Waktu Berjuang

158 32 7
                                    

"Mama, tunggu di sini sebentar ya.
Aruna mau angkat telpon dulu." Aruna menghentikan kursi roda Caca tepat di samping loby. Mereka berdua baru saja selesai dari musholla. Sebelum pergi kembali ke ruang rawat Juna, mereka memilih membeli makanan lebih dulu di kantin.

Caca menganggukkan kepalanya sekali. "Iya, sayang. Mama tunggu Runa di sini."

Sebelum pergi menjauh dari Caca. Aruna menyempatkan diri mengelus bahu Mama cantiknya.

Caca ikut mengusap lembut tangan kanan Aruna. Gadis kecil yang dulunya sering kali menangis karena putranya itu sudah tumbuh dewasa, cantik, baik hati dan penuh kelembutan.

Selama Aruna sibuk dengan urusannya. Caca memilih diam sambil memerhatikan keadaan sekitarnya. Tatapan matanya tiba - tiba saja mengarah pada pintu masuk. Suara sirine ambulans terdengar jelas.

"Ada dua pasien kecelakaan motor."

Mendengar informasi itu, dua dokter jaga bersama dengan dua perawat segera berlarian. Melihat itu entah mengapa Caca merasa tertarik, ia menggerakkan kursi rodanya secara perlahan.

"Semoga mereka baik - baik aja," ujarnya tulus.

Tatkala satu brankar di dorong masuk, Caca terus memerhatikan dengan seksama. Seorang pemuda dengan jaket denim itu terlihat baik - baik saja tidak ada luka luar yang serius.

"Untung aja dia gak banyak luka." Caca mengembuskan napas lega. Sebagai seorang ibu, dia terus mendoakan yang terbaik bagi pemuda yang mengalami kecelakaan itu.

Brankar kedua di dorong dengan lebih cepat. Pasien kedua ini terlihat lebih banyak luka luar, hingga baju putih yang dia kenakan sudah berlumuran darah.

Caca sempat mengalihkan pandangan tatkala melihat banyaknya darah pada pasien yang kedua. Saat melihat untuk yang kedua kalinya, Caca secara sadar mendengar suara memanggilnya, "Mama."

"Raga. Iya, itu suara Raga." Caca segera menggerakkan kursi rodanya. Karena merasa kesulitan, Caca memilih menjatuhkan tubuhnya. Ia ingin berlari guna mengejar brankar pasien yang dia rasa adalah Raga putranya.

"Ya Allah, tolong sembuhkan kaki hamba." Caca sudah menangis. Ia berulangkali memukul kakinya sendiri. Berharap ada keajaiban yang datang padanya seperti di kebanyakan sinetron yang dia tonton. Perbuatan Caca ini tentu mengundang perhatian banyak orang.

"Ibu, ibu kenapa?" tanya salah seorang perawat.

Caca tidak memberikan jawaban apapun. Ia terlalu sibuk dengan kesedihannya sendiri.

Aruna selesai dengan panggilan telponnya dari Nala. Kerumunan orang - orang itu mencuri perhatiannya. Untuk itu, Aruna segera berlari guna membelah kerumunan yang ada.

"Mama!" Aruna berteriak kaget.

Ia segera mendekati Caca seraya memegang tangan Caca. "Mama, mama kenapa?" tanya Aruna kebingungan. Berita dari Nala tadi sudah membuat dirinya syok, ditambah dengan Caca yang tiba - tiba saja menangis dan sudah terduduk di lantai.

"Aruna, tadi Mama denger Raga manggil Mama sayang. Mama mau ke tempat Raga, tapi Mama gak bisa kejar dia." Caca mengadu. Wajah yang sudah dibanjiri air mata itu tampak sangat menyedihkan.

"Sebentar, Ma. Aruna pasti bawa Mama ke Raga. Tapi untuk itu, Runa bantu Mama dulu ya buat duduk di kursi roda." Aruna berusaha berbicara selembut mungkin. Caca langsung mengikuti ucapan Aruna. Ia membiarkan gadis itu membantunya untuk kembali duduk di kursi roda.

Kerumunan tadi pun bubar dengan sendirinya. Sebelum mengantarkan Caca untuk menemui seseorang yang dia yakini sebagai Raga. Aruna memilih menyuruh salah satu perawat untuk memberi tahu Alan dan yang lain.

Bad Boy and Silent Princess [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang