9. Keonaran

33 1 0
                                    


Saat aku ke meja Sekar untuk memberikan dokumen klien, tak sengaja kulihat notifikasi dari ponselnya yang ditinggal di mejanya sementara dia ke toilet. Tampak nama akun media sosial yang tak asing bagiku.

Aku tahu ini lancang, tapi kecurigaanku semakin besar. Ponselnya terkunci. Aku mencoba beberapa pola sandi termudah yang biasanya digunakan orang, termasuk diriku. Berhasil. Ponselnya terbuka. Aku membuka akun media sosialnya. Akun yang kubuka saat ini adalah miliknya. Aku mencoba mencari tahu akun media sosial lainnya. Ada. Dia punya akun lain. Aku lantas mengecek akun yang dulu ditunjukkan Keefe padaku, akun si penyebar gosip. Berkali-kali aku memastikannya dan kemudian mengecek DM. Rasanya dadaku sesak seketika. Pesan yang dia sebarkan belum dihapusnya.

Tak berapa lama, Sekar kembali ke mejanya. Dia tersenyum ke arahku.

"Jadi kamu yang menyebar gosip murahan itu?"

"Apa maksudmu Del?" Tanyanya pura-pura tak tahu.

"Kamu itu dibalik akun @boram123 yang mengirim fotoku dan Pak Keefe lalu menyebarkan rumor murahan itu, kan?"

"Maksudmu apa?" Aku menunjukkan media sosialnya yang telah kubuka.

"Kamu membuka ponselku?"

Kekesalanku memuncak seketika. Refleks yang tak pernah kulakukan, tanganku menarik rambut Sekar.

"Gara-gara kamu, hidupku susah selama berhari-hari." Kutarik rambutnya semakin kencang. Tak terima, dia membalasnya. Lalu, keributan yang kami berdua sebabkan menarik perhatian orang kantor. Darian datang dan cepat-cepat melerai kami. Keefe datang tak lama setelahnya. Alhasil, aku dan Sekar diberi surat peringatan. Keonaran yang kami sebabkan terlalu besar untuk perusahaan yang sebelumnya tenang-tenang saja. Kami disuruh berbaikan. Tentu saja kami melakukannya dengan terpaksa di depan Darian dan Keefe.

***

"Bagaimana perasaanmu sekarang?" Tanya Keefe ketika dia mengantarku pulang. Aku bersikeras menolaknya, tapi dia terus menerus memaksaku.

"Entahlah. Seumur hidupku, aku tidak tidak pernah bermasalah dengan seseorang. Tapi hari ini, aku bahkan menjambak rambut seseorang. Entah darimana kudapatkan keberanian itu. Apa aku keterlaluan?"

"Wajar sih, kalau kamu kesal."

"Dengan menjambak rambut seseorang?"

Keefe mengangkat kedua bahunya. "Kalau aku jadi kamu, mungkin aku akan menamparnya." Aku terkekeh.

"Terdengar lebih mengerikan." Keefe tertawa.

"Apa yang akan kamu lakukan setelah ini?"

"Yang jelas, perlakuanku akan jauh berbeda pada Sekar. Tapi, aku akan tetap profesional dalam bekerja. Terdengar sulit, sih. Aku akan mencoba sebisaku."

"Thanks, Del." Aku mengangguk.

***

Esok harinya, seperti sudah bisa ditebak, ada kecanggungan yang sangat jelas antara aku dan Sekar. Kami tidak saling bicara, tentu saja.

Tapi, Darian justru melibatkan kami dalam diskusi di mana aku dan Sekar harus banyak berinteraksi. Sekar terlihat seperti biasanya, seolah tak pernah terjadi pertengkaran. Atau mungkin dia sering berbuat onar sebelumnya, sehingga dia menjadi terbiasa? Atau dia memang pintar berpura-pura dan memerankan perannya dengan baik? Entahlah.

Setelah melihat sikapnya, aku pun memutuskan untuk mengabaikan kecanggunganku. Selebihnya, diskusi kami berjalan baik, seolah-olah semuanya baik-baik saja dari awal. Rasanya sedikit lega dengan tidak membiarkan kejengkelanku menetap berlarut-larut.

Setelah rapat usai, aku bersiap-siap pulang. Sekar mendahuluiku. Dia berpamitan dengan lainnya, tapi tidak denganku. Aku tak ada masalah dengan hal itu.

Saat aku menunggu bus di depan halte kantor, Darian tiba-tiba menghampiriku. Napasnya terlihat tersengal-sengal, sepertinya dia baru berlari.

"Ada apa, Dar?" Aku menunggunya sekitar 2 menit untuk dia mengatur napasnya.

"Apa tadi waktu diskusi aku membuatmu susah?" Tanyanta. Aku tahu yang dimaksudnya adalah melibatkan aku dan Sekar dalam diskusi. Kurasa tak ada masalah, itu hanya profesionalitas kerja. Mengapa dia seolah merasa bersalah?

"Tidak. Awalnya aku memang merasa kesulitan, tapi kemudian aku bisa mengatasinya. Aku jadi tidak terlalu canggung."

"Baguslah." Dia diam sejenak, terlihat sedang mempertimbangkan sesuatu. "Mmm, Del. Besok bisa makan siang bareng? Tapi, kalau kamu keberatan, aku paham jika kamu menolak."

"Boleh." Kataku tanpa berpikir panjang. "Lagipula, aku sudah tidak peduli lagi dengan gosip apapun. Orang kantor pasti takut jika menggosipkanku lagi setelah insiden aku menjambak rambut Sekar kemarin." Candaku. Darian sedikit terkekeh.

"Oke. Jadi, sampai jumpa besok. Aku balik ke kantor lagi."

Darian kemudian berjalan menuju kantor, berjalan perlahan tak seperti saat dia datang tadi.

***

Tentang Odel dan Zona NyamanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang