Semangat Baru

318 54 112
                                    

Semingu berlalu dengan cepat. Bumi menjalani kehidupannya seorang diri. Dia terus saja menghindari Juna, Runa, Nala dan Ile. Walau terkesan menghindari ke empat orang itu. Bumi merasa begitu lega dan bahagia setelah melihat Juna bisa kembali pergi ke sekolah dua hari yang lalu.

Bumi menatap layar ponsel miliknya. Kedua matanya mengerjap perlahan. Sisa saldo di dalam tabungannya membuat tunggal maheswara itu terkejut. Tatapan matanya berubah, batinnya bergejolak. Dalam keadaan ini dia tidak mungkin meminta bantuan dari sang papa.

"Kenapa lo?"

Bumi menatap Gavin yang baru saja datang. Gavin memberikan satu botol kopi kemasan untuk Bumi. Segera, Bumi mengambil alih kopi itu dari tangan Gavin.

"Thanks kopinya," jawab Bumi. Pria itu mengembuskan nafas.

"Lagi ada beban hidup apaan lo?"

Bumi menatap Gavin. Dengan polos dia balik bertanya, "Muka gue keliatan lagi nanggung beban?"

"Pake tanya lagi. Ya jelas lah. Lo sama gue kan sama. Sama-sama beban keluarga." Gavin terbahak seraya menepuk pundak Bumi. Remaja satu ini terlihat begitu bahagia.

Ekspresi Bumi tetap tak berubah. Melihat itu, Gavin pun menghentikan kegiatan tertawa receh ala dirinya. "Lagi butuh duit?"

Pertanyaan Gavin kali ini mendapat respon positif. Dengan semangat empat lima Bumi pun merespon.

"Kok lu tau?"

"Yaelah, permasalahn dasar dari setiap manusia bermuka kusut itu cuma duit. Lo butuh berapa? Biar gue transfer."

Bumi menggeleng, "Enggak usah. Gue emang butuh duit. Tapi gue lebih butuh kerjaan."

"Oh, lo mau kerja part time. Kebetulan banget, nih, tadi gue nemu selebaran ini." Gavin menyodorkan selembar kertas pada Bumi.

"Pelayan kafe. Boleh juga nih," seru Bumi senang. Ternyata berteman dengan Gavin ada manfaatnya juga.

"Oh, ya, thanks lagi ya, Vin." Gavin hanya mengangguk singkat. Pemuda itu kini sibuk dengan ponsel miliknya.

Melihat Gavin yang sibuk sendiri, Bumi jadi ikutan sibuk dengan pikirannya sendiri. Tiba-tiba saja dia membandingkan hidupnya dengan hidup Gavin. Selama mengenal seorang Gavin, Bumi hanya bisa melihat Gavin dengan gaya hidup mewahnya. Gavin tidak pernah kekurangan uang, dia selalu tersenyum dan sering kali mentraktir teman-temannya. Tanpa sadar mulut Bumi melontarkan satu pernyataan.

"Hidup lo enak, ya, Vin. Pasti lo di sayang banget sama orang tua lo."

Gavin terdiam. Gerakan tangannya pun terhenti. Dengan sekali gerakan Gavin menatap Bumi dengan tatapan yang sulit diartikan. "Nggak semua hal yang lo liat sesuai sama apa yang terjadi. Kadang, orang harus pura-pura bahagia sampe bikin orang lain iri."

"Ha?" mulut Bumi terbuka sempurna. Jujur, perkataan Gavin sama sekali tak bisa dia cerna dengan baik.

"Nggak usah ha he ho lu ah. Berasa liat gembel tau nggak. Gue cuma bercanda. Gitu aja lo anggap serius." Gavin tersenyum tanpa beban seolah sudah terbiasa mengendalikan keadaan.

Bumi hanya menganggukkan kepalanya. Seolah mengerti dengan maksud ucapan Gavin. Keduanya pun berjalan beriringan menuju kelas setelah bel sekolah terdengar nyaring. Dalam diam kedua manusia itu sibuk dengan pikirannya sendiri.

Gavin menghentikan langkah kakinya. Sorot matanya tertuju pada seorang siswa yang terlihat tengah mengobrol dengan seorang laki-laki. Mereka berdua terlihat begitu akrab. Sepertinya mereka berdua adalah kakak dan adik.

Melihat keakraban itu tanpa sadar kedua tangan Gavin mengepal dengan kuat. Tatapan matanya penuh dengan amarah dan kesedihan dalam satu waktu. Sosok yang selalu bahagia ini sebenarnya menyimpan begitu banyak luka. Luka yang sebenarnya bisa disembuhkan jika saja Gavin mau sedikit melunakkan hatinya yang sekeras batu.

Bad Boy and Silent Princess [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang