Selalu Ada Harapan

152 23 4
                                    

Taman rumah sakit dengan pemandangan pepohonan dan bunga yang bermekaran selalu menjadi obat yang baik bagi para penghuninya.

Aruna duduk sendirian. Gadis cantik itu tengah memakai baju pasien. Ini adalah baju pasien pertama yang dia pakai. Sebenarnya tidak ada yang spesial dengan baju ini. Tapi entah mengapa Aruna terlihat sangat bahagia karena bisa memakai baju pasien yang sama seperti yang sering Juna kenakan.

Aruna melirik tangan kanannya. Ia tersenyum tipis tatkala mengingat bagaimana dia menangis karena suster kesulitan mencari pembuluh darah vena yang akan digunakan untuk memasang selang infus.

Sejak kejadian kecelakaan Juna kemarin, kesehatan Aruna mendadak drop. Gadis itu sampai tak bisa ikut memberikan donor darah untuk saudaranya. Untung saja, golongan darah Juna banyak tersedia di rumah sakit. Jadi ... Juna bisa diselamatkan. Hanya saja, pemuda tampan itu masih betah tertidur. Padahal ini sudah tiga hari berlalu sejak hari kecelakaan itu terjadi.

"Runa, elo ngapain di sini sendirian?"

Aruna menatap seorang pemuda yang baru saja datang. Seragam dan tas sekolah yang masih dia bawa menandakan bahwa pemuda itu mungkin saja tengah bolos sekolah.

"Ile, lo bolos?"

"Enggak. Gue sama Nala emang udah pulang."

"Kok bisa? Ini masih jam sekolah kan?" tanya Aruna memastikan. Pasalnya saat Aruna memutuskan untuk datang ke taman rumah sakit, gadis itu sempat melihat jam dinding yang menunjukkan pukul sembilan pagi. Dia juga merasa belum terlalu lama berada di sini. Namun, mengapa Ile tiba - tiba saja sudah pulang sekolah?

"Iya, ini emang masih jam sepuluh. Kita disuruh pulang cepat hari ini." Ile menjelaskan masih dengan berdiri. Sepertinya dia betah berdiri dibawah terik seperti itu.

"Oh, pantesan aja. Lo nggak kepanasan?" Aruna terus saja menatap Ile, titik titik keringat perlahan menyusuri wajah tampan sang sahabat.

"Panas, sih. Ayo balik. Panasnya udah nggak sehat," ajak Mile seraya mengulurkan tangan.

"Elo duluan aja, deh. Gue masih mau di sini," tolak Aruna halus. Gadis itu masih betah menikmati kesendiriannya.

"Oke, kalo ada apa - apa langsung telpon gue." Ile mengingatkan. Manik mata hitamnya terus memerhatikan keadaan Aruna. Terlihat sekali bahwa dia ragu untuk meninggalkan Runa seorang diri.

"Udah, nggak papa. Gue bisa sendiri." Aruna kembali menyuruh Ile untuk pergi. Dia menggerakan tangan sambil mengukir senyum manis agar Ile bisa meninggalkannya tanpa ragu.

Ile memilih pergi. Langkah kakinya dia seret untuk menjauh. Setelah sampai di lorong rumah sakit, Ile menghentikan langkah kakinya. Ile menatap Aruna dari jauh.

"Elo di sini ternyata. Tadi Nala nyuruh gue buat nyariin lo. Katanya ada hal penting yang harus kita tau." Bumi tersenyum, setelah kesulitan mencari Ile akhirnya pemuda itu bisa dia temukan walau dalam keadaan aneh.

"Lo ngeliatin apaan?" tanya Bumi seraya mencoba melihat apa yang dilihat oleh Ile.

"Nggak ada. Ayo, kita temuin Nala." Ile segera menghentikan aksi Bumi. Dia tidak ingin Bumi mengganggu Aruna untuk sementara waktu.

"Bentar," tolak Bumi masih penasaran dengan tingkah aneh Ile.

"Udah, ayo." Ile segera merangkul Bumi. Sengaja, agar dia bisa menyeret Bumi dan menghentikan rasa kepo yang Bumi miliki.

Bumi hanya bisa pasrah. Kaki jenjangnya mengikuti langkah kaki Ile. Mereka berdua berjalan dalam diam. Dengan tatapan datar.

***

"Kenapa, La?"

Baru saja datang, Mile langsung bertanya pada Nala. Nala yang tengah duduk sendirian sontak berdiri. Dia mengajak Ile dan Bumi untuk menjauhi ruangan Juna.

Bad Boy and Silent Princess [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang