Hari-hari selanjutnya, aku banyak menghabiskan waktu bersama kakek-nenek dan Eko. Eko kerap datang pada sore hari saat pekerjaannya sudah selesai. Beberapa hari belakangan, kami disibukkan dengan menata ulang tanaman-tanaman agar halaman rumah terlihat lebih rapi.
Aku juga membeli beberapa cat untuk mengecat pagar depan rumah dan memberi sedikit dekorasi. Setelah selesai, hasilnya sungguh memuaskan. Rumah kakek dan nenek sudah seperti kafe yang penuh dengan tanaman dan bunga serta lampu taman yang manis di sudut halaman.
"Nah, kalau begini kan lebih cantik jadinya," kataku sambil memotret suasana taman dengan kamera. Kemudian kami duduk bersama meminum kopi dan teh sambil menikmati senja. Sungguh sempurna.
"Jadi, lebih suka tinggal di mana? Di kampung atau di kota?" Tanya Eko setelah kami hanya tinggal berdua karena kakek dan nenek masuk ke dalam rumah.
"Mmm, kurasa aku suka keduanya. Di kota, aku seperti menemukan kehidupanku lagi dan sedang nyaman dengan kondisi itu. Di kampung, aku suka karena ada kakek-nenek dan ingatan tentang masa kecilku, terlebih saat ayah masih ada." Eko mengangguk-angguk. "Kalau kamu?" Aku balik bertanya.
"Kamu pasti sudah tahu jawabannya. Aku lebih suka tinggal di kampung sini. Di kota, terlalu banyak hal yang membuatku susah." Eko terkekeh tanpa menjelaskan hal semacam apa yang membuatnya susah. Mungkinkah ini berkaitan dengan pengalaman buruk dalam mencintai seseorang? Tapi aku sungkan untuk bertanya padanya.
"Well, jika dengan tinggal di kampung membuatmu lebih bahagia, itu bagus." Kataku akhirnya.
"Jadi, kamu nggak mau memperpanjang masa liburmu di sini?"
"Tidak. Aku merasa tidak enak pada bosku sudah ambil libur seminggu. Lagi pula, ibu di rumah sendiri."
Sisa sore itu kami lanjutkan dengan mengobrol apapun. Lebih banyak hal remeh-temeh atau kenangan-kenangan masa kecil kami masing-masing. Kami tidak menghabiskan masa kecil bersama, namun kami memiliki beberapa kesamaan. Seperti kartun ataupun sinetron masa kecil yang kami sukai.
***
Seminggu berlalu dengan begitu cepat. Senin pagi sekitar pukul 10.00, Eko mengantarku ke stasiun. Dia juga membawakanku oleh-oleh. Katanya, untuk ibu di rumah.
Ibu mungkin menanyakan banyak hal tentang siapa Eko. Barangkali ibu mulai berpikir tentang pernikahanku lagi. Barangkali dengan kehadiran nama Eko dengan titipan oleh-oleh untuk ibu bisa menjadi kandidat terkuat untuk dijadikan mantu. Kiranya, jika ibu benar-benar kembali memikirkan hal itu, dia akan bertanya banyak hal mengenai Eko, seperti berapa usianya, apa pekerjaannya, bagaimana sifat dan penampilannya, dan mungkin sampai pada pertanyaan berapa banyak tahi lalat yang dimiliki Eko di wajahnya. Sungguh, ibu terkadang susah ditebak dengan pertanyaan-pertanyaan nyelenehnya.
Aku baru ingat, beberapa hari aku tidak membuka ponselku. Ibu dan Keefe tahu di mana aku berada, jadi mereka mungkin tidak menghubungiku. Lainnya, kurasa aku tidak punya urusan bisnis. Semua pesanan boneka rajut sudah kuselesaikan sebelum aku ke rumah kakek-nenek.
Aku menyalakan ponselku. Di luar dugaan, ada banyak telepon tak terangkat dari Keefe. Satu hari yang lalu. Ibu juga. Apa yang terjadi? Kalau ada sesuatu yang mendesak, ibu pasti menelepon kakek atau nenek. Tapi, kemarin tidak ada telepon. Dadaku tiba-tiba terasa sesak. Tiba-tiba muncul kekhawatiran yang tidak kumengerti.
Akhirnya, aku menelepon Keefe.
Telepon pertama terabaikan. Kekhawatiranku semakin bertambah. Telepon kedua tak diangkat. Telepon ketiga baru diangkat.
"Hallo Keefe." Kataku.
"Hallo mbak Odel." Itu suara Keeny bukan Keefe. Suaranya sedikit parau, tidak seceria biasanya.
"Keen, ada apa?"
"Mama meninggal kemarin, mbak Del."
Aku menangis dalam diam saat itu juga. Aku tak ingin menarik perhatian banyak orang di dalam kereta. Ada rasa bersalah yang merayap ke dalam hatiku. Bodohnya aku yang terlalu egois mengabaikan orang-orang di sekitarku untuk kepentinganku sendiri. Padahal, aku seharusnya bisa mengecek ponselku barang 5 menit setiap jam. Itu tidak akan terlalu mengganggu. Kalau saja aku tahu tepat waktu, mungkin aku akan bisa di samping Keefe untuk menemaninya melalui masa sulitnya. Mungkin aku juga akan bisa melihat tante untuk yang terakhir kalinya.
•••
KAMU SEDANG MEMBACA
Tentang Odel dan Zona Nyaman
General FictionNamaku Odel. Umur 27 tahun. Jomblo dari lahir. Introvert. Ditanya ibu terus soal kapan nikah. Gimana sih caranya nyari jodoh? Yuk cek cerita Odel! Jadi saksi perjuangan Odel dalam hidupnya dan untuk dapetin cinta.