Keeny terlihat panik mengetahui papanya akan segera pindah ke Australia. Sebaliknya, Keefe terlihat tenang.
"Ya, aku sudah tahu dari lama." Kata Keefe yang tentunya membuat Keeny terkejut.
"What? Maksud mas Keefe?"
"Ya kamu kan selalu menghindar kalau aku bahas soal papa. Gimana aku ngasih tahunya coba." Keeny mendesis sebentar sebelum dia berdiri tepat di depan Keefe.
"Ayo ke rumah papa." Dia menyeret tangan Keefe, memintanya untuk menuruti permintaannya. Tapi Keefe bertahan di tempat duduknya.
"Apa sih. Papa kan berangkatnya masih nanti sore. Masih lama."
"Gila kamu mas. Papa mau pindah ke Australia, lho." Keeny tetap bersikeras menyeret tangan Keefe. Aku hanya menonton kelakuan mereka yang seperti anak kecil.
"Oke. Tapi aku mandi dulu." Keefe akhirnya menyerah. "Lagian badanmu bau keringet tuh." Keeny mencium bau tubuhnya sendiri, lantas mengerutkan hidungnya.
"Oke, 15 menit. Nggak lebih. Kita langsung ke rumah papa." Keeny bersikeras. "Mbak Del tunggu di sini dulu, ya. Mbak Del juga ikut ke rumah papa." Aku mengangguk pasrah. Keeny lalu berlari kecil-kecil menuju kamarnya.
"Tuh anak kenapa sih Del. Mendadak banget berubahnya." Tanya Keefe heran.
"Bagus dong Keefe. Artinya Keeny sudah maafin om Pandu. Ini mungkin karena surat dari om."
"Thanks ya Del." Aku tersenyum, lalu mengangguk.
"Buruan siap-siap. Mumpung Keeny bersemangat mau ketemu om Pandu."
"Siap. Segera." Keefe pun menuju kamarnya untuk mandi.
***
"Pa...pa...papa." Teriak Keeny sambil mengetuk pintu dengan tergesa-gesa begitu kami sampai di rumah om Pandu.
Tak lama kemudian, om Pandu membukanya dan melihat kami dengan muka bingungnya.
"Kalian ada apa pagi-pagi kemari?" Tanyanya. Keefe hanya mengangkat kedua bahunya dan menunjuk Keeny.
"Papa mau pindah ke Australia?" Tanya Keeny gusar. Kemudian om Pandu mengangguk-angguk. Tentu dia mengerti bahwa surat itu menjadi pemicunya.
"Iya. Papa berangkat nanti sore." Kata om Pandu, terlihat tenang.
"Papa pasti bercanda." Kemudian Keeny memeluk papanya. Om Pandu terkejut, namun dia membalas pelukan Keeny dengan erat. Tanpa sepatah kata, kuyakin anak dan ayah itu telah berdamai. "Kenapa papa ninggalin Keeny? Maafin Keeny yang terlambat datang ke papa." Keeny memeluknya lebih erat lagi.
"Papa yang minta maaf karena tidak berjuang lebih keras lagi untuk meyakinkanmu atas kesalahpahaman kita."
"Ehem." Keefe berdeham. Ia pun menghambur dalam pelukan mereka. Jujur, ini adalah pemandangan termanis yang pernah kusaksikan langsung selama hidupku.
5 menit kemudian, mereka melepas pelukan. "Kita hampir lupa di sini ada Odel."
"Santai aja, om." Balasku.
Om Pandu langsung membawa kami ke ruang makan. Di sana, hidung kami telah dimanjakan oleh aroma berbagai jenis makanan yang telah tersaji.
"Firasat baikku tidak salah. Kita benar-benar kedatangan tamu istimewa." Kata tante Dewi menyambut kami.
Keeny pun menuju tante Dewi. "Tante, terima kasih sudah menjaga papa. Dan maaf atas kesalahpahaman yang sudah terlalu lama."
"It's ok Keen. Tante senang kamu akhirnya menjadi dewasa dan belajar."
Tante Dewi kemudian juga memanggil si kembar Sheila dan Sherly ke meja makan. "Sheila, Sherly, ayo kemari. Lihat, ada mas Keeny datang nih."
Tak lama kemudian, mereka muncul ke ruang makan dan mendekat pada Keeny. Mereka memberi perhatian lebih pada Keeny dibanding padaku dan Keefe. Barangkali itu karena mereka jarang bertemu dengan Keeny. Keduanya kemudian bersikeras untuk duduk di samping kanan dan kiri Keeny.
"Ayo semuanya makan. Anggap rumah sendiri. Bisa dibilang ini makanan terakhir yang bisa tante masak untuk kalian di tahun ini. Tapi tahun depan, jika masih ada kesempatan, tante masih bisa memasakkan kalian makanan enak." Kata tante Dewi. Aku dan Keefe bersorak. Sementara Keeny terlihat bingung.
"Tahun depan? Papa dan tante Dewi bukannya mau pindah ke Australia?"
"Iya, tapi nggak selamanya. Setahun aja udah cukup, Keen." Jelas om Pandu.
"Keeny kira selamanya." Keeny terlihat lega mendengar kabar itu.
***
Setelah makan, kami membantu Om Pandu dan tante Dewi mengepak barang-barangnya. Sebenarnya tidak begitu banyak membantu karena pada kenyataannya, mereka telah berkemas jauh-jauh hari.
"Pa, makasih ya kado spesial yang papa kasih buat Keeny." Kata Keeny saat kami beristirahat. Om Pandu tersenyum dan mengangguk.
"Kado?" Tanya Keefe curiga.
Keeny kemudian segera menjelaskan. "Iya, di surat papa, papa nyantumin satu akun Google Drive atas nama Keeny. Di dalamnya, banyak foto-foto masa kecilku, mas Keefe, mama dan papa. Bahkan mungkin mama nggak punya dan aku juga nggak pernah lihat."
"Bentar, bentar. Pa, kenapa Keefe nggak dikasih kado yang sama." Protes Keefe.
Om Pandu berusaha mengalihkan pembicaraan, tapi agaknya tidak berhasil. "Mau bagaimana lagi. Keeny ngambek bertahun-tahun sama papa. Jadi papa harus mencari cara terbaik untuk membujuknya. Uang dan kekayaan tidak akan mempan. Jadi, papa terpikirkan cara ini. Tapi di saat yang sama, papa lupa kamu."
"Ah, papa nggak adil. Keefe udah jadi anak baik tapi nggak dapet apa-apa." Kami pun tertawa.
Berada di antara kehangatan yang ditunjukkan keluarga ini, aku tiba-tiba teringat ayah. Bagaimana jika dia masih ada di antara aku dan ibu. Hidup kami pastilah akan lengkap. Ayah akan juga akan memberiku hadiah-hadiah manis seperti yang om Pandu berikan pada Keeny. Aku mungkin akan sering ngobrol bersamanya di teras rumah. Dia mungkin akan mengajariku melukis. Kami akan melakukan banyak hal bersama.
Lamunan tentang ayah membuat pikiranku sejenak pergi dari keceriaan keluarga ini sebelum akhirnya Keeny menepuk pundakku dan lamunanku pun buyar.
***
Setelah kami mengantar om Pandu dan tante Dewi ke bandara, Keeny mengantarku pulang.
"Mbak Del tahu apa yang membuatku bersyukur?"
"Apa?"
"Mbak Del mencegahku merobek surat itu. Jujur saja, kalau mbak Del nggak ada saat itu, aku sudah mau robek surat itu. Aku tidak melakukannya karena aku masih merasa bersalah padamu.
"Tapi aku benar-benar bersyukur menurutimu. Jadi, aku membaca semua tulisan papa. Dan di sana, papa juga memberiku kado yang tak ternilai harganya. Papa mengumpulkan foto-foto dan videoku dan mas Keefe saat kami masih kecil yang belum pernah kulihat sebelumnya. Mungkin itu juga yang membuat hatiku terasa ringan untuk berdamai dengan papa. Rasanya aku ingin menangis karena begitu bahagia."
"Mulai sekarang aku akan mendengarkan kata-katamu mbak Del." Keeny melihatku beberapa saat sebelum kembali fokus menyetir.
"Kamu tahu, terkadang aku konyol. Tidak sepenuhnya benar." Kataku sambil melambaikan tanganku di udara.
"Tidak masalah, jika melakukan hal yang kamu sarankan pada akhirnya membuatku bahagia."
Kami sampai di depan rumahku beberapa saat kemudian. Saat aku hendak turun, Keeny menahanku sejenak.
"Mbak Del."
"Hmm?"
"Nge-date sama aku yuk." Aku terperanjat sesaat. Kupikir Keeny hanya bercanda. Tapi, saat aku melihatnya, aku tak melihat ada keraguan saat dia mengatakannya. Aku tidak segera memahami apakah date yang dimaksudnya adalah seperti sepasang pria dan wanita yang saling menyukai ataukah hanya ajakan keakraban, seperti teman.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Tentang Odel dan Zona Nyaman
General FictionNamaku Odel. Umur 27 tahun. Jomblo dari lahir. Introvert. Ditanya ibu terus soal kapan nikah. Gimana sih caranya nyari jodoh? Yuk cek cerita Odel! Jadi saksi perjuangan Odel dalam hidupnya dan untuk dapetin cinta.