaikanku dan lebih memilih untuk membantu mantan pacarnya daripada pergi bersamaku. Apa perasaanku tidak lagi penting baginya? Apa keberadaanku tidak lagi dibutuhkannya? Entahlah. Tapi, sesekali aku ingin membalasnya. Mengabaikannya karena membicarakan masalah itu sudah tidak banyak membantu.
Sampai di toko bahan kerajinan, kekesalanku sedikit teralihkan. Melihat bahan-bahan rajut dan segala pernak-perniknya, seketika membuatku kalap. Tak butuh waktu bermenit-menit, keranjang belanjaanku sudah penuh dengan bahan rajut.
"Mbak Delia, lama baru kelihatan," Sinta menyambutku di balik meja kasir. Dia gadis yang manis. Sekitar 4 tahun lalu, setelah lulus SMP, dia merantau untuk mencari pekerjaan di kota. Dia terpaksa putus sekolah karena permasalahan klasik, biaya. Kini usianya sudah 19 tahun. Dia sudah dewasa, cantik, pintar dan tentunya ramah. Para pelanggan senang berbicara dengannya sambil dia menghitung jumlah belanjaan pelanggan. Kerjanya cepat.
"Iya, Sin. Aku bekerja paruh waktu sekarang. Jadi, hanya membuat sekitar 2 atau 3 boneka rajut per minggu."
"Wah, bagus Mbak Delia. Menyibukkan diri dengan hal-hal baik."
"Ya, begitulah. Bagaimana kabar keluarga di rumah?" Tanyaku.
"Baik, baik, ibu dan bapak baik." Dia memasukkan belanjaanku ke dalam totebag kain yang kubawa dari rumah. "Mbak Delia mungkin tidak akan melihat Sinta lagi di kasir lain waktu."
"Kenapa?" Dia kemudian senyum-senyum.
"Sinta dilamar mbak. Sama laki-laki di desa Delia. Setelah menikah nanti, Sinta akan ikut suami dan merawat anak-anak kami nanti. Cita-cita Sinta untuk jadi ibu rumah tangga akan tercapai, mbak." Aku tersenyum, rasanya turut senang mendengarnya.
"Wah, selamat, Sin. Itu bagus. Semoga kamu selalu bahagia."
"Terimakasih, mbak. Mbak Delia semoga juga selalu bahagia." Dia berbisik. "Dan segera menemukan jodoh Mbak Delia dan menikah." Dia terkekeh dan memberikan belanjaanku setelah aku membayarnya.
"Ya, semoga saja." Aku pun berlalu dari hadapannya. Perasaanku terasa getir mengingat aku dan Darian. Keinginanku tentang cinta barangkali juga tak muluk-muluk. Seperti keinginan sederhana Sinta yang ingin menikah dan memiliki keluarga sendiri, keinginanku pun tak jauh beda.
***
Dari toko bahan kerajinan, aku mampir ke cafe yang baru buka beberapa hari. Tak lama setelah aku mendapatkan cokelat panas pesananku, hujan turun. Rintik-rintik, lalu deras. Beberapa pengunjung baru datang. Mungkin sembari berteduh dari hujan.
"Mbak Odel?" Aku mendongak. Keeny sudah berdiri di depanku. Dia lalu duduk.
"Keen? Sejak kapan kamu di sini?"
"Barusan aja datang. Kebetulan ada urusan di sekitaran sini. Trus ujan, jadi aku mampir ke sini." Keeny meletakkan tasnya di kursi. "Mbak Odel sendiri?"
"Ya, aku barusan beli bahan-bahan rajut."
"Nanti pulang bareng aku aja, ya."
"Oke, siap."
"Tapi aku bawa motor, jadi nunggu ujannya sampai reda. Ada sih dua pasang jas ujan di jok motor. Jadi ribet."
"Yaudah, santai di sini aja dulu, Keen. Nggak buru-buru juga."
Pesanan Keeny datang tak lama kemudian.
"Jadi, apa rencanamu setelah lulus?"
"Rencananya sih mau buka bisnis clothing kayak hoodie dan t-shirt gitu bareng 2 temen aku mbak. Deket-deket ini lagi survey tempat buat kantor sekaligus tempat produksi untuk sablon. Kecil-kecilan dulu aja bisnisnya."
"Wah, bagus itu Keen. Nanti, tinggal marketingnya minta bantuan Keefe."
"Ah, enggak mbak Del. Keeny mau mulai semuanya sendiri. Sudah cukup nama Keeny dicuri buat nama perusahaan."
"Dicuri?"
"KK Marketing. Itu kan dari Keefe-Keeny."
"Serius? Aku baru tahu." Aku tertawa, menertawakan betapa konyolnya aku tidak banyak tahu mengenai perusahaan tempatku bekerja.
"Sungguh, Mbak Odel baru tahu?" Aku mengangguk. "Jadi, waktu mendirikan perusahaan, Mas Keefe meminta ide dari mama. Terus mama kepikiran menyatukan kedua nama kami. Dan bodohnya Mas Keefe iya iya aja. Padahal itu kan perusahaan dia sendiri." Aku tertawa.
"Tapi keren sih, seperti KK Krusty Krab restorannya Mr. Krabs di Bikini Bottom." Kali ini Keeny giliran yang tertawa.
"Mbak Odel nonton Spongebob juga?"
"Iya dong, siapa sih yang enggak."
Saat cokelat hangatku hanya tinggal setengah gelas, dari pintu masuk aku melihat dua orang yang sudah sangat kukenal masuk. Mereka terlihat akrab dan saling tertawa. Mereka duduk di tempat yang tak jauh dari pintu masuk. Jadi, kemungkinan mereka tidak melihatku jika tak mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan cafe. Dua pasang mataku lekat mengawasi gerak-gerik mereka. Si wanita memegang tangan si pria. Mereka tertawa bersama. Mereka terlihat seperti pasangan yang serasi. Pria yang duduk sendirian di sebelah meja mereka barangkali cemburu melihatnya. Dadaku rasanya sesak. Tak berapa lama, air mataku mengalir. Keeny sedang ke toilet, jadi dia belum tahu.
Hujan kini tinggal rintik-rintik kecil, namun air mataku mengalir semakin deras meski susah payah kutahan. Tangisku tak bersuara, hanya isak karena aku tak mau menjadi pusat perhatian orang. Akhirnya, aku hanya bisa menyandarkan dahiku di atas lengan yang kulipat di meja. Air mataku terus menetes ke sepatuku sementara kepalaku menunduk.
"Mbak Odel?" Keeny datang. "Mbak kenapa?" Dia menggoyangkan bahuku pelan. Mungkin saat ini bahuku sedikit bergetar karena isak tangisku. Aku buru-buru mengusap air mataku sebelum menunjukkan wajahku pada Keeny.
"Aku ... nggak ... apa ... apa." Gagal. Aku tidak sanggup berpura-pura.
"Mbak kenapa?" Keeny mulai panik.
"Keen, bi ... sa ... kah ... kita ... pulang ... sekarang?"
"Ya, ya, tentu saja." Keeny membantuku bangun. Aku berjalan pelan-pelan sampai kemudian aku melewati meja kedua orang itu. Aku berhenti sejenak. Keeny sekarang pasti tahu alasanku menangis.
Aku mengusap air mataku dan menarik napas sebelum berbicara. "Aku mungkin akan terus-menerus menjadi wanita bodoh yang percaya dengan pria brengsek sepertimu jika aku tidak melihatmu di depan mataku hari ini. Tapi, semesta masih baik padaku."
Darian berdiri di hadapanku. Wajahnya terlihat panik. "Del, aku bisa jelasin."
"Dar, kita udahan aja, ya. Aku tidak bisa terus-terusan menjadi wanita berhati baik yang merelakan perasaannya sendiri, sementara prianya bersama wanita lain."
"Del, tolong dengerin aku."
"Keen, ayo kita pergi."
"Brengsek lo Dar." Keeny mengepalkan tangannya, seperti hendak memukul Darian tapi kutahan. Keeny kemudian menggandeng tangan kananku, kemudian membawaku pergi dari tempat ini.
Di luar, aku menangis lagi. Hujan sudah reda sekarang. Keeny menepuk-nepuk pelan pundakku.
"Keen, bisakah kamu mengantarku pulang?" Keeny mengangguk tanpa berkata apapun.
Dalam perjalanan pulang, Keeny berbelok ke sebuah mini market. Dia memintaku menunggu sejenak. Saat dia keluar, dia membawa kantong plastik berisi sesuatu yang diberikannya padaku.
"Apa ini?" tanyaku.
"Cokelat. Aku tidak bisa banyak membantu Mbak Del saat ini. Cokelat ini mungkin bisa."
"Makasih, Keen."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Tentang Odel dan Zona Nyaman
General FictionNamaku Odel. Umur 27 tahun. Jomblo dari lahir. Introvert. Ditanya ibu terus soal kapan nikah. Gimana sih caranya nyari jodoh? Yuk cek cerita Odel! Jadi saksi perjuangan Odel dalam hidupnya dan untuk dapetin cinta.