Waktu Adalah Obat

139 33 5
                                    

Satu bulan berlalu dengan cepat. Arjuna sudah bisa kembali ke sekolah. Begitupun dengan yang lain. Mereka yang sebentar lagi akan menaiki kelas dua belas menjadi lebih rajin datang ke sekolah. Hanya saja ada banyak perubahan yang terjadi di hidup mereka.

Contohnya saja Gavin, dia menutup diri dari Aruna dan kawan - kawan. Gavin juga menjaga jarak dari Bumi. Dia tidak lagi menganggap Bumi sebagai temannya. Gavin melakukan itu bukan karena marah. Hanya saja dia masih belum mau sembuh atas luka yang sebenarnya bisa dia sembuhkan dengan menerima keadaan.

Dalam keadaan tak biasa ini, Bumi lah orang yang paling cepat menerima keadaan. Bukan karena dia kembali memiliki seorang Mama, hanya saja Bumi sudah berkali - kali menerima keadaan dari yang terbaik hingga yang terburuk. Bumi juga sudah kehilangan banyak hal. Bahkan wajah aslinya pun sudah hilang.

"Raga, ini, bawa dulu bekalnya." Caca memanggil Bumi seraya membawa kotak bekal. Wanita itu sudah bisa kembali berjalan meski harus menggunakan tongkat.

Sepertihalnya sang Mama, Bumi juga masih menggunakan tongkat untuk sekolah, karena gipsnya masih belum di buka. "Iya, Ma. Raga inget kok." Bumi berjalan perlahan mendekati Caca. Ia tersenyum manis. Niatnya untuk tidak membawa bekal benar - benar gagal.

"Kalau inget kenapa gak di bawa?" tanya Caca memicingkan matanya.

"Sedikit lupa." Bumi kembali tersenyum manis. Ia menggaruk tengkuknya yang tak gatal.

"Kebiasaan! Ini bawa, jangan lupa kasih yang lain. Cepet pergi, Papa kamu udah nunggu!" Caca menggelengkan kepalanya. Sifat Bumi yang hampir sama dengan Rega seringkali membuatnya pusing.

"Iya Mama Cantik. Jangan marah, nanti cantiknya nambah, loh. Raga pergi dulu ya, Assalamu'alaikum." Bumi mengecup singkat pipi Caca. Wanita yang tadi sempat mengomel kini kembali tersenyum. Ia begitu bersyukur bisa mengomeli putra sematawayangnya lagi.

***

Aruna tengah berjalan di koridor sekolah seorang diri. Runa yang memang notabennya adalah orang pendiam menjadi lebih diam lagi setelah kepergian Aulian.

Ada rasa penyesalan di dalam hatinya karena tidak sempat mengatakan apa yang pernah dia rasakan pada pemuda baik hati itu. Karena rasa penyesalan itulah Aruna jadi menutup diri. Bukan hanya pada orang lain, melainkan pada orang - orang terdekatnya juga.

"Runa sendiri lagi?" tanya salah satu siswi.

"Iya tuh. Lagi musuhan kali?" Sahut yang lain ikut membuat asumsi.

"Entahlah, perasaan semenjak Aulian meninggal ada banyak circle yang pecah?"

Aruna tetap berjalan lurus. Ia sama sekali tak menghiraukan omongan yang sampai ke telinganya. Melihat presensi Bumi, Nala dan Ile di depan sana Runa mencoba tersenyum tipis. Ia membiarkan Nala merangkulnya meninggalkan tiga orang siswi yang sempat menggunjingnya menjadi diam seribu bahasa.

***

Arjuna berjalan seorang diri. Dia membiarkan Aruna dan yang lain pergi ke kelas lebih dulu. Setelah sembuh, Arjuna mencari tau tentang donor jantung yang dia dapat secara diam - diam.

Mengetahui bahwa jantung miliknya adalah jantung milik Aulian. Juna merasa sangat bersalah, dia kesulitan untuk berhadapan langsung dengan Aruna. Meski begitu, Juna berusaha untuk bersikap biasa saja. Seolah dia tidak mengetahui apapun.

Arjuna bersitatap dengan Gavin. Hanya sekilas. Tatapan Gavin seolah tengah mengasihani dirinya. Arjuna berusaha untuk tidak terusik. Dia melanjutkan langkah kakinya, setelah mengetahui banyak fakta mengenai perubahan hidupnya, Arjuna tetap berusaha untuk melanjutkan hidup sebaik mungkin.

Langkah kakinya kembali terhenti. Kali ini dia menghentikan langkahnya karena presensi seorang gadis cantik. Gadis itu tengah tertawa riang bersama dengan temannya.

Bad Boy and Silent Princess [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang