Akhirnya, kami berangkat ke pernikahan Eko bertiga. Ya, bertiga. Keeny tiba-tiba saja merengek ingin ikut. Dia bilang, dia bosan dengan urusan bisnisnya dan butuh refreshing. Entah dia dapat ide darimana kalau datang ke nikahan orang yang bahkan tak dikenalnya bisa menjadi hiburan untuknya.
"Oke, ayo berangkat mas Keefe." Ya, dia yang paling bersemangat di antara kami bertiga. Keefe menyetir, Keeny di sampingnya, aku di belakang. Mereka berdua akan menginap di hotel sekitar gedung resepsi, sementara aku akan menginap di tempat kakek-nenekku.
"Kamu bahkan nggak kenal Eko." Timpal Keefe.
"Ah, nanti juga kenal. Cuman urusan waktu aja." Katanya, penuh percaya diri. Aku hanya tertawa di belakang.
Sepanjang perjalanan, kami bernyanyi. Keeny yang paling keras. Hingga setengah perjalanan, mereka bergantian menyetir, sementara aku tertidur di kursi belakang.
***
Kami akhirnya sampai di rumah kakek nenek setelah sekitar 4 jam perjalanan. Melihat kami datang, wajah mereka menjadi sumringah sekaligus bingung. Mereka pasti bingung dengan kehadiran Keefe dan Keeny karena aku belum memberitahu mereka soal Keefe dan Keeny.
"Eko akan menikah besok. Apakah setelah ini giliran cucu nenek?" Nenekku bergurau, tapi cukup untuk membuatku salah tingkah.
"Nenek, baru juga cucunya dateng udah ditodong pertanyaan aja." Dia memicingkan mata padaku, menunggu penjelasanku. "Nek, ini teman Odel, yang di sebelah kananku Keefe dan ini adiknya Keeny. Keefe juga dapat undangan pernikahan Eko, jadi sekalian aja kami berangkat bareng. Kalo Keeny, dia ngikut aja karena bingung nggak ada kegiatan." Kami terkekeh.
"Hai, kek, nek. Saya Keefe."
"Saya Keeny." Mereka bergantian bersalaman.
"Wah, kalian berdua ganteng-ganteng ya." Puji nenekku. "Tapi tentu tidak seganteng suamiku." Katanya sambil melihat wajah kakekku yang berada di sampingnya dengan penuh cinta. Yang dipuji langsung meraih tangan nenek dan mengelusnya. Kebaikan apa yang dulu dilakukan kakek-neneknya hingga mereka bisa mendapatkan cinta yang sama besarnya, cinta yang setara sepanjang hidup mereka. Tanyaku dalam hati, berharap aku akan mendapatkan cinta yang serupa.
Aku memasukkan barang-barangku ke kamar yang biasanya kuhuni saat menginap. Sementara mereka berempat mengobrol di teras, aku membuatkan minum dan membawa beberapa camilan untuk kami.
Saat aku datang, obrolan mereka terasa begitu seru. Aku seperti orang yang tak diundang.
"Kek, nek, cerita dong gimana mbak Odel dulu waktu kecil." Keeny tiba-tiba bertanya. Aku memelototkan mata pada Keeny. Aku pasti akan bikin perhitungan padanya.
"Baiklah," kata kakek, seperti akan memulai ceritanya.
"Kek, please, jangan. Jangan yang itu, please." Aku memohon. Tapi aku tahu betul permohonanku tak akan didengar. Mereka akan menceritakan semua masa kecilku secara detail, tanpa ada yang tertinggal.
"Odel sewaktu kecil tu cukup bandel." Aku mendengus keras-keras sebagai respon atas permulaan cerita kehidupanku. Mereka tidak peduli dan tetap melanjutkan ceritaku.
"Dulu pernah dia melempar batu ke kepala seorang anak laki-laki, pernah mendorong seorang anak laki-laki hingga jatuh, pernah mengejar seorang anak laki-laki dengan sapu, mungkin masih banyak kejadian serupa hanya saja kami tidak mendengarnya."
"Itu karena mereka anak laki-laki nakal. Tidak banyak kok, hanya 3 anak. Itu-itu saja anak yang nakal." Berontakku, mencoba membela diri. Tapi sekali lagi, mereka tidak peduli. Tidak ada yang berpihak padaku saat ini.
Kakek melanjutkan, "Hingga suatu hari, salah seorang orangtua anak yang dijahili Odel datang. Odel tahu karena salah satu temannya melihat dari jauh orangtua anak itu berjalan menuju sekolah." Kakek berhenti sejenak. Keefe dan Keeny masih memperhatikan dengan seksama, sesekali melirikku, tentu seperti ingin meledekku.
Seperti sudah tahu kapan waktunya harus buka suara, nenek melanjutkan, "Lalu, karena ketakutan akan dimarahi orangtua anak itu, Odel kabur. Dia menyelinap keluar dari halaman sekolah. Sekolah Odel tidak jauh dari sini. Sampai rumah wajahnya pucat. Rok dan kaos kakinya basah. Coba tebak kenapa?" Nenek tersenyum meledek ke arahku.
"Ngompol!" Jawab Keefe dan Keeny bersamaan. Lalu mereka berempat tertawa, meledekku. Aku merengut. Aku berjanji pada diriku sendiri, aku tak akan membawa siapapun ke rumah kakek-nenek setelah ini.
"Setelah itu," nenek melanjutkan lagi. "Setelah itu, dia mandi dan ganti baju. Saat itu, aku hanya mengikuti langkahnya karena dia belum mau cerita. Dia hanya menangis. Odel tiba-tiba mengambil tas besar yang biasanya dibawa saat ikut piknik dan mengepak baju-bajunya. Aku bertanya, 'sedang apa kamu, sayang?' Dia bilang 'aku mau kabur, nek'.
"Aku kemudian mendekatinya dan dia menangis tersedu-sedu. Setelah agak tenang, dia cerita bahwa dia baru saja melempar kepala seorang anak laki-laki dengan batu. Kena bagian dahi. Tadinya hanya mau menakut-nakuti. Tapi tangannya kelepasan. Kata Odel batunya kecil, tapi namanya batu tetap aja dahi anak itu berdarah, tidak banyak juga. Darahnya cukup dibersihkan kemudian diobati, sehari-dua hari sudah sembuh. Tapi Odel tetap ketakutan dan bilang, 'Nek, Odel harus kabur. Odel nggak mau dipenjara'.
"Aku langsung menelepon kakek agar izin pulang cepat untuk menjaga Odel di rumah karena aku perlu segera ke sekolah untuk mencari tahu masalahnya.
"Sampai sekolah, aku bertemu anak itu. Dia tidak apa-apa. Lukanya sudah diobati. Bahkan dia tertawa-tawa dengan temannya. Kemudian, orangtuanya juga ada di sana. Aku berbicara pada ibunya. Dia malahan mengira anaknya terjatuh dan itu sudah biasa karena bocah itu memang bandel. Lantas, alasan dia yang sebenarnya ke sekolah. Jawaban ibunya membuatku ingin tertawa saat itu juga tapi kutahan."
"Apa nek? Apa?" Tanya Keefe tidak sabar.
"Ibu anak itu kebetulan saja datang ke sekolah di hari yang sama saat Odel melempar kepala anak itu dengan batu. Sebenarnya, dia hanya mau melunasi uang sekolah yang menunggak." Semuanya tertawa. Keefe dan Keeny tertawa terbahak-bahak, sangat puas. Aku yakin setelah ini mereka punya 'amunisi' baru untuk menjahiliku.
Setelah itu, nenek masuk ke dalam rumah, sementara kakek pergi ke rumah tetangga untuk menghadiri undangan. Aku ditinggalkan bersama Keefe dan Keeny.
"Kurasa, kita harus berhati-hati dengan Odel, Keen. Jangan membuatnya marah." Kata Keefe pura-pura ketakutan.
"Bener, aku nggak nyangka mbak Del yang kalem, ternyata cukup seram juga." Keeny pura-pura bergidik.
"Sialan kalian berdua." Mereka tertawa.
Sore hari, sekitar pukul lima, mereka berpamitan untuk ke hotel. Mereka menawarkan diri untuk mengantarku ke tempat resepsi karena sebagai bridesmaid, aku harus datang pagi-pagi. Aku bilang bahwa akan ada dari pihak Eko yang akan menjemputku. Sebenarnya, itu hanya alasanku saja. Aku hanya memberi waktu mereka untuk beristirahat lebih lama setelah perjalanan panjang. Akan ada tukang ojek langganan nenek yang akan mengantarku esok hari.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Tentang Odel dan Zona Nyaman
General FictionNamaku Odel. Umur 27 tahun. Jomblo dari lahir. Introvert. Ditanya ibu terus soal kapan nikah. Gimana sih caranya nyari jodoh? Yuk cek cerita Odel! Jadi saksi perjuangan Odel dalam hidupnya dan untuk dapetin cinta.