46. Firasat

1.4K 148 36
                                    


Firasat aneh Restu rasakan beberapa saat setelah mobil bergerak menuju jalan tol yang akan membawa mereka ke Sukabumi. Tubuhnya lemas karena sedikit saja makanan bisa ia telan. Tangannya meraih susu kemasan yang sempat ia ambil dari kulkas. Diseruputnya sedikit. Tiba-tiba perutnya mengeras. Sebenarnya sudah sejak tadi pagi ia merasakannya sesekali. Karena peristiwa yang membuat kalang kabut tadi, ia tak sempat memperhatikan. Sekarang bukan cuma kencang, tapi juga semakin keras dan disertai nyeri. Sampai akhirnya ia tak tahan dan menjerit.

"Bu, kenapa Bu?" tanya sopir mobil seraya menoleh. Melihat Restu meringis sambil memegang perut, seketika ia panik. "Wah, jangan-jangan sudah waktunya. Gimana, Bu, masih tahan sampai Sukabumi?"

Restu tak dapat menjawab. Ia cuma mendesis kesakitan. Sopir menghentikan mobil sebelum mencapai jalan tol.

"Pin-pinjam teleponnya, Pak," kata Restu terbata di antara rintihan.

Pak Sopir menyerahkan telepon. "Iya, Bu. Tolong hubungi bapak yang menyewa kalau kita berubah tujuan supaya saya tidak disalahkan."

Restu mengangguk. Saat nyerinya mereda, ia membuka telepon itu. Sejenak ia termangu. Siapa yang akan ia hubungi? Kedua orang tuanya? Oh, rasanya ia tak sanggup melihat wajah sang ayah setelah mengetahui apa yang lelaki itu perbuat. Suaminya apalagi. Tak sudi! Farid? Ia tidak hafal nomornya. Ia menyimpan nomor lelaki itu di ponsel yang ia tinggalkan.

"Bapak punya nomornya Pak Farid?"

"Oh, yang menelepon tadi? Ada Bu. Tidak saya simpan, tapi ada di daftar panggilan. Beliau yang terakhir menelepon. Ibu buka saja."

Restu menurut. Ia menemukan nomor Farid. Ia hafal bagian depan dan belakang nomor itu. Jemarinya bergerak hendak menekan. Entah mengapa, tiba-tiba saja jari itu membeku di udara. Mendadak hatinya sangat enggan, walau Faridlah satu-satunya orang yang membantu saat ini. Jari Restu malah menekan nomor lain padahal ia tahu orang itu tidak akan menerima panggilannya.

Terdengar nada dering sekali. Restu tidak berharap diangkat. Namun, saat suara lembut itu terdengar, tangisnya runtuh.

"Ini aku," ratapnya. Ia menyangka lelaki itu akan memutus sambungan telepon. Ternyata tidak.

"Res, kamu di mana?" tanya lelaki itu dengan nada cemas yang kental.

Serasa beribu beban terangkat dari pundak saat suara itu menyapa. Kukuh tetap mengenali suaranya walau ia menelepon dengan nomor asing. "Aku di mobil, mau ke Sukabumi."

"Mau apa ke Sukabumi? Kenapa menangis begitu?"

Suara panik itu membuat hatinya hangat. "Aku disuruh mengungsi sejenak ...." Restu tidak melanjutkan kata-kata karena Kukuh memotong dengan nada keras.

"Jangaaaan! Percaya saja padaku. Ayo aktifkan share location! Orangku akan menjemputmu. Jangan hubungi orang lain, mengerti?"

Restu tertegun. Apakah Kukuh sudah tahu?

"Kamu mengerti? Restu! Dengar aku! Jangan menghubungi orang lain, mengerti?"

Senyum Restu terkembang dalam tangis. Hatinya benar-benar meleleh. Kukuh tidak pernah berhenti memedulikan dirinya. "Iya, aku mengerti. Ini kusuruh Pak Sopir putar balik."

Rasa nyeri kembali mendera. Restu mendesis untuk menahannya. Tentu saja Kukuh semakin kalang kabut di seberang sana. "Aku udah tanda-tanda ... sakit banget!"

"Oke. Jangan panik. Tenang saja kamu di situ. Hubungkan hapenya dengan charger mobil. Pastikan menyala terus sampai ketemu orang-orangku. Mengerti?"

"Mengerti. Makasih banget." Air mata Restu terus meleleh tanpa terbendung. Ia telah berkelana ke sana ke mari, terjatuh dan tersandung, lari dan berlindung di bermacam tempat. Namun akhirnya, kepada Kukuh pulalah ia menyerahkan nasib.

YasminaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang